Pembelajaran Jarak Jauh dan Belajar dari Rumah yang selama ini diterapkan oleh Kemendikbud-Ristek sejak datangnya pandemi COVID-19 di tahun 2020, dinilai masih belum efektif oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
Kemendikbud Ristek malah terlihat tak berdaya dan kebingungan mengatasi berbagai permasalahan yang timbul dari kebijakan BDR atau PJJ. FSGI menunjukkan belajar online menyebabkan bertambahnya angka putus sekolah. Selain itu, pelajar dari keluarga miskin juga sulit belajar karena tidak ada alat belajar daring.
"Kekeliruan dari awal karena menjadikan BDR menjadi PJJ daring yang bertumpu pada internet, padahal disparitas digital sangat lebar antar daerah di Indonesia", ujar Sekjen FSGI Heru Purnomo, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (2/5/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama ini, Kemendikbud Ristek terlalu bertumpu pada internet sehingga hanya menitikberatkan pada pemberian kuota. Padahal, kebutuhan kuota beragam. Kemudian, banyak siswa dari keluarga miskin yang tak memiliki gawai. Serta ada wilayah-wilayah 'blank spots' yang tak tersentuh internet.
Dalam kegagalan dalam menangani dampak buruk belajar online itu, menurut FSGI pemerintah justru merelaksasi dengan rencana membuka sekolah tatap muka serentak pada Juli 2021 di tengah pandemi COVID-19. Seolah membuka kembali sekolah adalah cara ampuh mengatasi permasalahan pendidikan di masa pandemi.
"Padahal ini hanya 'kemalasan berpikir mencari terobosan lain' dan dapat menimbulkan permasalahan lain, misalnya ledakan kasus Covid-19 jika pembukaan sekolah tidak disertai kesiapan dan perlindungan berlapis untuk peserta didik dan pendidik. Sudah banyak kasus COVID setelah satuan pendidikan menggelar PTM", ujar Heru.
FSGI mengajukan sejumlah rekomendasi sehubungan dengan berbagai permasalahan pendidikan di masa pandemi.
1. FSGI mendorong agar Kemendikbud-Ristek untuk berkoordinasi dengan Dinas-dinas Pendidikan Daerah dan memastikan metode pembelajaran yang sesuai dengan disparitas wilayah, serta potensi dan kesiapan sekolah. FSGI menyarankan adanya skenario untuk memantau masing-masing sekolah sehingga kebijakan pembelajaran di kala pandemi ini tidak ditangani secara global kabupaten/kota.
2. FSGI meminta adanya pemetaan yang jelas terkait BDR di wilayah kota maupun desa. Mereka menyampaikan bahwa pemberian kuota internet memang bisa saja dilanjutkan, namun dengan catatan harus dibarengi dengan pembagian gawai dan/atau penguat sinyal. Selanjutnya, guru kunjung juga harus menjadi alternatif BDR.
3. FSGI meminta adanya fasilitas pendidikan tatap muka, jadi tidak hanya di sekolah, namun juga di lapangan terbuka, gubuk, pantai, atau di manapun sesuai dengan kondisi sekolah. Mereka berpendapat bahwa Pembelajaran Tatap Muka (PTM) yang dipaksakan justru akan menyiksa mental siswa.
4. FSGI mengingatkan Kemendikbud-Ristek untuk tidak menerapkan kebijakan yang seragam untuk seluruh Indonesia serta memaksakan program yang tidak tepat guna di masa pandemi. Contohnya adalah, Calon Guru Penggerak, Sekolah Penggerak, Organisasi Penggerak karena dinilai justru membebani penanganan pendidikan di saat pandemi.
5. FSGI mendorong adanya partisipasi kepala sekolah agar permasalahan BDR dan PTM di tingkat sekolahan dapat teratasi. Menurut pantauan FSGI, hal ini dikarenakan ada sekolah yang melakukan BDR hanya dengan apa adanya dan bahkan ada siswa yang merasa tidak nyaman dan sulit belajar saat PTM.
(pal/pal)