Beberapa waktu lalu pada pekan pertama Januari 2025 Aliansi Dosen Kemendiktisaintek Seluruh Indonesia (Adaksi) menyampaikan protes dalam bentuk mengirim karangan bunga ke gedung Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek), Jakarta Pusat. Protes tersebut berkaitan tidak adanya anggaran untuk tunjangan kinerja (tukin) dosen pada 2025.
Mendiktisaintek Satryo Soemantri sebelumnya mengatakan tukin untuk dosen berstatus ASN kemungkinan cair pada 2025. Tukin dosen sudah lima tahun belum dibayarkan oleh pemerintah.
Satryo mengatakan, pihaknya telah mengajukan surat penambahan anggaran Kemendiktisaintek untuk melakukan pembayaran tunjangan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga menilai Kemenkeu telah memberikan sinyal positif.
"Tukin ini sudah sampai pembahasan antar kementerian dan cukup intensif. Terakhir kami menyurati Kementerian Keuangan untuk menganggarkan pembayaran tukin yang sudah tertunda selama lima tahun," ujar Satryo di Menara Global, Jakarta pada Kamis (16/1/2025), dikutip dari detikFinance.
"Prinsipnya dari Kementerian Keuangan sudah menyetujui perhitungan kami dan mudah-mudahan dalam waktu dekat Menteri Keuangan bisa memberikan persetujuan. Jadi optimis ada solusi untuk teman-teman yang perlu dibayar tukinnya," lanjutnya.
Pendapat Guru Besar UGM
Terkait tukin dosen, menurut Guru Besar Manajemen Kebijakan Publik dari Fisipol UGM Prof Dr Wahyudi Kumorotomo, MPP, adanya keprihatinan yang diperlihatkan oleh Adaksi mewakili keprihatinan bukan hanya dosen dan guru, tetapi juga keprihatinan terhadap para perumus kebijakan pendidikan bangsa sekarang ini.
Padahal Indonesia sedang menuju Indonesia emas dalam lima tahun ke depan. Selain itu juga periode jangka menengah kedua untuk memanfaatkan binus demografi.
"Kita menyayangkan perhatian pemerintah dan perumus kebijakan justru semakin luntur. Pendidikan yang menentukan daya-saing bangsa semakin tidak diperhatikan," ujar Wahyudi, dikutip dari laman resmi UGM.
Wahyudi menilai saat ini langkan Kemendiktisaintek amat membingungkan. Sebab, dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 447/P/2024 telah dijelaskan rencana untuk memberikan tukin dan semestinya sudah masuk ke anggaran pemerintah.
"Sangat aneh jika ternyata kementerian ini justru mengatakan bahwa dananya dari APBN belum ada," ujarnya.
Ia menyebut rencana pemerintah untuk MBG sudah berjalan, lalu Kemenhut akan membuka jutaan hektare lahan untuk pangan. Sedangkan ada banyak menteri yang mengeluhkan anggaran masih kurang.
"Apakah semua alokasi anggaran harus dilakukan melalui "kuat-kuatan" negosiasi?" kata Wahyudi.
Awal Mula Persoalan Tukin Dosen
Wahyudi menilai persoalan tukin dosen ASN bermula dari perubahan UU PNS menjadi UU ASN pada 2015. Perubahan ini juga menyinggung postur anggaran, baik untuk yang statusnya PNS atau PPPK.
Kemudian, adanya UU Guru dan Dosen diterbitkan pada 2005, proses sertifikasi dosen (serdos) belum selesai sepenuhnya khususnya untuk dosen muda yang belum lulus syarat sertifikasi.
"Nah, mereka itu tidak mendapatkan tunjangan. Yang sudah punya sertifikasi dosen, mereka dapat. Yang belum serdos ini yang punya masalah, mereka menuntut," kata Wahyudi.
Para dosen yang belum memiliki serdos juga sudah meminta agar mendapatkan tukin sebagai pengganti tunjangan profesi. Kendati demikian, pengesahan tukin ini ternyata butuh waktu cukup lama.
Hal ini pun semakin rumit dengan adanya perubahan struktur nomenklatur kementerian dari Kemenristekdikti ke Kemendikbudristek, lalu jadi Kemendiktisaintek, menurut Wahyudi.
Menurutnya ada kecenderungan pola alokasi anggaran yang kurang teratur di tingkat pemerintahan, seperti halnya yang ada di negosiasi kenaikan tunjangan para hakim hingga melibatkan Presiden turun langsung.
Wahyudi menyebut jika tukin dosen belum terealisasi, aksi Adaksi dan komunitas dosen dan guru akan terus disuarakan dengan lantang.
"Saya melihat sebenarnya kondisi ini tidak sehat. Karena semua hal terkait pendanaan Kementerian dan lembaga dasarnya adalah negosiasi politik bukan berdasarkan kebutuhan objektif dari program di setiap kementerian," ucapnya.
(nah/nwy)