Sejarah-Sastra Diusulkan Jadi Mapel Wajib, Pakar: Tak Perlu, Tapi Begini Caranya

ADVERTISEMENT

Sejarah-Sastra Diusulkan Jadi Mapel Wajib, Pakar: Tak Perlu, Tapi Begini Caranya

Novia Aisyah - detikEdu
Kamis, 14 Agu 2025 18:30 WIB
Ilustrasi Memilih Sekolah untuk Anak
Ilustrasi sekolah. Foto: iStock
Jakarta -

Proses Revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tengah berlangsung. Terkait hal ini, Komisi X DPR RI mengusulkan agar mata pelajaran sejarah dan sastra diwajibkan di sekolah.

Dalam UU yang lama, pelajaran wajib terdapat dalam Pasal 37. Meski begitu, dalam RUU Sisdiknas yang sedang digarap DPR bersama Pemerintah, dalam pasal baru juga tidak mencantumkan sejarah dan sastra sebagai mapel wajib di sekolah.

Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana menyebut usulan ini merupakan bagian dari komitmen fraksi PDIP untuk memperjuangkan sistem pendidikan nasional yang tak hanya menekankan kepada capaian akademik, melainkan juga membentuk karakter serta daya pikir generasi penerus bangsa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kami juga sedang ada Panja Sisdiknas. Saya termasuk di dalamnya bersama rekan-rekan di Komisi X. Saya juga mengusulkan kalau perlu, dan semoga pimpinan juga setuju, mata pelajaran Sejarah dan Sastra itu menjadi wajib. Karena untuk meningkatkan gairah membaca dan meningkatkan kapasitas imajinasi berpikir," ungkapnya melalui keterangan tertulis yang diterima detikEdu pada Selasa (12/8/2025).

ADVERTISEMENT

Mapel Sejarah dan Sastra yang Terpinggirkan

Pengamat pendidikan Bukik Setiawan menilai selama ini sejarah dan sastra terpinggirkan dari pembelajaran di sekolah. Menurutnya ini disebabkan sistem pendidikan di Indonesia yang terlalu lama melayani logika ujian dan pasar kerja. Sedangkan bidang yang tidak dapat diukur angka atau tidak menjanjikan 'profesi' langsung, akan diabaikan.

"Sejarah dan sastra dianggap tidak laku. Padahal dua bidang ini adalah dasar dari kemampuan paling manusiawi: memahami masa lalu, membayangkan masa depan," ujar Bukik kepada detikEdu pada Rabu (13/8/2025), ditulis Kamis (14/8/2025).

Namun, ia juga tidak sepakat jika sejarah dan sastra dijadikan mapel wajib dan dibakukan melalui regulasi setingkat undang-undang. Ia menekankan kurikulum seharusnya fleksibel, hidup dan kontekstual, bukan dibekukan melalui produk hukum yang kaku.

"Pendidikan kita justru sedang butuh ruang untuk merespons tantangan global dan konteks lokal yang terus berubah. Hari ini mungkin sejarah dan sastra. Besok bisa jadi teknologi naratif, etnografi digital, atau bentuk lain yang belum kita bayangkan," ujarnya.

Jika Tidak Melalui Mapel Wajib, Bagaimana?

Bukik menyebut di Indonesia tidak dibutuhkan lebih banyak mapel wajib, tetapi lebih banyak guru yang belajar dan ruang yang memungkinkan anak-anak untuk belajar secara merdeka. Ia mengatakan untuk menumbuhkan literasi dan imajinasi murid, bisa dengan pola pembelajaran yang memanusiakan.

Ia memaparkan bagaimana sejarah dan sastra dapat diajarkan tanpa membosankan.

"Saya pernah mendampingi banyak guru yang mampu menghidupkan sejarah dan sastra, bukan sekadar sebagai pelajaran, tapi sebagai pengalaman hidup murid. Contohnya bisa dibaca di berbagai edisi Surat Kabar Guru Belajar," kata Ketua Yayasan Guru Belajar itu.

"Mereka tidak mengajar dengan buku teks, tapi dengan kisah lokal, puisi buatan murid, drama sejarah, dan diskusi terbuka," lanjutnya.

Ia memaparkan kuncinya bukan pada konten, tetapi cara 5M berdasarkan kerangka pedagogi Guru Belajar Foundation. Cara 5 M tersebut adalah:

  • Memanusiakan hubungan
  • Memahami konsep
  • Membangun keberlanjutan
  • Memilih tantangan
  • Memberdayakan konteks.

Bukik menekankan, sebaiknya para pemangku kepentingan menggeser fokus dari apa yang wajib diajarkan menjadi bagaimana pembelajaran dijalankan.




(nah/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads