DPR RI minta Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengkaji ulang wacana perekrutan guru dengan model marketplace. Anggota Komisi X DPR RI Ratih Megasari Singkarru mengatakan, usulan ini harus mempertimbangkan potensi kendala serta risiko.
Lebih lanjut, Politisi Fraksi Partai Nasional Demokrat (F-Nasdem) itu menekankan bahwa kesejahteraan guru honorer, persebaran guru, hingga perekrutan guru PPPK perlu diselesaikan terlebih dahulu oleh Kemendikbudristek. Jika tidak, akan menjadi polemik yang berkepanjangan di dunia pendidikan.
"Dari namanya saja, marketplace, kita sudah merasa bahwa ini tidak pantas karena seakan-akan menjadikan guru itu sebagai sebuah komoditi yang semuanya bergantung pada mekanisme pasar," terang Ratih dalam situs DPR RI, Rabu (14/6/2023)/
Padahal menurutnya, negara sudah mempunyai mekanisme melalui Badan Kepegawaian Negara (BKN) atau Badan Kepegawaian Daerah (BKD) bisa diberdayakan untuk mengisi kekosongan guru di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika kendalanya adalah perekrutan yang hanya setahun sekali, ia berharap pemerintah memperbaiki arus informasi antara kebutuhan sekolah dan badan kepegawaian.
"Dengan demikian, begitu ada guru pindah atau pensiun yang posisinya menjadi kosong, badan tersebut bisa langsung melakukan redistribusi atau menempatkan guru," imbuhnya.
Takutkan Penyelewengan dalam Proses Rekrutmen Guru
Ratih memahami bahwa mekanisme perekrutan melalui marketplace berfungsi memangkas birokrasi seleksi guru. Akan tetapi, menurutnya, baru dalam tingkat gagasan saja, kendala dan risiko banyak muncul di benak para guru.
"Perlu dipertimbangkan apakah kewenangan perekrutan guru melalui marketplace ini benar-benar ada di tangan kepala sekolah. Bagaimana risiko terjadinya nepotisme, atau bahkan pungli terkait hal tersebut," ungkap Ratih.
Tidak hanya itu, ia khawatir jika 'marketplace' akan melahirkan persaingan tidak sehat antar sekolah maupun antar guru. Mekanisme pasar akan membuat sekolah yang memiliki anggaran besar akan dapat dengan leluasa memilih guru, namun tidak dengan sekolah dengan anggaran kecil.
"Malahan, bisa jadi para guru ini nanti terpaksa harus beli jasa SEO (Search Engine Optimization) supaya nama mereka muncul paling atas di setiap pencarian guru oleh sekolah pada platform marketplace tersebut," jelasnya.
Sebab itu, ia meminta pemerintah agar lebih peka dengan kondisi di lapangan. Masih banyak guru di Indonesia yang memiliki tantangan untuk mengakses beragam platform digital pemerintah.
(nir/faz)