Kata Mendikti soal Tukin Dosen 2025: Sudah Diajukan ke Kemenkeu Rp 2,6 T

ADVERTISEMENT

Kata Mendikti soal Tukin Dosen 2025: Sudah Diajukan ke Kemenkeu Rp 2,6 T

Trisna Wulandari - detikEdu
Jumat, 10 Jan 2025 17:30 WIB
Mendikristek Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro
Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro angkat bicara soal tunjangan kinerja (tukin) dosen 2025 yang dikabarkan tidak jadi cair. Begini katanya. Foto: Nikita Rosa/detikedu
Jakarta -

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro angkat bicara soal tunjangan kinerja (tukin) dosen 2025 yang dikabarkan tidak jadi cair.

Satryo mengatakan pihaknya sudah mengajukan tambahan anggaran Rp 2,6 triliun ke Kementerian Keuangan terkait pembayaran tukin dosen. Tukin ini akan cair pada 2025 jika sudah mendapat persetujuan dari Kemenkeu dan Badan Anggaran (Banggar) DPR.

"Insya Allah kalau Kemenkeu sudah setuju, Banggar DPR juga setuju, ya," ucapnya pada detikEdu saat ditemui di Gedung D Kemdikbud, Jakarta, Jumat (10/1/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Satryo mengatakan pihaknya akan menutup perbedaan (closing the gap) pendapatan antara dosen ASN yang tidak mendapat tukin dengan yang mendapatkannya. Diharapkan, langkah ini mendukung pendapatan dosen ASN tidak lagi di bawah pendapatan tenaga kependidikan (tendik) administratif di perguruan tingginya.

"Jadi, yang betul adalah kita akan menutupi ya perbedaan yang selama ini ada antara yang dapat tukin dan tidak dapat tukin,"

ADVERTISEMENT

Besar anggaran Rp 2,6 triliun yang diajukan dihitung dari data sementara dosen 'korban' dan rapelan tukinnya yang belum dibayarkan.

"Iya, rapelan," ucapnya.

"Itu yang dari dulu kita hitung semua, dapat segitu," imbuh Satryo.

Sementara itu, pihaknya akan merevisi aturan terkait tukin dosen di lingkungan Kemendiktisaintek untuk mendukung pemenuhan tunjangan ini bagi dosen yang semestinya sudah mendapatkan tukin tetapi namanya tidak tercatat karena belum memiliki sertifikasi dosen (serdos).

Satryo mengatakan pihak Kemenkeu akan membantu upaya Kemendiktisaintek dengan menerbitkan peraturan terkait. Setelah itu, anggaran dapat dipergunakan untuk membayar tukin dosen.

"Paling tidak kita (Kemendiktisaintek) akan lihat dulu yang memang, dalam tanda petik, 'jadi korban' itu berapa, ya kan? ('Korban') Karena kalau belum serdos itu kan bukan salah dia, orang belum sempat diuji. Tapi pendapatannya kan rendah, ini yang kita mau coba samakanlah ini. Ini nanti yang kita coba bantu. Kita bayarkan selisih dari tukin itu, dengan jabatan fungsional itu. Selisih seperti apa, kita bayarkan," kata Satryo.

"Tapi kan, karena selama ini nggak diurus jadi kan di Kemenkeu nggak tercatat. Yang kita minta kemarin juga (responsnya) 'Nggak bisa, Pak. Kan nggak ada, Pak, di Kementerian.' Oh, iya, ya. Nah, kita mau revisi lagi sekarang, kita revisi dulu aturannya. Kita upayakan untuk yang sudah menjadi korban ini, kita coba penuhi kebutuhannya. Dan kita sudah ajukan ke Kemenkeu untuk pembayaran seperti ini ada Rp 2,6 triliun. Nah Kemenkeu minta bantuan kita untuk nanti kita bicarakan lagi deh, bagaimana mekanismenya," ucapnya.

Soal perhitungan jumlah dosen yang belum mendapat tukin, Satryo mengatakan pihaknya juga memperhatikan data dari pihak-pihak aliansi yang berdemo.

"Kita tidak mau juga menafikan. Memang itu masalah yang kita hadapi. Mereka juga tolong bersabar, kita pasti upayakan. Tidak mungkin kita mengorbankan nasib orang seperti itu, kan. Jadi, yang betul adalah kita akan menutupi perbedaan yang selama ini ada antara yang dapat tukin dan yang tidak dapat tukin" ucapnya.

Duduk Persoalan Tukin Dosen

Satryo mengatakan tunjangan kinerja PNS muncul dengan terbitnya Undang-Undang No 5 Tahun 2014 tentang ASN. Di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud, yang kini Kemendiktisaintek), tunjangan kinerja berlaku bagi ASN tenaga kependidikan administratif. Beda halnya dengan dosen

"Nah, untuk admin bisa seperti itu. Karena bisa diukur kan kinerjanya dengan kehadiran, kemudian dia kerja apa aja dihitung, kan. Dihitung jam dia kerja, terus dikasih remunerasinya sesuai dengan jam yang dia capai sebagai pegawai. Ditutupin (covered), dicek kan semua apa saja dikerjakan, berapa aja, dihitung kan, ada hitungannya. Jadi, gaji plus tukin kalau yang admin. Dosen kan beda," ucapnya.

Sedangkan bagi ASN jabatan fungsional (JF) dosen Kemendikbud, berlaku gaji ASN dan tunjangan profesi. Untuk mendapatkan tunjangan profesi, dosen harus sudah lulus sertifikasi dosen (serdos).

