Proses 'Tanah' Jadi Logam di ITB Butuh Waktu 2 Menit, Disebut Ramah Lingkungan

ADVERTISEMENT

Proses 'Tanah' Jadi Logam di ITB Butuh Waktu 2 Menit, Disebut Ramah Lingkungan

Pasti Liberti Mappapa - detikEdu
Senin, 11 Nov 2024 17:00 WIB
Guru besar Teknik Metalurgi ITB Zulfiadi Zulhan (ki) bersama timnya sedang melakukan percobaan Reaktor Plasma Hidrogen di laboratorium Pirometalurgi beberapa waktu lalu.
Guru besar Teknik Metalurgi ITB Zulfiadi Zulhan (ki) bersama timnya sedang melakukan percobaan Reaktor Plasma Hidrogen di laboratorium Pirometalurgi beberapa waktu lalu. (Dok. Zulfiadi Zulhan ITB)

Cara Kerja Reaktor Plasma Hidrogen ITB

Zulfiadi menjelaskan cara kerja alatnya dimulai dari gas argon dan gas hidrogen dialirkan melalui alat pengukur laju alir kemudian menuju reaktor plasma melalui inverter.

Gas buang dialirkan keluar reaktor menuju pembakar yang sekaligus berfungsi sebagai penghalang udara dari luar masuk ke dalam reaktor.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada awal percobaan, setelah sampel berupa tanah yang mengandung bijih besi diletakkan di atas krusibel tembaga yang didinginkan air, reaktor ditutup, argon dialirkan 1 menit untuk mengusir udara yang terdapat di dalam reaktor.

Proses peleburan bijih besi gutit dalam reaktor HSPR dalam waktu 2 menitProses peleburan bijih besi gutit dalam reaktor HSPR dalam waktu 2 menit Foto: Baihaqi Hakim/ITB

Setelah itu, gas hidrogen dialirkan bersamaan dengan gas argon dengan laju alir tertentu sesuai dengan kebutuhan. Gas yang keluar dari reaktor melalui pipa menuju cerobong mini dibakar dengan korek hingga muncul nyala api.

ADVERTISEMENT

Jika nyala api sudah terbentuk, yang berfungsi sebagai sealing untuk mencegah udara luar masuk ke dalam reaktor, langkah berikutnya adalah melakukan ignisi untuk menghasilkan plasma. Plasma dinyalakan sesuai dengan waktu yang ditentukan sebelumnya.

"Seperti orang nge-las, tapi dengan mengalirkan gas hidrogen ke dalam busur listrik las," ujar Zulfiadi.

Pada fase ini "tanah" berproses menjadi logam. Reaktor plasma membangkitkan suhu yang sangat tinggi bisa mencapai lebih dari 10.000 derajat celsius. Temperatur ini menghasilkan hidrogen (H dan H+) yang berfungsi sebagai reduktor.

Hidrogen tadi "menangkap" oksigen di bijih menghasilkan uap air. Hasil akhirnya berupa logam besi. Waktunya pun sangat singkat kurang dari 2 menit. Tingginya kecepatan proses ini pun mengejutkan Zulfiadi dan tim.

"Ini seperti sulap tapi bukan sulap," katanya.

Dibandingkan dengan proses produksi saat ini dengan teknologi Blast Furnace yang menggunakan batu bara dibutuhkan lebih dari 2 jam untuk menghasilkan logam. Selain itu, prosesnya pun terbilang ramah lingkungan.

"Kalau misalnya kita menggunakan hidrogen untuk reduktornya tidak ada karbon dalam produk (logam) serta tidak ada sulfur yang biasanya berasal dari batu bara," katanya.

Setelah selesai, plasma dimatikan, gas hidrogen ditutup salurannya ke reaktor. Gas argon tetap dinyalakan hingga nyala api di cerobong mini mati, yang mengindikasikan gas hidrogen dari reaktor sudah kecil konsentrasinya dan tidak terjadi ledakan.

"Selama masa percobaan berkali-kali ada ledakan kecil, ya namanya percobaan trial and error," katanya. Karena itu, menurut Zulfiadi keamanan menjadi salah satu isu utama dalam pengembangan reaktor plasma hidrogen.

(Bersambung)


(pal/nah)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads