Natal dan Toleransi Umat Beragama

Kolom Hikmah

Natal dan Toleransi Umat Beragama

Yaqut Cholil Qoumas - detikHikmah
Selasa, 27 Des 2022 13:01 WIB
Poster
ilustrasi: Edi Wahyono
Jakarta -

Desember merupakan bulan toleransi. Di bulan ini seolah komitmen kebangsaan dan sekaligus keagamaan kita selalu diuji. Karena umat Kristiani sedang merayakan Natal dan seminggu setelahnya, eforia perayaan tahun baru dilaksanakan. Yang terakhir, meski bukan bagian dari peribadatan umat Kristiani, tetapi ikut menguji kekuatan iman sebagian pemeluk agama karena ada pesta yang mengiringinya yang menandai pergantian tahun masehiyyah.

Demikianlah, peristiwa Natal dan Tahun Baru (Nataru), yang berulang setiap tahun, menjadi batu ujian kebhinekaan kita. Kebhinekaan yang telah difalsafahkan dan menjadi semboyan bangsa ini, apakah betul sudah dilaksanakan atau sekadar jargon belaka. Ajaran agama yang mengajak umatnya untuk menghormati keyakinan pemeluk agama lain, benar diyakini dan diimplementasikan dalam kehidupan nyata, atau hanya lips service semata.

Saya selalu mencermati dan mencatat peristiwa dan berita yang mengiringi bulan toleransi ini. Biasanya di November atau bahkan Oktober, berita tentang pendirian tempat ibadah mulai bermunculan. Entah disengaja atau tidak, hal ihwal tentang hal ini dan yang berkaitan dengannya seperti kesulitan melaksanakan ibadah, penolakan oleh warga ketika beribadah di rumah, seperti disengaja menjadi warming up jelang perayaan Natal. Lebih-lebih bila respons pemimpin daerah kurang bijak, dipastikan berita akan semakin hangat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penjelasan tentang hukum mengucapkan "selamat natal" yang bermaksud baik, tetapi bisa digoreng ke mana-mana, juga menjadi rutinitas setiap tahun dan bahkan menjadi penanda sebentar lagi Natal tiba. Bahkan, yang sudah meninggal pun dibawa-bawa untuk memperkuat pandangannya bahwa mengucapkan Natal itu haram. Padahal, yang dimaksud bukan itu. Penggunaan atribut Natal bagi muslim juga menjadi konsen ormas Islam yang dinyatakan dalam tausiyahnya.

Imbas dari berita itu pasti merambah di jagat media sosial. Ada yang setuju dengan kebijakan pemerintah, ada pula yang kontra. Perdebatan di WA grup pasti lebih panas. Kita tidak bisa memantaunya. Saya tidak keberatan dengan berbagai perdebatan kebijakan dan fikih mengucapkan selamat Natal. Sebagai negara demokrasi, kebijakan pemerintah disoal dan dikritik publik itu sudah biasa.

ADVERTISEMENT

Sejauh menyangkut hubungan yang harmonis dan damai antarumat beragama, pemerintah pasti berdiri tegak untuk mewujudkannya. Sepanjang berkaitan dengan kebebasan dan kemerdekaan menjalankan ajaran agama masing-masing, pemerintah berusaha melindunginya, sebagaimana titah UUD 1945 dan regulasi lainnya.
Soal perdebatan fikih menyangkut ucapan selamat Natal, misalnya, pemerintah tidak ikut-ikut dan bersikap netral. Hal itu merupakan ajaran dan keyakinan agama masing-masing. Dan saya yakin, para ulama dan tokoh agama pasti lebih paham soal itu. Tetapi, sejauh yang saya tahu, setidaknya selalu ada dua hukum di dalamnya. Sebagian ulama mengatakan boleh, lainnya mengatakan haram.

Saya bisa menyebutkan siapa ulama yang membolehkan atau mengharamkan. Tetapi, konsen saya bukan di situ. Biarlah soal halal-haram menjadi urusan ulama. Yang penting, antar maupun intern umat beragama saling menghormati dan menghargai. Saya tahu persis, bagi umat Kristiani (umat agama lain juga kurang lebih memiliki perasaan yang sama) yang sedang merayakan hari raya keagamaannya, kebahagian terbesar mereka bukan saat umat agama lain menyampaikan ucapan selamat Natal kepadanya. Soal itu, mereka tidak terlalu berharap, apalagi menuntut. Mereka hanya minta dihormati dan dihargai serta tidak dihalangi saat beribadah dan merayakan Natal.

