Hari Kartini 2021 dan Perjuangan Mengejar Kesetaraan lewat Pendidikan

ADVERTISEMENT

Hari Kartini 2021 dan Perjuangan Mengejar Kesetaraan lewat Pendidikan

Trisna Wulandari - detikEdu
Selasa, 20 Apr 2021 22:02 WIB
kartini
Foto: istimewa
Jakarta -

Di Indonesia, tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Raden Ajeng (R.A.) Kartini dikenal dengan surat-suratnya tentang emansipasi perempuan dan semangat untuk maju dengan pendidikan.

Kartini dikenal kerap berkirim surat dengan sejumlah orang di Belanda. Salah satu surat menyebut bagaimana putri bangsawan dan Bupati Jepara, Jawa Tengah ini ingin bersekolah lebih lanjut dan belajar bahasa asing untuk mempelajari pemikiran baru.

Salah satunya seperti yang diterjemahkan Armijn Pane dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT

"Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajian pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat." (Surat kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899)

"Saya tiada tahu berbahasa Prancis, Inggris, dan Jerman, sayang! --Adat sekali-kali tiada mengizinkan kami anak gadis tahu berbahasa asing banyak-banyak--kami tahu berbahasa Belanda saja, sudah melampaui garis namanya. Dengan seluruh jiwa saya, saya ingin pandai berbahasa yang lain-lain itu, bukan karena ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu." (Surat kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899)

Gema kumpulan surat-surat Kartini dirasakan baik di Eropa, Asia, bahkan Amerika. Hal ini terbukti dengan diterjemahkannya buku kumpulan surat Kartini oleh J.H. Abendanon yang berjudul Door Duisternis tot Licht ke dalam berbagai bahasa. Hal ini disampaikan Kepala Museum Kebangkitan Nasional 2016 R. Tjahjopurnomo dalam buku Sisi Lain Kartini yang diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI.

Dampak dari terjemahan tersebut adalah dikenalnya gagasan Kartini dalam mengangkat derajat kaum perempuan bumiputera di dunia internasional lewat pendidikan.

Kartini dan kedua saudaranya, R.A Roekmini dan R.A Kardinah dibesarkan dalam lingkungan kabupaten yang serba berkecukupan dan tumbuh menjadi anak yang sehat dan cerdas.

Kartini dimasukkan ke sekolah dasar eropa atau Europesche Lagere School (ELS) pada 1885 meskipun tradisi kaum bangsawan pada masa itu melarang keras putri-putrinya ke luar rumah, apalagi datang ke sekolah bersama anak laki-laki.

ELS merupakan sekolah khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak bangsa Eropa dan Belanda Indo. Anak pribumi yang diizinkan mengikuti pendidikan di ELS hanya anak pejabat tinggi pemerintah.

Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar di ELS membuat Kartini bisa meningkatkan kemampuan bahasanya.

Keberadaan Kartini di ELS menarik perhatian banyak orang karena menjadi siswa pribumi yang mampu berbahasa Belanda dengan baik.

Kemampuan tersebut diperoleh dengan cara rajin membaca buku dan koran berbahasa Belanda, serta mempraktikkan bahasa Belanda saat bermain dan menemui tamu bangsa Belanda yang datang ke kabupaten tempat ia tinggal.

Siswa pribumi di ELS sering mendapatkan perlakuan diskriminatif seperti pandangan rendah dari sesama siswa dan guru dari Belanda. Perlakuan tersebut memacu semangatnya terus berprestasi agar bisa mengalahkan siswa lain.

Bacaan Kartini kian beragam seiring beranjak remaja. Dalam suratnya kepada Nyonya Van Kol, Kartini menceritakan bagaimana ia mempelajari pemikiran pejuang wanita dari India Pundita Ramambai, dikutip dari buku Sisi Lain Kartini,

"Tentang putri Hindia yang gagah berani ini telah banyak kami dengar. Saya masih bersekolah, ketika pertama kali mendengar tentang perempuan yang berani itu. Aduhai? Saya masih ingat betul: saya masih sangat muda, anak berumur 10 atau 11 tahun, ketika dengan semangat menyala-nyala saya membaca dia di surat kabar. Saya gemetar karena gembira: jadi bukan hanya untuk perempuan berkulit putih saja ada kemungkinan untuk merebut kehidupan bebas bagi dirinya! Perempuan Hindia berkulit hitam, jika bisa membebaskan, memerdekakan diri."

