Rancangan Undang-Undang tentang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) salah satunya berisi usulan agar perguruan tinggi dapat mengelola tambang.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan peraturan lebih lanjut terkait dapat disusun untuk memberi manfaat bagi pihak kampus.
"Ya saya pikir kalau semangatnya adalah bagaimana kemudian memberikan atau mencarikan dana untuk universitas-universitas," kata Dasco di gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (23/1/2025), dilansir detiknews.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah, tetapi kemudian mungkin mekanisme pengerjaan dan lain-lainnya, itu silakan nanti diatur di dalam aturan yang ada sehingga kemudian memang pemberian-pemberian itu juga memberikan manfaat kepada universitas yang dimaksud," sambungnya.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan kewenangan perguruan tinggi mengelola tambang menurut Supratman menunggu daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Minerba dari pemerintah ke Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Kemungkinan BUMN akan menjadi perantara atau pihak ketiga dari perguruan tinggi untuk mengelola tambang.
Menurut Supratman, cara tersebut memungkinkan pembagian hasil tambang merata ke semua perguruan tinggi.
"Hasilnya itu dibagi berapa besar yang bisa diberi sumbangsih kepada perguruan tinggi sehingga itu bisa merata semua perguruan tingginya. Nah karena itu juga salah satu yang membuat kenapa DIM-nya kami lagi mau selaraskan," ucapnya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (11/2/2025) dikutip dari detiknews.
Moral dan Blunder Kampus Kelola Tambang
Merespons isu ini, dosen Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Akbar Reza mengatakan ada benturan antara kompetensi, moralitas, dan krisis identitas pada legitimasi izin kampus mengelola tambang.
Ia menilai narasi "tambang untuk kampus" ironis dengan adanya narasi Sustainable Development Goals (SDGs) dan Green Campus yang diupayakan dan dicitrakan perguruan tinggi. Sebab, kampus-kampus RI juga berupaya masuk pemeringkatan kampus yang mendukung SDGs dan green metric.
"Namun, jika kampus yang sama justru terlibat dalam industri ekstraktif yang merusak lingkungan, maka itu adalah sebuah ironi besar. Apalagi kampus diajak mendukung target Net Zero 2060," kata Akbar dalam diskusi Bakul Pemimpi, dilansir laman resmi UGM, dikutip Rabu (12/2/2025).
Akbar menyatakan kekhawatiran wacana kampus mengelola tambang menggunakan akademisi di lingkungan kampus sebagai alat legitimasi moral dan intelektual bagi industri tambang.
Ia menambahkan, sedangkan sejumlah kompetensi teknis pengelolaan tambang sendiri tidak dimiliki oleh seluruh akademisi.
Risiko Kampus Kelola Tambang
Terpisah, anggota Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Kutai Timur, Zulfatun Mahmudah mengatakan kampus akan melakukan blunder besar bila nekat tetap ingin mengelola tambang.
Ia mengatakan kampus akan kesulitan mengelola tambang karena minim kemampuan finansial dan minim kapasitas operasional penambangan, termasuk menghadapi tantangan soal sosial dan lingkungan.
Modal Besar dan Biaya Tinggi
Zulfatun mengatakan sektor pertambangan butuh modal awal sangat besar untuk eksplorasi dan ekstraktif, termasuk jaminan reklamasi yang harus disetor dalam waktu 30 hari setelah dokumen rencana reklamasi diserahkan. Kampus lebih lanjut juga harus menyiapkan pendanaan eksplorasi yang meliputi pemetaan lokasi, penentuan kualitas dan deposit batu bara, serta analisis dampak lingkungan yang juga membutuhkan dana besar.
Kemudian, pendanaan konstruksi fasilitas pengolahan seperti crusher dan coal processing plant hingga jalur pengangkutan (hauling road) juga perlu disiapkan. Namun, biaya ini menurutnya bisa sangat mahal jika lokasi tambang jauh dari jalur distribusi dan perguruan tinggi tak lantas mendapat untung.
Ia menambahkan, biaya konstruksi perkantoran dan perumahan karyawan juga perlu disiapkan.
"Sebagai gambaran, PT Kaltim Prima Coal menghabiskan 570 juta USD dalam tahap konstruksi awalnya, atau sekitar 10 triliun rupiah dengan kurs saat ini," kata Zulfatun.
Zulfatun juga mewanti-wanti soal biaya besar untuk operasional dan keselamatan tambang. Perusahaan tambang juga harus mengeluarkan lagi biaya pajak dan royalti dari keuntungan yang diraup.
Untuk itu, modal awal dan biaya sebelum hingga setelah menambang menurutnya sangat mahal untuk perguruan tinggi.
"Kita harus tahu royalti ekspor lebih tinggi dibanding domestik. Ini belum termasuk sharing profit ke pusat dan daerah, bahkan wajib mengalokasikan duit untuk CSR, tanggung jawab sosial," ungkapnya.
Risiko Pihak Ketiga
Sementara itu, opsi pendanaan dari pihak ketiga dan pinjaman menurutnya juga berisiko.
Jika memberikan hak konsesi ke investor dan kampus menerima fee, maka kampus kehilangan kendali penuh atas tambang. Sedangkan jika mencari pinjaman dana, kampus harus menyediakan aset sebagai jaminan.
"Pilihan pertama, berarti kampus menjadi broker. Atau pilihan kedua, ada risiko break-even point (BEP) dalam industri tambang sangat panjang, dan ada risiko kerugian akibat fluktuasi harga batu bara, misalnya," ucapnya.
Soal Reputasi Kampus
Zulfatun juga menyorot risiko kehancuran reputasi kampus saat mengelola tambang karena dapat dinilai tidak independen dengan tersandera kepentingan bisnis. Dalam hal ini, perguruan tinggi berisiko dinilai tidak kredibel lagi secara akademik.
"Kampus akan kehilangan kredibilitas akademik akibat konflik kepentingan. Kampus bisa dianggap menyimpang dari tujuan awalnya sebagai institusi pendidikan dan penelitian," ucapnya.
Ia menyarankan agar pimpinan perguruan tinggi yang tergabung dalam forum rektor sebaiknya memperkuat perannya dalam riset, inovasi teknologi, atau pendidikan pertambangan yang berkelanjutan, bukan malah menjadi pelaku bisnis tambang itu sendiri.
(twu/nwk)