Pemerintah Korea Selatan punya kebijakan baru untuk menekan angka perundungan atau bullying di lingkungan pendidikan. Di negara tersebut, riwayat murid sebagai pelaku kekerasan dan bullying di sekolah akan 'dipajang'.
Riwayat ini akan terpampang saat mereka ingin mendaftar kuliah ke perguruan tinggi mulai 2026. Kebijakan ini diketahui tidak hadir secara tiba-tiba, melainkan sudah dibuat Kementerian Pendidikan Korsel sejak 2023.
Namun, rencana penerapannya baru dilakukan menyeluruh pada 2026 untuk memberantas kekerasan di kalangan murid. Melihat kebijakan ini, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, MY Esti Wijayati beri tanggapan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, Indonesia dan Korea Selatan bak cermin lantaran memiliki tingkat persoalan bullying di lingkungan pendidikan yang cukup tinggi. Untuk itu, kebijakan tersebut bisa dicontoh sebagai bentuk ancaman sosial yang diharapkan bisa menjadi 'rem' bagi pelaku bullying.
"Ini menarik, bisa menjadi contoh untuk penanganan sanksi sosial kepada pelaku bullying. Norma sanksi yang jelas dapat membuat mereka yang terindikasi punya sikap bullying lebih berhati-hati dan memiliki pengendalian diri," tutur Esti, dikutip dari keterangan tertulis yang diterima detikEdu, Selasa (25/11/2025).
Guru Harus Paham Soal Bullying
Esti menilai pemberantasan bullying di Indonesia perlu dilakukan secara terstruktur. Dimulai dari penguatan regulasi utama yang hadir dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), aturan turunan, Standar Operasional Prosedur (SOP), hingga sekolah dan guru.
Pimpinan Komisi Pendidikan DPR ini menyebut sekolah wajib memiliki SOP anti-bullying yang hidup, bukan sekadar dokumen formalitas belaka. Selanjutnya, kompetensi guru soal melakukan pencegahan dan penanganan bullying juga harus ditingkatkan.
Ia menekankan, guru harus memiliki pemahaman yang menyeluruh soal bullying. Dibutuhkan sebuah pembekelan khusus terhadap guru sehingga memiliki kompetensi konseling dan manajemen konflik.
"Karena kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak sekolah, terutama di daerah terpencil atau dengan keterbatasan sumber daya, bahkan belum mendapatkan pelatihan dasar mengenai konseling atau manajemen konflik. Hal ini membuat sekolah tidak siap merespons kasus bullying secara cepat, aman, dan profesional," urai Esti.
Esti memgakui bahwa penanganan bullying tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada sekolah. Kejadian bullying di sekolah juga berkaitan dengan banyak persoalan, baik itu masalah psikologis, kondisi keluarga, tekanan sosial, hingga masalah kesehatan mental.
Oleh karena itu, ia menyatakan setiap sekolah harus memiliki kerja sama yang jelas dan formal dengan berbagai lembaga untuk menghadapi bullying. Lembaga yang dimaksud adalah dinas kesehatan, dinas sosial, lembaga psikologi dan konseling, aparat penegakan hukum, hingga komunitas lokal.
"Pendekatan lintas sektor ini penting agar sekolah memiliki dukungan profesional ketika menghadapi kasus yang memerlukan intervensi lebih dalam," imbuh Esti.
Siapkan Regulasi yang Tegas Soal Bullying
Esti menyebut DPR RI tengah menyiapkan regulasi yang tegas untuk mengatur bullying di sekolah. Langkah yang dilakukan adalah menghadirkan bab khusus terkait perlindungan, pencegahan, serta penanganan terhadap kekerasan dan bullying pada murid di RUU Sisdiknas.
Menurutnya, langkah awal ini bagian dari komitmen besar untuk memperbaiki ekosistem pendidikan di Indonesia secara struktural. Tak hanya itu, hadirnya BAB khusus yang mengatur tentang bullying diharapkan akan memberikan landasan hukum yang jelas dalam penanganan perundungan di lingkungan pendidikan.
Ia menyatakan, pihaknya juga ingin agar revisi UU Sisdiknas bisa menjadi fondasi kuat untuk sistem perlindungan anak di Indonesia yang bersifat reaktif, preventif, berkelanjutan, dan didukung kompetensi profesional di lapangan.
Dengan begitu, anak-anak Indonesia bisa memiliki lingkungan belajar yang bebas dari kekerasan. Mereka juga akan mendapatkan sekolah yang aman, sehat, dan inklusif.
"Anak-anak Indonesia berhak tumbuh dalam lingkungan belajar yang bebas dari kekerasan, dan negara wajib memastikan itu terjadi bukan hanya melalui pasal, tetapi melalui implementasi nyata di setiap sekolah," pungkas Esti.
(det/twu)











































