Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID) bersama empat mahasiswa perseorangan meminta negara membiayai pendidikan hingga kuliah. Pada Senin (4/8/2025), mereka telah menyampaikan perbaikan permohonan uji materi Pasal 11 ayat (2) UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) terhadap UUD NRI 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada sidang pemeriksaan pertama, Selasa (22/7/2025) lalu, para mahasiswa menyatakan pemerintah wajib menjamin tersedianya dana pendidikan bagi setiap warga negara pada seluruh jenjang pendidikan secara bertahap, tidak hanya bagi anak usia 7-15 tahun.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sorot UKT Tinggi, Putus Kuliah, dan Ketidaksetaraan
Mereka menegaskan, biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi yang dikenakan pada mahasiswa merugikan hak kontitusionalnya. Sebab, biaya kuliah tidak hanya bersinggungan dengan masalah ekonomi, tetapi juga membiarkan ketidaksetaraan dan menghambat kemajuan bangsa.
Akibatnya, sambung mereka, ratusan ribu mahasiswa terpaksa berhenti kuliah karena masalah finansial. Mengutip data Kementerian Pendidikan Tinggi, para mahasiswa menyatakan lebih dari 350 ribu mahasiswa berhenti kuliah pada 2023, yang mayoritas berasal dari perguruan tinggi swasta.
Para mahasiswa menyorot masalah finansial memaksa pelajar putus kuliah terutama berkaitan dengan sistem uang kuliah tunggal (UKT). Mereka merinci, rata-rata biaya pendidikan tinggi mencapai Rp 19,01 juta per tahun pada tahun ajaran 2023/2024 dan rata-rata biaya kuliah di Indonesia secara umum naik sekitar 50 persen selama periode 2014-2023.
Sidang Lanjutan
Pada sidang lanjutan, para mahasiswa pemohon Perkara Nomor 111/PUU-XXIII/2025 ini sudah memperbaiki alasan-alasan permohonan atau sistematika posita. Dalam hal ini, mereka menyatakan sudah menguraikan satu per satu kerugian hak konstitusional atas berlakunya pasal yang diuji terhadap pasal-pasal dalam UUD NRI 1945, yang dijadikan batu uji atau dasar pengujian.
"Sistematika positanya kita uraikan satu per satu pasal-pasal atau batu uji yang mana yang menjadi kerugian kita," kata kuasa hukum mereka, Brahma Aryana, dalam sidang perbaikan permohonan pada Senin (4/8/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta, dilansir dari laman MKRI.
Brahma menyatakan permohonan mahasiswa ini berbeda dengan permohonan yang telah diputus sebelumnya pada 2009 lalu, baik objek maupun dasa pengujiannya. Ia menjelaskan, permohonan ini hanya menguji sebagian frasa dalam Pasal 11 ayat (2) UU Sisdiknas yaitu "yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun."
Pasal 11 ayat (2) UU Sisdiknas sendiri berbunyi "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun."
Para mahasiswa menilai pasal yang diuji tersebut bertentangan dengan pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), serta Pasal 31 ayat (1), (3), dan (4) UUD NRI 1945. Mereka menilai pasal 11 ayat (2) UU Sisdiknas inkonstitusional.
Mahasiswa pemohon menyatakan, pasal tersebut seharusnya dimaknai "Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara pada seluruh jenjang pendidikan secara bertahap."
Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang terdiri dari Hakim Konstitusi Arief Hidayat sebagai pemimpin sidang, Hakim Konstitusi Anwar Usman, dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.
Arief menyatakan MK mempertimbangkan fakta berkas perbaikan permohonan belum ditandatangani kuasa hukum atas nama Girindra Sandino dan perbaikan permohonan diterima pada pukul 13.43 WIB. Berdasarkan sidang sebelumnya, MK memberikan batas waktu perbaikan permohonan paling lambat 4 Agustus 2025 pukul 12.00 WIB.
(twu/nwk)