Kartini dinyatakan lulus dari ELS dengan nilai cukup baik pada awal 1892. Ia berharap ayahnya yang berpikiran maju dengan menyekolahkannya di ELS akan mengizinkannya melanjutkan pendidikan di HBS Semarang. Tetapi Bupati R.M. Sosrodiningrat, ayahnya, tidak memperbolehkan.

Kartini teringat orangtua Letsy, temannya, yang pernah menawarkan kesempatan melanjutkan pendidikan di Belanda. Tetapi ia tidak diperbolehkan melanjutkan studi dan harus memasuki masa pingitan di usia menjelang 13 tahun untuk menikah.

Selama masa pingitan, Kartini dipaksa belajar menjadi putri bangsawan sejati. Ia dibiasakan berbicara dengan suara halus dan lirih, berjalan setapak demi setapak dan menundukkan kepala jika anggota keluarga yang lebih tua lewat, dan aturan adat lain.

Setiap pagi ia hanya bisa melihat adik-adiknya pergi ke sekolah. Kartini berusaha mengatasi kesunyian hidupnya dengan belajar sendiri, tetapi belajar tanpa guru dinilai tidak membawa manfaat.

Di masa pingitan, Kartini menikmati bacaan-bacaan yang penuh dengan pengetahuan. Bacaan tersebut membuatnya lupa akan kesedihan hidup yang harus dijalani.

Kartini kerap membuat catatan kecil berisi tema-tema yang dianggap penting di bukunya. Isi buku catatannya mencakup perilaku yang baik, pandangan hidup yang bisa dijadikan contoh, jiwa dan pemikiran besar, yang lalu dipelajari dan dipahami kembali.

Selanjutnya, Kisah Kartini yang rajin membaca dan mencatat..


Rajin membaca dan mencatat


Lewat membaca dan membuat catatan, Kartini mempelajari dan memahami pemikiran emansipasi yang berkembang di negara-negara lain. Pengetahuan ini menjadi dasar Kartini untuk mewujudkan terciptanya kesetaraan manusia dan kemanusiaan.

R.M Sosrodiningrat senang melihat kegemaran Kartini membaca. Ia berlanggganan kotak bacaan (leestrommel) berisi buku, koran, dan majalah dalam dan luar negeri yang ditukar setiap minggu. Bacaan yang tidak mudah dipahami dibacanya berulang-ulang.

Kata-kata yang tidak ia mengerti dicatat Kartini dan ditanyakan ke R.M. Sosrokartono, kakak kesayangannya yang pulang ke Jepara saat libur sekolah.

Perhatian dan simpati kepada Kartini ditunjukkan kakaknya dengan memberikan buku yang sesuai dengan usia Kartini sehingga mudah dipelajari dan dipahami.

Seiring waktu, Kartini juga bercita-cita menjadi guru. Keinginan ini diungkapkan kepada Nyonya Nelly Van Kol,

"Tidak ada sesuatu yang lebih baik dan lebih sungguh-sungguh yang saya inginkan, kecuali dididik dalam bidang pengajaran," seperti dikutip dari Sisi Lain Kartini.

Kartini pernah berupaya mencari beasiswa dengan mengirim surat pada sahabatnya Nyonya Ovink Soer. Tetapi orangtuanya tidak mengizinkannya studi ke Belanda.

Peluang Kartini mendapatkan pendidikan sedikit terbuka saat pemerintah Belanda mengumumkan politik kolonial baru pada September 1901.


Melanjutkan sekolah

Ratu Wilhelmina dalam sidang parlemen memproklamasikan politik etis yang mengharuskan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat jajahan di Hindia Belanda.

Gagasan emansipasi dan cita-cita Kartini untuk maju dengan pendidikan mulai jadi perhatian pemerintah Hindia Belanda. Pada 8 Agustus Kabupaten Jepara dikunjungi JH. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Kerajinan, dan Agama.

Abendanon datang untuk menjelaskan rencana pendirian kostchool untuk gadis bangsawan. Kostschool adalah sekolah asrama di bawah pengawasan guru.

