Siswa Mundur dari Sekolah Rakyat, Guru Besar IPB Sarankan Ini

ADVERTISEMENT

Siswa Mundur dari Sekolah Rakyat, Guru Besar IPB Sarankan Ini

Trisna Wulandari - detikEdu
Selasa, 12 Agu 2025 14:00 WIB
Para siswa memasuki asrama di Sekolah Rakyat Menengah Pertama 2 Medan
Para siswa saat memasuki asrama di Sekolah Rakyat Menengah Pertama 2 Medan. (Dok. Kartika Sari/detikSumut)Foto: Para siswa S memasuki asrama di Sekolah Rakyat Menengah Pertama 2 Medan. Foto: Dok. Kartika Sari/detikSumut
Jakarta -

Sebanyak 114 siswa Sekolah Rakyat menyatakan mundur. Data ini disampaikan Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau Gus Ipul.

"Setelah berada di sekolah, sebagian, 1,4 persen dari 99.700 siswa itu. sekitar 114 itu, mengundurkan diri. Kami tentu dengan berat hati sebenarnya untuk menyetujui pengunduran dirinya itu, dengan berat hati," ungkap Mensos Saifullah Yusuf usai acara Pelantikan Guru Sekolah Rakyat di Kemensos Jakarta, Jumat (8/8/2025).

"Kami sangat ingin anak-anak ini bisa berada di sekolah rakyat. Tapi karena memang sudah menjadi keputusan keluarga tentu kami tidak bisa memaksa dan sangat menghormati," imbuhnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT

Sesuaikan dengan Kebutuhan Warga Setempat

Pakar sosiologi pedesaan dan pengembangan masyarakat dari IPB University, Prof Lala M Kolopaking, mengatakan mundurnya siswa dari Sekolah Rakyat menunjukkan program ini perlu menyentuh kebutuhan dan karakter warga setempat. Untuk itu, perlu ada pendekatan sosial budaya lebih mendalam dan pelibatan masyarakat secara partisipatif sejak awal.

Ia menjelaskan, langkah tersebut penting agar warga menjadi subjek pada program Sekolah Rakyat, bukan sekadar objek penerima.

"Program Sekolah Rakyat itu tujuannya sangat baik, ingin membantu masyarakat yang kurang mampu. Akan tetapi mestinya ada pemetaan sosial budaya terlebih dahulu, agar program ini menyentuh kebutuhan dan karakter masyarakat setempat," kata Lala.

Guru Besar Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB University ini menambahkan, mundurnya siswa dari Sekolah Rakyat juga menunjukkan pentingnya dialog untuk mendukung pemahaman warga.

"Ini sinyal bahwa membuat program yang baik itu tidak cukup hanya dengan niat, tapi harus dialokasikan pada masyarakat sekitar dengan pendekatan dialog. Jadi ada dialog yang dibangun, sehingga mereka paham," ucapnya.

Sekolah Asrama Berpotensi, tapi Butuh Pendampingan

Lala berpendapat, tidak adanya pendekatan partisipatif dapat menjadi penyebab utama siswa tidak betah di sekolah berasrama ini.

"Kalau katanya tidak betah, boleh jadi orang yang sekolah di situ memang jauh dari budaya lokal. Bisa jadi mereka mengalami homesick," jelasnya.

Ia menilai sekolah berasrama sebetulnya cocok untuk anak-anak dari keluarga rentan di desa. Konsep sekolah berasrama menurut Lala dapat membentuk karakter anak menjadi lebih kuat.

Namun, ia menggarisbawahi ada tantangan adaptasi yang perlu ditangani.

"Orang keluar dari rumah itu perlu dampingan adaptasi. Tidak bisa langsung dipaksa masuk asrama tanpa persiapan sosial hingga aspek psikologis mereka yang akan belajar," ucapnya.

Lala menilai, kunci keberhasilan sekolah berasrama, terletak pada proses awalnya. Proses ini terdiri dari dialog, pemetaan sosial, serta seleksi siswa yang mempertimbangkan kondisi sosial budaya mereka.

"Selama prosesnya dilakukan dengan melibatkan masyarakat sejak awal, sekolahnya akan lebih mudah diterima. Jangan sampai semuanya diputuskan dari atas (top-down) tanpa mempertimbangkan kompetensi dan kecerdasan kontekstual yang akan dicapai," jelasnya.

Mengkritisi pendekatan afirmatif top-down, ia menyorot bahwa cara ini cenderung instruktif.

"Perlu dilengkapi model pendidikan yang membebaskan. Sekolah perlu disiapkan bersama pihak-pihak berkepentingan sejak awal," tegas Lala.

Gunakan Dasar Komunikasi Dialogis

Ia menjelaskan, Sekolah Rakyat juga perlu lebih diterima oleh warga. Untuk itu, komunikasi dialogis sejak perencanaan menjadi penting.

"Komunikasi itu dialog. Harus menyiapkan masyarakat sekitar atas kehadiran sekolah tersebut," ucapnya.

Lala berpendapat, dialog dengan warga dapat menciptakan kesadaran bersama bahwa sekolah bukan hanya bangunan fisik, tapi juga sarana membangun masa depan.

"Jangan hanya melihat fasilitas fisik, tapi juga pemahaman psikologis stakeholders," ujarnya.

Perjelas Relevansi Kurikulum dan Definisi Tidak Mampu

Lala juga menyorot pentingnya kejelasan definisi 'tidak mampu' serta relevansi kurikulum dengan potensi ekonomi lokal untuk menjamin keberlanjutan program Sekolah Rakyat.

"Harus jelas dulu, tidak mampu itu secara ekonomi, akses, atau akademik? Lalu yang paling penting, kurikulum harus disesuaikan dengan lingkungan siswa," katanya.

Sebagai contoh, siswa Sekolah Rakyat sekolah di daerah perkebunan karet sebaiknya mendapat pembelajaran materi umum dan pengenalan keterampilan seputar industrialisasi karet.

Sedangkan siswa Sekolah Rakyat di wilayah pesisir mendapat fokus tambahan pada industrialisasi sektor maritim.

"Agar sejak awal sekolah itu (siswa) tahu, berkesadaran, untuk menjadi penggerak ekonomi lokal dan hidupnya sendiri," terangnya.

Untuk mendukung pendidikan anak, Lala juga menekankan, perlu ada perhatian pada kesiapan guru. Para guru perlu memahami konteks sosial budaya lokal tempat mereka mengajar agar bisa memberikan pendidikan yang tepat bagi siswa.




(twu/twu)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads