Permasalahan sampah menjadi salah satu isu besar yang dihadapi kota-kota di Indonesia. Volume sampah rumah tangga yang terus meningkat tidak sebanding dengan kapasitas pengelolaan yang ada.
Alhasil, timbunan sampah kerap menumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), menimbulkan bau tak sedap, pencemaran lingkungan, hingga berkontribusi terhadap perubahan iklim. Kondisi ini mendorong lahirnya berbagai inovasi berbasis teknologi tepat guna.
Salah satunya Taruma Agni, sebuah generator pengolah sampah berbasis pirolisis yang dirancang untuk skala RT/RW. Inovasi ini dikembangkan oleh Pusat Pelayanan Teknologi Tepat Guna M-SAT di Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, bersama tiga dosen dari Binus Online Universitas Bina Nusantara Jullend Gatc, Yulius Denny Prabowo, dan Dhendy Indra Wijaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Proyek ini berhasil mendapatkan dukungan pendanaan dari skema hibah Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) yang difasilitasi oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. PKM ini merupakan sebuah inisiatif nasional yang mendorong generasi muda dan akademisi menciptakan solusi nyata untuk tantangan masyarakat.
"Keunggulan utama Taruma Agni terletak pada penerapan teknologi pirolisis, yaitu proses penguraian sampah melalui pemanasan pada suhu tinggi dalam kondisi minim oksigen," ujar Denny dalam keterangannya yang dikutip detikEdu, Selasa (23/9/2025).
![]() |
Mampu Mengurangi Polutan
Tidak seperti pembakaran terbuka yang menghasilkan asap pekat dan polusi udara, pirolisis mampu mengurangi polutan secara signifikan. Hasil akhirnya berupa arang yang masih memiliki nilai guna.
Dengan sistem ini, sampah rumah tangga yang biasanya berakhir di TPA kini dapat diproses langsung di lingkungan warga. Taruma Agni dirancang dalam skala RT/RW, sehingga setiap komunitas dapat mandiri dalam mengelola sampahnya tanpa harus sepenuhnya bergantung pada layanan pengangkutan kota.
Kota Bogor, seperti banyak wilayah lain di Indonesia, menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan sampah.
Data Dinas Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa produksi sampah harian mencapai ratusan ton, sementara kapasitas TPA semakin terbatas. Jika tidak diatasi, kondisi ini berpotensi memicu darurat sampah seperti yang pernah terjadi di berbagai daerah.
Dalam konteks ini, Taruma Agni hadir sebagai jawaban praktis sekaligus visioner. Teknologi ini tidak hanya membantu mengurangi volume sampah, tetapi juga mengedukasi masyarakat tentang pentingnya ekonomi sirkular.
"Lewat pendekatan ini, sampah tidak lagi dianggap sebagai akhir dari siklus konsumsi, melainkan titik awal dari potensi baru yang dapat dimanfaatkan kembali," kata Denny.
Kolaborasi Masyarakat, Akademisi, dan Pemerintah
Selain itu, keunikan Taruma Agni lainnya adalah model kolaboratif yang melibatkan akademisi, pemerintah, dan masyarakat. Para dosen dari Binus Online mendampingi warga dalam penggunaannya.
Pendekatan ini memastikan bahwa teknologi benar-benar sesuai dengan kebutuhan lapangan, mudah dioperasikan, serta berkelanjutan.
Keberhasilan Taruma Agni di tingkat lokal menumbuhkan harapan untuk replikasi di wilayah lain. Jika setiap RT/RW di kota besar memiliki teknologi serupa, beban TPA bisa berkurang drastis. Lebih dari itu, inovasi ini membuka peluang lahirnya gerakan nasional pengelolaan sampah berbasis komunitas.
Warga tidak lagi sekadar penerima layanan kebersihan, melainkan turut menjadi pelaku utama dalam menjaga kelestarian lingkungan. Yulius pun meyakini melalui dukungan berkelanjutan dari pemerintah, dunia akademik, dan masyarakat, Taruma Agni berpotensi menjadi salah satu ikon inovasi hijau Indonesia.
Inisiatif ini membuktikan solusi atas persoalan lingkungan tidak selalu harus mahal atau rumit. Sebaliknya, jawaban bisa lahir dari kearifan lokal, kolaborasi lintas sektor, dan keberanian untuk menghadirkan terobosan baru.
(pal/faz)