Kartini mendukung rencana tersebut karena akan menambah pengetahuan kaum perempuan sehingga menyadari hak mereka selama ini terampas.

Kartini juga menyarankan pembukaan pendidikan kejuruan agar perempuan terampil dan mandiri, tidak bergantung kepada laki-laki.

Abendanon yang terkesan dengan penjelasan Kartini dan ayahnya mengundang mereka ke Batavia. Di sana, Kartini ditawari Direktur HBS Batavia Nona Van Loon untuk melanjutkan studi di sekolahnya.

Saat itu ayah Kartini mengizinkannya untuk melanjutkan studi menjadi guru. Tetapi sebagian besar bupati menolak surat edaran Abendanon tentang kostschool dengan alasan aturan adat bangsawan tidak mengizinkan anak perempuan dididik di luar.

Perjuangan Kartini untuk mendapat pendidikan terdengar oleh anggota parlemen Belanda Van Kol. Ia singgah ke Jepara dalam perjalanan ke Hindia Belanda pada 1902.

Pemikiran Kartini tentang persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan yang bisa dicapai melalui pendidikan disampaikan dengan jelas.

Kemampuan Kartini mendorong Van Kol memberi tawaran melanjutkan pendidikan ke Belanda bersama adiknya Roekmini dengan biaya pemerintah.

Tidak lama, Van Kol berhasil mendapatkan beasiswa studi untuk Kartini. Tetapi berbagai bujukan dan tekanan orang bumiputra dan keluarga Abendanon membuatnya mengurungkan niat ke Belanda.

Membuka sekolah Kartini

Dalam surat kepada anak keluarga Abendanon tanggal 27 Januari 1903 Kartini menulis sebab pembatalan studinya, di antaranya janji Mr. Abendanon mengizinkan Kartini membuka sekolah meskipun belum mengikuti ujian pendidikan guru.

Ia pun mencoba mengajukan studi di Batavia saja ke pemerintah Hindia Belanda. Surat permohonan Kartini dan Roekmini adiknya untuk belajar di Batavia tidak segera dijawab pemerintah.

Mereka lalu memutuskan membuka sekolah untuk anak-anak gadis pada Juni 1903.

Sekolah Kartini menekankan pembinaan budi pekerti dan karakter anak sehingga suasana sekolah diciptakan seperti suasana di rumah.

Sekolah berlokasi di pendopo kabupaten. Kegiatan belajar mengajar berlangsung empat hari seminggu, Senin-Kamis. Murid belajar 4,5 jam sehari, pukul 8 pagi-12.30 siang.

Kartini banyak menghabiskan waktu memikirkan pengelolaan sekolah barunya karena minat masyarakat yang ingin menyekolahkan anaknya bertambah. Di tengah masa tersebut, ia memutuskan menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat pada 8 November 1903.

Cita-cita Kartini dalam memajukan pendidikan gadis bumiputera dikhawatirkan redup setelah menikah dengan Bupati Rembang.

Tetapi Kartini tetap fokus merintis pendidikan kaum perempuan bumiputra, khususnya perempuan dari Jawa dan Madura.

Surat lamaran suaminya diterima Kartini dengan syarat sang Bupati Rembang menyetujui dan mendukung gagasan dan cita-cita Kartini. Kartini juga harus diizinkan membuka sekolah dan mengajar putri-putri bangsawan di Rembang.

Kartini juga mengalihkan beasiswa studi ke Batavia yang ia dan Roekmini dapat tidak lama setelahnya ke orang lain.

Kesehatan Kartini melemah setelah melahirkan anaknya pada 13 September 1903. Pada 17 September 1903, Kartini wafat dalam usia 25 tahun.

Sekolah yang sudah dirintis Kartini mengalami kendala setelah kematiannya. Keluarga Abendanon dan Nyonya Van Deventer kemudian membangun beberapa sekolah nama Sekolah Kartini.

Seiring dengan berjalannya waktu, sekolah Kartini berkembang ke kota-kota lain, dengan program pendidikan yang mendukung keterampilan siswa.



Simak Video "Video Komnas Perempuan Sebut Angka Kekerasan Wanita Adalah Fenomena Gunung Es"
[Gambas:Video 20detik]

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads