Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti telah memperkenalkan pendekatan pembelajaran deep learning. Di kalangan pendidik, hal ini menuai pro kontra.
Menurut Ketua Guru Belajar Foundation, Bukik Setiawan, deep learning masih sejalan dengan esensi Kurikulum Merdeka. Ia menilai pendidik tidak perlu risau.
Bukik menerangkan, dengan deep learning murid tidak hanya belajar dalam arti akademis (study). Melainkan, murid juga akan mengalami proses pembelajaran yang lebih mendalam dan bermakna (learn).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Deep learning adalah upaya meningkatkan relevansi pendidikan dengan kehidupan nyata," ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima Jumat (28/2/2025).
Apa Bedanya 'Study' dan 'Learn'?
Bukik turut menyorot masyarakat Indonesia yang masih kerap memandang tujuan pendidikan sebatas pada memperoleh nilai ujian yang bagus.
"Murid dianggap berhasil belajar ketika mendapat nilai ujian yang bagus. Nilai yang bagus memang menunjukkan keberhasilan 'study' tapi belum tentu berhasil 'learn'. Keberhasilan 'learn' ketika murid menunjukkan penguasaan kompetensi," jelas Bukik.
Ia memaparkan dalam pendidikan yang sekadar fokus pada 'study', ada beberapa cirinya yakni:
- Siap sekolah
- Mengejar nilai angka
- Ujian terstandar
- Menghafal
- Kepatuhan
Ia menuturkan selama ini sekolah fokus ke 'study' yang mana adalah miskonsepsi pendidikan. Murid belajar untuk siap melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya dengan mengejar nilai angka.
"Ujiannya terstandar, bagaimana agar bisa lolos ujian? Belajarnya low-order thinking, menghafal dan patuh apa kata orang dewasa," jelas aktivis pendidikan tersebut.
Menurut Bukik, 'learn' berorientasi pada penguasaan kompetensi supaya murid siap hidup. Ujian bermakna bertujuan untuk memastikan sejauh mana kompetensi tercapai. Murid tak cuma menghafal, tetapi juga menalar dan mandiri untuk mencapai tujuannya.
Namun, 'Study' Tetap Perlu Dilakukan
Di sisi lain, Bukik menegaskan tidak ada yang salah dengan 'study'. Kendati begitu, 'study' tak seharusnya menjadi tujuan akhir pendidikan.
Ia mencontohkan, misalnya menalar juga dibutuhkan kemampuan menghafal. Namun, jika hanya cukup menghafal, maka murid berhenti pada kemampuan low-order thinking.
"Padahal dari bayi, manusia belajarnya high-order thinking, menganalisis sekitarnya. Kapasitas otak anak lebih dari low," kata Bukik.
"Kalau tujuan akhirnya adalah 'study', maka yang dibutuhkan bukan sekolah tapi bimbel. Deep learning adalah upaya mengembalikan peran guru dan sekolah pada khittah atau esensinya," pungkasnya.
(nah/nwk)