Di Kupang dan di Lombok, saya merasakan kegembiraan umat Kristriani saat merayakan Natal. Tentu saja, sebagai muslim, saya tidak mengikuti misa Natal. Yang saya ikuti adalah perayaan Natal, seperti perayaan Idul Fitri (Lebaran) bagi umat Islam. Seluruh kepala kantor Kemenag RI, baik di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota, memantau pelaksanaan Natal 2022 dan umumnya berjalan dengan aman, lancar dan tertib. Seperti itulah seharusnya, umat beragama di Indonesia saling menghormati dan menghargai di antara mereka. Menghormati dan menghargai perbedaan keyakinan merupakan esensi toleransi.


Perbedaan dan Toleransi

Saya terus mengajak insan Kemenag RI untuk terdepan dalam mengedukasi dan memberi keteladanan kepada masyarakat dalam bertoleransi. Sepahit apa pun toleransi itu (sepanjang tidak menyalahi akidah dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku) harus disuarakan atau diatur kalau perlu. Saya akan memulainya, meski tantangannya sangat berat. Berulang-ulang saya menyuarakan bahwa agama harus menjadi inspirasi bagi bangsa. Agama jangan dijadikan landasan untuk bertindak seenaknya sendiri. Agama harus dimuliakan. Agama mesti dikaji dengan ilmu dan diamalkan dengan akhlak agar agama konstruktif untuk kehidupan bersama. Agama harus menjadi pondasi dan panduan moral dalam membangun bangsa dan negara. Agama dan negara bisa saling melengkapi dan menyempurnakan. Pintu masuk untuk mewujudkan gagasan-gagasan besar itu dalam kehidupan nyata, salah satu lewat toleransi.

Toleransi saya maknai sebagai sikap berani mengakui, menghargai dan menghormati perbedaan, termasuk perbedaan agama. Muslim menyebutnya dengan istilah tasamuh atau tepa selira (tenggang rasa) bagi orang Jawa. Definisi ini mungkin instrumentalistik, atau bahkan pragmatik. Tetapi, bagaimanapun lemah dan rapuhnya toleransi, ia harus didefinisikan atau dideskripsikan.

Saya tambahkan kata 'berani' dalam pengertian di atas karena banyak orang yang ketakutan membangun dan mempraktikkan sikap toleran. Takut kalau diusir dari jamaah mereka atau disuruh pindah dari tempat tinggalnya. Toleransi merupakan sikap mental yang hanya bisa tumbuh kalau ia berani. Berani mengakui bahwa kita memang berbeda. sebab, perbedaan bisa menjadi malapetaka bila tidak dihormati.

Bahkan, sebagian mengatakan, orang yang toleran dianggap lembek imannya. Toleransi katanya membahayakan aqidah. Anggapan ini perlu dipertimbangkan ulang. Model toleransi seperti apa yang dapat merontokkan iman dan aqidah? Jika kita muslim dan mau menyempatkan sedikit waktu untuk membaca, rasanya jelas bahwa toleransi bukanlah mencampuradukkan akidah atau keimanan. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Masing-masing umat memiliki nabi, kitab suci dan cara beribadah yang berbeda, dan hal itu kita akui dan hormati.

Mengakui agama orang lain, bukan berarti mengimani atau membenarkan keyakinannya. Hal itu jelas berbeda. Kita mengakui bahwa mereka memang agamanya berbeda dengan agama saya. Karena itu, cara ibadah, nabi, kitab suci dan tempat ibadahnya juga berbeda. Hari rayanya juga tidak sama. Dalam konteks agama dan kenegaraan, dia punya hak beribadah sesuai dengan agamanya, sebagaimana saya juga punya hak beribadah sesuai ajaran agama saya.


Kebebasan memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing dijamin oleh konstitusi. Agama juga memerintahkan kita untuk menghormati dan tidak menghina Tuhan dan keyakinan orang lain. Sebegitu sederhananya konsep dan praktik toleransi yang seharusnya sudah menjadi gaya hidup dan keniscayaan bagi kita. Toleransi adalah keharusan, bukan sekadar kebutuhan. Toleransi merupakan pintu bagi kehidupan umat beragama yang rukun dan damai. Tidak ada kerukunan dan kedamaian antarumat beragama tanpa ada toleransi.

Saya ingin bangsa ini mulai mewujudkan toleransi dalam konteks nyata. Kita sudah memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika, dan seharusnya toleransi tidak sulit untuk dicerna. Sebab, pada hakikatnya, toleransi merupakan cuilan dari gagasan kebhinekaan dan ajaran agama kita. Selamat Natal 2022 dan Tahun Baru 2023.

Yaqut Cholil Qoumas

Penulis adalah Menteri Agama RI

Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)




(erd/erd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads