Proses 'Tanah' Jadi Logam di ITB Butuh Waktu 2 Menit, Disebut Ramah Lingkungan

ADVERTISEMENT

Proses 'Tanah' Jadi Logam di ITB Butuh Waktu 2 Menit, Disebut Ramah Lingkungan

Pasti Liberti Mappapa - detikEdu
Senin, 11 Nov 2024 17:00 WIB
Guru besar Teknik Metalurgi ITB Zulfiadi Zulhan (ki) bersama timnya sedang melakukan percobaan Reaktor Plasma Hidrogen di laboratorium Pirometalurgi beberapa waktu lalu.
Guru besar Teknik Metalurgi ITB Zulfiadi Zulhan (ki) bersama timnya sedang melakukan percobaan Reaktor Plasma Hidrogen di laboratorium Pirometalurgi beberapa waktu lalu. (Dok. Zulfiadi Zulhan ITB)

Ide Reaktor Plasma Hidrogen Lahir di Jerman

Zaman dahulu proses pembuatan besi ditemukan secara tidak sengaja saat orang melakukan pesta di malam hari menggunakan api unggun.

"Tiba-tiba pagi hari begitu selesai pesta ada logam yang terbentuk, ternyata proses membakar kayu di atasnya ada proses reduksi di situ di tempat yang adanya besi oksida atau logam oksida di situ didapatkan logam," katanya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak itu, manusia menggunakan arang kayu sebagai reduktor. Namun, masa revolusi industri mengubah segalanya. Saat itu, kebutuhan baja meningkat sangat pesat. Akibatnya arang kayu tidak cukup lagi untuk memenuhi kebutuhan produksi logam.

Akhirnya pada 1708, ilmuwan Inggris Abraham Darby berhasil mengoperasikan tanur tiup atau blast furnace menggunakan kokas yang berasal dari batu bara.

ADVERTISEMENT

"Sejak saat itu sebagian besar arang kayu diganti dengan kokas," kata Zulfiadi.

Misalnya tidak ada penemuan Darby tersebut, menurut Zulfiadi, dunia tidak akan menghadapi masalah dengan CO2 di industri besi baja. Pabrik yang menggunakan arang kayu sebagai bahan sumber energi dan reduktor dikategorikan sebagai karbon netral, mirip seperti manusia dan hewan yang juga dikategorikan sebagai karbon netral karena makanannya berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Seiring berjalannya waktu para ahli dari berbagai belahan dunia menyepakati pemanasan global dan perubahan iklim salah satunya disebabkan oleh emisi gas CO2. Karena itu, upaya untuk mengurangi emisi gas CO2 kini tengah gencar dilakukan di berbagai sektor.

Dalam industri logam, emisi CO2 dari industri baja berkontribusi lebih dari 85%. Berbagai langkah telah dan terus diambil untuk mengurangi emisi CO2 di sektor ini, antara lain dengan mengganti penggunaan energi fosil dengan biomassa dan gas hidrogen.

"Saat ini, fokus utama diarahkan pada pengurangan emisi CO2 dalam industri besi dan baja," ujar Zulfiadi.

Teknologi tanur tiup, yang digunakan untuk melebur besi, menjadi penyumbang emisi terbesar dalam industri baja karena lebih dari 60% lelehan besi dihasilkan dengan teknologi ini.

Upaya mengurangi emisi CO2 dari tanur tiup sedang dilakukan, salah satunya dengan metode injeksi gas hidrogen. Selain itu, tanur tiup juga mulai digantikan dengan kombinasi teknologi reduksi langsung dan tanur listrik.

Eropa sedang giat untuk membuat Green Steel dengan mengambangkan beberapa teknologi. Salah satunya penggunaan plasma hidrogen sebagai media peleburan dan reduksi logam oksida dari mineral-mineral yang terkandung di dalam bijih.

Dalam bahasa Inggris, teknologi ini disebut dengan hydrogen plasma smelting reduction atau HPSR. Teknologi ini menggunakan hidrogen sebagai reduktor dan energi listriknya berasal dari yang terbarukan (renewable).

"Jadi idenya itu menciptakan teknologi ramah lingkungan untuk produksi logam yang tidak ada emisi CO2," ujar Zulfiadi.

Saat menempuh studi doktoral di RWTH Aachen University, Jerman pada 2003-2005, terlintas ide mengembuskan hidrogen melalui elektroda grafit dalam tanur listrik untuk melebur bijih.

Ide tersebut akhirnya baru terwujud 2 dekade kemudian. Meski sebenarnya pada 2018 lalu ia sempat berdiskusi dengan salah satu ahli tentang plasma untuk mewujudkan idenya. "Tapi tak berlanjut sampai eksekusi," ujarnya.

Tekad untuk merealisasikan ide tersebut mengerucut pada April 2023 di Laboratorium Pirometalurgi, FTTM-ITB.

Teknisi laboratorium di FTTM ITB, Yopi Hendrawan membantunya untuk menggali kemungkinan memanfaatkan dan mengoptimalkan alat pemotong baja yang tersedia di pasaran. "Kami menjajaki untuk modifikasi plasma cutter jadi plasma hidrogen," ujarnya

Percobaan awal dilakukan pada bulan Juni hingga Agustus 2023 di bengkel milik Yopi. Di bengkel yang berlokasi di Ujung Berung, Bandung itu, Zulfiadi dibantu Yopi merancang reaktor skala laboratorium. Dinding reaktornya dibuat dari baja tahan karat.

Reaktor Plasma HidrogenReaktor Plasma Hidrogen Teknik Metalurgi FTTM ITB Foto: Dok. Zulfiadi Zulhan ITB

Adapun lokasi penempatan sampel atau krusibel terbuat dari tembaga berada pada bagian bawah reaktor. Tempat itu didinginkan dengan air.

Kemudian, gas yang umumnya digunakan pada plasma cutter disubstitusi dengan argon dan campuran argon dengan hidrogen. Nozel plasma cutter dimodifikasi sehingga kutub positif dan kutub negatif berada dalam satu nozel. "Modifikasi bagian nozel ini yang agak sulit," ujarnya.

Reaktor Plasma Hidrogen ITB Ramah Lingkungan >>>


Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads