×
Ad

Sosiolog UGM Sorot Kasus Ledakan SMAN 72 Jakarta: Kegagalan Melindungi Anak

Trisna Wulandari - detikEdu
Sabtu, 15 Nov 2025 11:00 WIB
SMAN 72 Jakarta. Foto: Gilang Faturahman
Jakarta -

Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri mengungkap sosok pelaku ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara. Irjen Asep mengatakan anak berkonflik dengan hukum (ABH) tersebut memiliki ketertarikan pada konten kekerasan.

"Berdasarkan keterangan yang kami himpun, ABH yang terlibat dalam kasus ledakan ini dikenal sebagai pribadi yang tertutup, jarang bergaul, dan dia juga memiliki ketertarikan pada konten kekerasan, serta hal-hal yang ekstrem," ujar Irjen Asep dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jakarta Pusat, Selasa (11/11/2025).

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Iman Imanuddin mengatakan, salah satu dorongan untuk melakukan peristiwa hukum tersebut antara lain karena sang anak merasa sendiri dan tidak punya tempat untuk menyampaikan keluh kesah. Kondisi ini dirasakan anak tersebut baik di sekolah maupun di lingkungan keluarga.

"Dorongannya, di mana yang bersangkutan merasa sendiri kemudian merasa tak ada yang menjadi tempat untuk menyampaikan keluh kesahnya, baik itu di lingkungan keluarga kemudian di lingkungannya itu sendiri maupun di lingkungan sekolah," ucapnya.

Pemicu Agresivitas Anak

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), AB Widyanta, SSos MA berpendapat, kasus peledakan di SMA Negeri 72 Jakarta bisa dipandang dari perspektif sosiologis dan psikososial. Ia menjelaskan, tekanan psikologis yang dialami seorang anak tidak muncul begitu saja. Tekanan yang dihadapi sang anak merupakan hasil dari tumpukan dan internalisasi persoalan sosial.

Widyanta mencontohkan, persoalan sosial seperti bullying dapat berdampak pada perasaan individual dan perasaan personal yang sangat mendalam. Emosi anak yang timbul dari persoalan tersebut dapat memicu agresivitasnya.

"Yang dihidupi oleh dia itu rasa sakit hati, rasa ada amarah yang mendalam. Tetapi juga ada rasa keinginan untuk balas dendam. Implikasi yang bisa dilihat kan muncul agresivitas karena terstimulasi peristiwa bullying yang dialami sang anak," ucap Widyanta, dikutip dari keterangan kampus, Jum'at (14/11/2025).

Sementara itu, ia menilai tindakan ABH di kasus ledakan sekolah ini murni reaksi personal, tidak berkaitan dengan kelompok radikal atau ideologi tertentu.

"Saya menilai ini murni reaksi personal terhadap kekerasan lingkungan, yang difasilitasi oleh teknologi digital," ucapnya.

Sorot Kegagalan Melindungi Anak

Widyanta menyorot kegagalan negara melindungi anak dari paparan digital berbahaya, ketidakmampuan keluarga memenuhi kebutuhan afeksi, dan sekolah yang terjebak dalam kompetisi pasar turut menjadi faktor risiko bagi anak.

"Anak ini korban, dan ia tumbuh dalam ekosistem yang mereproduksi kekerasan," jelasnya.

Menurutnya, Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia turut bertanggung jawab untuk membatasi akses anak pada konten-konten yang tidak sesuai usianya. Langkah ini dinilai penting agar tidak terulang lagi.

"Bagaimanapun Komdigi yang berwenangan mengatur soal ini yaitu tentang teknologi digital. Jangan lagi bertindak ceroboh dengan membiarkan anak-anak bisa mengakses link-link yang berbasis kekerasan, atau bahkan yang namanya judol, pinjol, dan segalanya. Jangan dibiarkan," ujarnya.

Widyanta menilai kasus ini merupakan peringatan keras untuk meninjau ulang sistem pendidikan dan struktur sosial. Sementara itu, untuk jangka panjang, butuh pendekatan pada anak muda yang berfokus pada kesejahteraan keluarga, lingkungan belajar yang manusiawi, dan literasi digital kritis.

"Dari kasus ini, anak ini adalah cermin dari sebuah cermin yang remuk, dan kita semua ini adalah cermin yang remuk juga" ucapnya.



Simak Video "Video RSI Cempaka Putih: 2/3 Korban Ledakan SMAN 72 Gangguan Pendengaran"

(twu/pal)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork