Aku Juga Bisa Belajar: Wujudkan Sekolah Inklusif untuk Semua Anak

ADVERTISEMENT

Kolom Edukasi

Aku Juga Bisa Belajar: Wujudkan Sekolah Inklusif untuk Semua Anak

Penulis Kolom - Ni Made Putri Wijayanti - detikEdu
Kamis, 06 Nov 2025 19:30 WIB
Pelajar penyandang tunanetra mengikuti lomba makan krupuk di Yayasan Pendidikan Anak-Anak Buta (YPAB), Surabaya, Jawa Timur, Selasa (12/8/2025). Berbagai jenis lomba yang diikuti pelajar-pelajar penyandang tunanetra low vision dan buta total Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMP LB) dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMA LB) itu digelar untuk menyemarakkan HUT ke-80 Kemerdekaan RI. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/foc.
Foto: ANTARA FOTO/DIDIK SUHARTONO
Jakarta -

Di banyak sekolah Indonesia, masih ada anak yang duduk di pojok kelas tanpa berani berbicara. Ia bukan karena malas, melainkan karena tidak bisa mendengar dengan jelas.

Anak itu adalah satu dari ribuan anak berkebutuhan khusus yang berjuang untuk mendapatkan haknya: belajar tanpa diskriminasi.

Pendidikan seharusnya menjadi hak bagi semua anak tanpa terkecuali. Namun di Indonesia, anak berkebutuhan khusus (ABK) masih sering dihadapkan pada berbagai hambatan untuk memperoleh pendidikan yang layak. Diskriminasi, keterbatasan fasilitas, dan kurangnya pemahaman tentang pendidikan inklusif masih membuat banyak anak kehilangan
kesempatan belajar yang bermakna.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2024) menunjukkan bahwa masih banyak sekolah reguler yang belum sepenuhnya siap menjadi sekolah inklusif karena minimnya guru pendamping dan sarana yang ramah disabilitas. Akibatnya, sebagian ABK belum mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Pendidikan Inklusif, Cermin Kemanusiaan Kita

Pendidikan inklusif hadir sebagai jawaban atas tantangan tersebut. Bukan sekadar menempatkan ABK di ruang kelas yang sama dengan siswa lain, melainkan membangun sistem yang menghargai keberagaman dan mengakomodasi perbedaan. Sekolah inklusif mengajarkan kita bahwa setiap anak memiliki cara belajar, potensi, dan ritme perkembangan yang unik.

ADVERTISEMENT

Lebih dari itu, pendidikan inklusif membentuk karakter sosial yang berempati dan menghargai perbedaan. Ketika anak-anak belajar bersama dalam keberagaman, mereka tidak hanya menguasai pelajaran akademik, tetapi juga menumbuhkan nilai toleransi, solidaritas, dan kepedulian.

Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa pendekatan inklusif dapat meningkatkan rasa percaya diri dan motivasi belajar anak berkebutuhan khusus. Mereka lebih berani
berinteraksi dan mengembangkan potensinya ketika diterima apa adanya oleh lingkungan sekolah.

Kurikulum Fleksibel, Kunci Kesetaraan Belajar

Salah satu kunci keberhasilan pendidikan inklusif adalah penerapan kurikulum yang fleksibel. Kurikulum tidak boleh kaku dan seragam, karena setiap anak memiliki kemampuan serta kebutuhan belajar yang berbeda.

Melalui penerapan Program Pendidikan Individual (PPI), guru dapat merancang kegiatan belajar sesuai karakteristik dan potensi masing-masing siswa. Misalnya, siswa dengan hambatan membaca bisa difasilitasi melalui media visual atau aktivitas praktis. Dengan cara ini, anak tidak hanya sekadar 'ikut belajar', tetapi benar-benar belajar dengan caranya sendiri.

Beberapa sekolah inklusif di Yogyakarta dan Surabaya, misalnya, telah berhasil menerapkan kurikulum adaptif. Anak tunarungu mampu mengikuti pelajaran matematika dengan media visual, sementara siswa autisme dapat berpartisipasi aktif melalui pembelajaran berbasis proyek. Inovasi-inovasi kecil seperti ini menunjukkan bahwa pendidikan yang setara bukan hal mustahil jika ada kemauan dan perencanaan yang baik.

Guru, Jembatan bagi Anak untuk Tumbuh

Kurikulum fleksibel tidak akan berarti tanpa guru yang kompeten dan berempati terhadap prinsip inklusi. Guru adalah jembatan yang menghubungkan anak dengan dunia belajar. Oleh karena itu, pelatihan dan pengembangan kompetensi guru harus menjadi prioritas utama dalam mewujudkan pendidikan inklusif.

Guru perlu dibekali pemahaman tentang berbagai karakteristik disabilitas, strategi pembelajaran adaptif, serta teknik komunikasi yang inklusif. Pelatihan yang berkelanjutan akan membantu guru menciptakan lingkungan belajar yang ramah, aman, dan setara bagi semua siswa.

Lebih dari sekadar kemampuan teknis, guru juga harus memiliki sensitivitas kemanusiaan. Mengajar anak berkebutuhan khusus bukan tugas tambahan, melainkan bagian dari panggilan moral seorang pendidik. Guru yang inklusif tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menumbuhkan harapan, rasa percaya diri, dan kemandirian pada setiap anak.

Kolaborasi: Tanggung Jawab Bersama

Pendidikan inklusif tidak bisa berdiri sendiri. Ia membutuhkan kolaborasi dari semua pihak-guru, orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Orang tua berperan penting dalam mendampingi anak di rumah serta memberikan informasi tentang kondisi anak kepada pihak sekolah. Masyarakat pun memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan lingkungan sosial yang bebas stigma. Kita semua perlu belajar untuk melihat ABK bukan sebagai beban, tetapi sebagai bagian dari keberagaman bangsa.

Sementara itu, pemerintah harus memperkuat kebijakan inklusi melalui dukungan anggaran, peningkatan kapasitas guru, penyediaan tenaga pendamping khusus, dan pembangunan fasilitas ramah disabilitas. Kebijakan yang berpihak pada semua anak bukan hanya soal keadilan, tetapi juga investasi jangka panjang bagi kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Saatnya Kita Berhenti Berkata 'Mereka Berbeda'

Sebagai calon pendidik, saya percaya bahwa pendidikan inklusif adalah cermin kemanusiaan kita. Menjadi guru berarti menjadi jembatan bagi semua anak menuju masa depan yang lebih baik.

Refleksi atas realitas pendidikan kita hari ini menunjukkan bahwa perjuangan menuju sekolah yang benar-benar inklusif belum selesai. Masih banyak anak yang menunggu kesempatan untuk belajar tanpa diskriminasi-untuk diterima tanpa syarat, dan untuk dihargai atas potensinya, bukan keterbatasannya.

Sudah saatnya kita berhenti berkata, 'mereka berbeda,' dan mulai berkata, 'mereka juga bisa belajar.' Karena ketika setiap anak diberi kesempatan yang sama untuk tumbuh, bangsa ini sedang belajar menjadi lebih manusiawi.

*) Ni Made Putri Wijayanti adalah mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar di Universitas Pendidikan Ganesha yang memiliki ketertarikan pada bidang pendidikan inklusif dan
kebijakan pendidikan anak.

*) Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detikcom




(nwk/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads