Beberapa waktu lalu beredar video perundungan yang melibatkan belasan siswa kepada anak baru. Perundungan terjadi di lingkungan sekolah, tepatnya di SMPN 3 Doko, Blitar, Jawa Timur.
Mengutip detikNews, Senin (28/7/2025), perundungan yang mengarah ke dugaan pengeroyokan terjadi saat masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS). Peristiwa terjadi pada Jumat (18/7/2025), sekitar pukul 08.00 WIB di area belakang kamar mandi sekolah.
Dalam video tersebut, korban yang merupakan siswa baru kelas VII, mendapatkan olok-olokan verbal secara bergantian oleh beberapa siswa. Kemudian sekelompok siswa lainnya melontarkan kekerasan fisik, memukul dan menendang korban.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kegagalan Sistem Pengawasan Sekolah
Kasus dugaan pengeroyokan ini pun menuai sorotan. Pakar pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Sri Lestari, menganggap ini sebagai bentuk kegagalan sistem pengawasan sekolah.
Menurutnya, keamanan peserta didik harusnya terjamin. Selain itu, peristiwa ini menunjukkan sekolah tidak memiliki mekanisme pencegahan matang sejak awal MPLS.
"Sekolah seharusnya mampu memetakan potensi adanya perundungan lebih dini. Pencegahan seharusnya menjadi langkah awal, bahkan sejak hari pertama MPLS," katanya, dikutip dari laman resmi UM Surabaya, Senin (28/7/2025).
Ia menilai, dalam MPLS, sekolah harusnya memiliki standar pelaksanaan yang jelas dan tertulis. Termasuk aturan tegas mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Tidak hanya untuk siswa, tapi aturan untuk seluruh elemen sekolah yang terkait dengan MPLS. Jika perlu, diberlakukan sanksi tegas bagi siapa pun yang melanggar aturan MPLS.
Nilai Pendidikan Antikekerasan Belum Tertanam di Lingkungan Sekolah
Dalam kasus perundungan, Tari menyoroti pentingnya pendampingan bagi korban dan pelaku. Baik secara psikologis maupun hukum.
Terlebih jika pelaku masih berstatus anak di bawah umur. Maka penanganan harus sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak.
"Jangan normalkan perspektif 'namanya juga anak-anak'. Justru karena masih anak-anak, pendampingan harus maksimal agar proses tumbuh kembang mereka tidak terdistorsi oleh pengalaman buruk," ungkapnya.
Kasus yang ada di SMPN 3 Doko, Blitar, lanjut Tari, menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan. Tidak hanya bagi sekolah tetapi juga bagi Dinas Pendidikan dan sistem pendidikan nasional.
"Insiden tersebut mencerminkan bahwa nilai-nilai pendidikan anti-kekerasan belum benar-benar tertanam dalam budaya sekolah," ujarnya.
Tari menyarankan, agar dilakukan revisi menyeluruh terhadap format MPLS secara nasional. Termasuk pembentukan mekanisme pelaporan kasus kekerasan di sekolah yang aman, ramah anak, dan menjaga kerahasiaan identitas pelapor.
"MPLS seharusnya menjadi masa adaptasi yang menyenangkan dan membangun semangat siswa, bukan menjadi ajang kekerasan yang merusak psikis anak sejak awal mereka masuk ke dunia sekolah baru," tuturnya.
20 Saksi Diperiksa Polisi
Usai beredar di media sosial dan viral, pihak sekolah diketahui melakukan investigasi. Hasilnya, ada sekitar 12 anak yang diduga terlibat.
Hasil pemeriksaan sementara, motif awal diduga karena adanya tindakan saling melakukan perundungan di antara sesama siswa. Kemudian berujung pada aksi balas dendam secara brutal dengan pengeroyokan.
Polres Blitar, Jawa Timur juga telah memeriksa 20 saksi terkait kasus dugaan pengeroyokan di SMPN 3 Doko. Termasuk penyelidikan yang dilakukan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Satreskrim Polres Blitar.
"Yang diminta keterangan para siswa yang terlibat perundungan, juga termasuk dari sekolah, guru juga sudah dimintai keterangan. Totalnya 20 saksi yang dimintai keterangan," ucap Kasi Humas Polres Blitar Ipda Putut Siswahyudi di Blitar, dikutip dari Antara, Senin (28/7/2025).
Dalam penyelidikannya, pihak kepolisian juga melibatkan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA), Dinas Pendidikan, serta Dinas Sosial Kabupaten Blitar. Hal ini karena pelaku dan korban masih berstatus anak di bawah umur.
(faz/nwk)