Beda Pungli di PPDB dengan Pungutan Sah, Begini Kata Ombudsman

ADVERTISEMENT

Beda Pungli di PPDB dengan Pungutan Sah, Begini Kata Ombudsman

Trisna Wulandari - detikEdu
Senin, 24 Jun 2024 13:30 WIB
Ilustrasi Uang
Begini beda pungli dan pungutan sah di PPDB. Agar tidak tergolong pungli, sebuah pungutan sekolah wajib penuhi syarat berikut. Foto: Ari Saputra / detikcom
Jakarta -

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Nusa Tenggara Timur (NTT), Darius Beda Baton, mengatakan masih muncul keluhan soal pungutan pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di wilayahnya. Ini terkait dengan pungutan sah dan tidak sah. Apa bedanya?

Dengan nama sumbangan hingga hingga uang komite sekolah, ia menjelaskan ada perbedaan antara pungutan sah dan yang tidak sah atau pungutan liar (pungli).

Darius menjelaskan, suatu pungutan disebut pungutan sah saat memiliki dasar hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dan dipungut oleh orang atau petugas yang berwenang untuk memungut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara pungutan tidak sah adalah pungutan yang tidak punya dasar hukum sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dan atau dipungut oleh orang atau petugas yang tidak berwenang memungut.

"Hemat saya, jika sekolah adalah lembaga publik yang tunduk pada hukum administrasi publik, maka dua unsur pungutan tersebut haruslah dipenuhi agar tidak disebut melakukan pungutan tidak sah," jelasnya dalam laman Ombudsman RI, dikutip Senin (24/6/2024).

ADVERTISEMENT

Syarat Pungutan Sah, Bukan Pungli

Rupa-rupa pungutan pada PPDB antara lain muncul dalam nama uang pembelian map dan formulir pendaftaran, uang pendaftaran masuk, uang test kemampuan, uang psikotes, uang kesehatan, serta uang tes lainnya. Ada juga istilah uang bangku atau kursi bagi calon siswa cadangan (waiting list).

Lebih lanjut, pungutan juga muncul dalam nama uang pembangunan, sumbangan pengembangan institusi, uang infak untuk pengembangan institusi. Soal buku dan pakaian, ada istilah uang seragam, uang baju batik, baju olahraga, uang pembelian buku, uang LKS, uang SPP, uang ekstrakurikuler, les, praktikum, dan uang makan-minum.

Ada pula uang komite sekolah, uang study tour, uang kebersihan dan keamanan, uang ujian, uang pendaftaran ulang pada saat kenaikan kelas dan uang wisuda saat kelulusan.

Darius mengingatkan, ada syarat yang wajib dipenuhi agar sebuah pungutan sekolah dapat dinyatakan sebagai pungutan yang sah.

Berikut syaratnya seperti diatur Peraturan Pemerintah No 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan:

  1. Didasarkan pada perencanaan investasi dan/atau operasi yang jelas dan dituangkan dalam rencana strategis, rencana kerja tahunan, serta anggaran tahunan yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
  2. Perencanaan investasi dan/atau operasi diumumkan secara transparan kepada pemangku kepentingan satuan pendidikan.
  3. Dana yang diperoleh disimpan dalam rekening atas nama satuan pendidikan.
  4. Tidak dipungut dari peserta didik atau orang tua/walinya yang tidak mampu secara ekonomis.
  5. Digunakan sesuai dengan dan tidak dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
  6. Paling sedikit 20 persen dari total dana pungutan peserta didik atau orang tua/walinya digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan.
  7. Pungutan tidak dialokasikan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk kesejahteraan anggota komite sekolah/madrasah atau lembaga representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan.
  8. Pengumpulan, penyimpanan, dan penggunaan dana diaudit oleh akuntan publik dan dilaporkan kepada menteri pendidikan, apabila jumlahnya lebih dari jumlah tertentu yang ditetapkan oleh menteri pendidikan.

Kepala Sekolah Harus Punya Payung Hukum untuk Lakukan Pungutan

Ia mengatakan kepala sekolah juga harus punya payung hukum yang memberikan kewenangan kepadanya untuk melakukan pungutan. Sekolah seharusnya tidak melakukan pungutan hanya semata-mata berdasarkan kesepakatan bersama orang tua melalui komite, kecuali jika sekolah bukan lembaga publik dan tunduk pada hukum privat.

"Jika pun demikian, sekolah harus mematuhi syarat-syarat sahnya suatu kesepakatan sebagaimana diatur dalam pasal 1320 Hukum Perdata. Dengan demikian perlu diatur bahwa apakah pungutan di sekolah adalah sejenis retribusi, pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ataukah jenis pungutan lain yang legal," ucap Darius.

Ia mencontohkan pada SMA dan SMK di NTT, pungutan iuran komite berkisar Rp 50.000-Rp 200.000 per siswa per bulan. Jika sekolah memungut uang sebesar Rp 150.000 per siswa per bulan kepada 1.000 siswa, maka dapat terkumpul uang pungutan sebanyak Rp 150 juta atau Rp 1,8 miliar per tahun.

"Dari jumlah ini dapat dihitung berapa kebutuhan untuk pembiayaan petugas kebersihan, satuan pengamanan, guru komite dan kebutuhan lainnya. Semestinya orang tua tidak diminta untuk membangun gedung sekolah, pagar, toilet, membeli komputer dan lain-lain, yang harusnya menjadi kewajiban pemerintah," ungkapnya.

"Sisa dana selebihnya haruslah dapat dipertanggungjawabkan sekolah sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan," sambung Darius.




(twu/faz)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads