Kita sering melihat pendidikan sebagai sebuah mesin raksasa yang bergerak dengan presisi, terdiri dari kurikulum yang kaku, jadwal yang ketat, dan standar yang harus dicapai.
Akan tetapi pandangan demikian terlalu sempit. Pendidikan sejatinya merupakan sebuah entitas organik, serupa dengan organisme hidup yang memiliki dinamika internal yang kompleks dan terus-menerus beradaptasi.
Menggunakan kacamata sitologi, kita bisa melihat bahwa unit paling fundamental dari pendidikan--kelas--bukanlah sekadar ruang statis, melainkan sebuah ekosistem mikro yang berdenyut dengan kehidupan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam sitologi, sel menjadi unit dasar kehidupan yang memiliki struktur, fungsi, dan perilaku kompleks. Demikian pula, ruang kelas adalah unit dasar dari sistem pendidikan.
Di dalamnya, ada inti--guru dan kurikulum--yang memberikan arahan dan informasi. Ada juga sitoplasma--interaksi, diskusi, dan emosi--yang mengisi ruang dan memfasilitasi komunikasi.
Sama seperti komunikasi antarsel yang memungkinkan sel-sel untuk bekerja sama, interaksi antara murid dan guru, serta di antara murid itu sendiri, membentuk jaringan yang vital untuk proses belajar. Proses ini tidak bisa diukur hanya dengan angka atau standar, melainkan harus dipahami dalam konteks dinamikanya yang organik.
Kurikulum nasional sering dianggap sebagai resep tunggal bagi keberhasilan pendidikan. Namun, jika kita melihatnya dari perspektif sitologi, kurikulum adalah 'gen' atau 'cetak biru' yang membawa informasi dasar, bukan instruksi yang kaku.
Sama seperti gen yang diekspresikan secara unik di setiap sel, kurikulum ini juga diimplementasikan dengan cara yang berbeda di setiap kelas.
Seorang guru cerdas akan mengadaptasi 'gen' ini agar sesuai dengan 'lingkungan sitoplasma' di kelasnya--minat murid, gaya belajar mereka, dan tantangan yang hadapi. Fleksibilitas demikian merupakan kunci dalam memastikan bahwa kurikulum tidak hanya diajarkan, tetapi juga benar-benar diserap dan diinternalisasi.
Dinamika di ruang kelas--cara guru mengajar, bagaimana murid merespons, dan interaksi yang terjadi--adalah 'sitologi' dari pendidikan. Gejala-gejala seperti keterlibatan murid, pemahaman konsep, dan pengembangan keterampilan dapat diamati dan dipelajari.
Misalnya, ketika seorang murid menunjukkan ketidakminatan pada suatu topik, ini bisa diibaratkan sebagai 'kelainan fungsi seluler' yang mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Pendekatan tersebut memungkinkan para pendidik untuk tidak hanya mengukur hasil akhir, tetapi juga memahami proses yang mengarah pada hasil tersebut.
Sama seperti ahli sitologi yang memeriksa sel-sel untuk mendeteksi anomali atau penyakit, para pendidik dan pembuat kebijakan dapat mengamati dinamika di dalam kelas untuk memahami keberhasilan atau kegagalan kurikulum.
Jika sebuah kelas menunjukkan tanda-tanda 'stres seluler'--misalnya, kurangnya partisipasi atau kegagalan berulang- para pendidik dapat melakukan 'diagnosis' untuk mengidentifikasi penyebabnya, intervensi yang tepat--seperti mengubah metode pengajaran, menyediakan materi tambahan, atau memberikan dukungan emosional--dapat membantu 'sel' pendidikan kembali berfungsi dengan optimal.
Sebuah organisme hidup tidak pernah statis; ia selalu berevolusi dan beradaptasi. Demikian pula, pendidikan perlu terus beradaptasi dengan perubahan zaman, teknologi, dan kebutuhan murid.
Jika seseorang memperlakukan pendidikan sebagai sebuah mesin, orang itu akan terjebak dalam model yang usang. Namun, jika orang itu melihatnya sebagai organisme yang hidup, dia akan terus mencari cara baru untuk tumbuh dan berevolusi.
Pendekatan demikian memungkinkan orang menghasilkan sistem pendidikan yang tidak hanya relevan, tetapi juga tangguh dan berkelanjutan.
Pandangan organisasional kaku sering kali berfokus pada standar dan hasil terukur. Namun, pendekatan sitologi mengajak kita berfokus pada keterlibatan.
Keterlibatan murid menjadi indikator kesehatan 'sel' pendidikan paling penting. Ketika murid terlibat, mereka menjadi bagian aktif dari proses belajar, bukan hanya penerima pasif dari informasi. Keterlibatan ini memicu pertumbuhan, inovasi, dan pemahaman yang mendalam.
Dalam sitologi, komunikasi antarsel juga melibatkan pertukaran sinyal kimia dan elektrik. Dalam pendidikan, sinyal-sinyal ini adalah emosi dan hubungan.
Lingkungan kelas yang positif, di mana murid merasa aman dan didukung, akan memfasilitasi 'komunikasi' lebih baik dan 'pertumbuhan seluler' lebih sehat.
Sebaliknya, lingkungan yang penuh tekanan atau ketakutan dapat menghambat proses belajar dan memicu "penyakit seluler" yang merusak.
Pada akhirnya, memahami pendidikan dari perspektif sitologi membuat kita menyadari bahwa fokus tidak hanya pada struktur organisasional (seperti jadwal pelajaran, materi, atau standar) tetapi juga pada proses organik yang terjadi di tingkat mikro di setiap kelas.
Pendekatan tersebut memungkinkan kita lebih peka terhadap kebutuhan individu murid, beradaptasi dengan situasi yang tak terduga, dan membuat lingkungan belajar lebih hidup dan responsif. Hal tersebut merupakan sebuah paradigma yang menggeser pendidikan dari proses industrial menjadi sebuah proses manusiawi yang unik dan dinamis.
*) Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan
*) Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
(nwk/nwk)