"Kita kan bukan admin. Dan dosen tidak bisa diukur dengan misalnya berapa jam dia ngantor, kan nggak ngantor. Kadang-kadang nggak ngantor kan, kan mesti ke lapangan. Kadang-kadang juga mungkin dia nggak di kantor, tapi mungkin bimbing mahasiswa, membina mahasiswa segala macam, penelitian, riset macam-macam, kan. Sehingga memang untuk dosen waktu itu, ya, nggak ada tukinnya. Yang ada adalah gaji yang fungsional dan tunjangan profesi," ucapnya.

Namun hingga hari ini, Satryo mengatakan tidak semua dosen Kemendikbud sudah tersertifikasi karena tidak dapat kuota ujian sertifikasi. Akibatnya, dosen-dosen tersebut tidak dapat memperoleh tunjangan profesi.

"Banyak yang belum sertifikasi, karena kan dosen itu kan total sekitar 300 ribu se-Indonesia. Sedangkan untuk ujian sertifikasi profesi itu setahun hanya bisa mungkin sampai 500 orang per tahun alokasinya. Kan ada ongkosnya itu untuk sertifikasi dosen itu. Jadi banyak yang nggak terima tunjangan profesi," ucapnya.

"Jadi cuma terima gaji sama tunjangan fungsional. Yang memang kecil fungsional itu," sambungnya.

Kendati berkualifikasi lulusan S2 dan S3, gaji dosen tanpa serdos tersebut menjadi lebih rendah daripada PNS dengan kualifikasi dan pangkat-golongan ASN yang setara di instansi lain. Penghasilan dosen yang belum tersertifikasi ini pun lebih rendah daripada tenaga kependidikan di kampusnya yang mendapatkan tunjangan kinerja (tukin).

"Tunjangan fungsional itu memang kecil. Nah, jadi ada keluhan dosen-dosen. 'Kok bisa ya? Kita pendapatannya lebih kecil, di bawah, dibanding dengan tenaga tendik di kampus, bagian TU atau apa. Dosen itu, padahal dosen sudah S3 dan sudah S2. Pendapatan lebih kecil daripada pendapatan teman-teman admin, tendik," ucapnya.

Berangkat dari keluhan-keluhan tersebut, muncul usulan agar dosen yang belum mengantongi serdos dapat diberi tukin. Namun, usulan ini belum terealisasi sejak 2015.

"Supaya, paling tidak, pendapatannya itu bisa seimbang. Golongan sama, pendapatan tendik maupun dosen juga minimal sama. Atau mungkin lebih besar sedikit lah, karena kan memang beda tugasnya, kan. Nah, itu yang kemudian dari tahun 2015 sampai sekarang ini belum terwujud bahwa dosen-dosen yang belum serdos itu sudah dapet tukin," ucapnya.

Wacana tukin bagi dosen yang belum tersertifikasi kembali muncul di masa Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) tetapi belum terealisasi.

Selanjutnya saat sudah ganti nomenklatur menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Keputusan Mendikbudristek tentang tunjangan kinerja dosen fungsional di bawah naungannya muncul di akhir masa kerja Mendikbudristek Nadiem Makarim.

Kepmendikbudristek No 447/P/2024 tentang Nama Jabatan, Kelas Jabatan, dan Pemberian Besaran Tunjangan Kinerja Jabatan Fungsional Dosen di Kemendikbudristek tersebut ditetapkan pada 11 Oktober 2024.

"Nggak sempet diolah lagi, tuh (saat itu). Jadi masih ngganjel terus sampai sekarang, sampai Diktisaintek, kan. Nah, saya ditodong sama teman-teman yang itu. 'Mana Pak, mana janji tukin yang ini.' Nah, kita sedang bicarakan lagi sekarang ke depan," ucapnya.

Usul Serdos Otomatis

Satryo mengatakan ia juga ingin agar dosen ke depannya bisa otomatis tersertifikasi saat sudah menjadi dosen fungsional. Dengan begitu, dosen tidak lagi perlu menunggu sertifikasi.

"Karena gini, menunggu serdos selesai kapan, gitu. Kan, pasti selamanya ada orang yang tidak dapat, kan. Nah, saya lagi mikir cara, karena serdos pun juga ternyata tidak mudah prosesnya itu, serdos itu makan biaya juga, makan tenaga juga," ucapnya.

"Saya sedang berupaya bagaimana nanti ke depan serdosnya kita otomatiskan. Jadi dosen, jabatan fungsional sudah punya,otomatis serdos dia sudah lolos. Nah, dengan begitu kan, semua dapat sama, kan. Nah, sama-sama tinggal kita bikin nanti. Yang (tenaga) administrasi itu gaji sama tukin, yang untuk dosen ini, gaji dengan (tunjangan) penjabatan fungsional, termasuk profesi di situ. Profesional dan profesi, jadi satu" imbuhnya.

Ia berharap upaya ini nantinya dapat menyelesaikan masalah kesenjangan pendapatan ASN di perguruan tinggi.

"Nah, kalau itu dapat semua, ya dengan teman-teman admin, tidak ada masalah lagi. Tapi itu ke depan. Tapi yang sementara ini, yang segera itu (Rp 2,6 triliun) tadi, dari dulu yang selama ini terkorbankan karena belum serdos. Ya, itu dulu," ucapnya.




(twu/pal)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads