Ratu Elizabeth II meninggal dunia pada Kamis (8/9/2022) di Istana Balmoral, Skotlandia setelah berkuasa selama 70 tahun di Kerajaan Inggris. Ratu Elizabeth II meninggal di usianya yang ke-96 tahun.
Lewat akun media sosial resminya, keluarga Kerajaan Inggris kemudian merujuk Charles sebagai Raja untuk menggantikan Ratu Elizabeth II. Charles menjadi Raja Inggris dengan memilih nama Raja Charles III.
Meninggalnya Ratu Elizabeth II ini menuai berbagai respon, salah satunya dari analis politik internasional Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Ign. Agung Satyawan, Ph.D.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agung mengatakan, ketika Ratu Elizabeth II diumumkan wafat, perhatian dunia internasional berpusat kepada sosoknya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari faktor lamanya kekuasaan sang ratu yang berlangsung hingga 70 tahun.
"Meskipun tidak mempunyai kekuasaan politik secara nyata, sang ratu yang menduduki takhta terpanjang sebagai Kepala Negara Britania Raya, termasuk Negara-negara Persemakmuran (Commonwealth), telah menjadi simbol pemersatu negaranya dan juga negara-negara bekas jajahan," ujarnya, dikutip dari laman resmi UNS (11/9/2022).
Keberlanjutan Kerajaan Inggris Berjalan Mapan
Agung menilai, meninggalnya Ratu Elizabeth II tidak membawa dampak yang signifikan dalam konstelasi kekuasaan di Britania Raya meski telah memegang kekuasaan hingga tujuh dekade.
Pasalnya, publik memahami bahwa usia Ratu Elizabeth II sudah begitu lanjut dan proses suksesi di Kerajaan Inggris telah berjalan dengan mapan.
"Fungsi kerajaan hanya terbatas dalam menjalankan fungsi seremonial saja. Selama Ratu Elizabeth II berkuasa, tidak ada gejolak yang mengancam perpecahan monarki yang terbesar di Eropa, bahkan di dunia. Dalam kata lain, sang ratu mampu menjaga kewibawaan kerajaan sehingga tetap disegani oleh rakyat Britania," jelas Agung Satyawan, Ph.D.
Bagaimana Nasib Negara-negara Persemakmuran?
Wacana negara-negara persemakmuran memisahkan diri dari Inggris kembali mencuat setelah meninggalnya Ratu Elizabeth II. Bahkan, isu ini telah ada sebelum Ratu meninggal.
Kabar tersebut sempat ditanggapi oleh Pangeran William dengan menggelar tur bersama Kate Middleton ke Belize, Jamaika, dan Bahama pada bulan Maret.
Agung menuturkan, Pangeran William sepertinya tidak ingin ketiga negara yang dikunjungi bersama sang istri memisahkan diri dari Inggris, seperti Barbados ketika akhir November 2021.
Menurutnya, upaya-upaya untuk memisahkan diri dari negara-negara persemakmuran selalu ada.
Contohnya adalah keinginan Australia yang berniat melepaskan diri dari Negara-negara Persemakmuran.
Akan tetapi, keputusan tersebut batal dilakukan karena mayoritas rakyat Australia menolak proposal pemutusan hubungan dengan Inggris dan menjadi republik pada tahun 1999.
Dalam hal ini, 54,87 persen menolak dan 45,13 persen setuju dengan wacana Australia berdiri sebagai republik dan memisahkan diri dari Negara-negara Persemakmuran.
"Namun, pada referendum tahun 1999, rakyat Australia tetap menginginkan ikatan dalam persemakmuran dengan Britania Raya," terang Agung.
Raja Charles III dan PR di Keluarga Kerajaan
Proses transfer kekuasaan dari Ratu Elizabeth II yang wafat kepada Raja Charles III berjalan damai. Namun, masih ada beberapa faktor yang diperkirakan mengganjal pamor sang raja.
Kendala ini mulai dari insiden meninggalnya Putri Diana atau Lady Diana akibat kecelakaan mobil hingga keberadaan Camilla Parker Bowles sebagai istri baru Raja Charles III pada 9 April 2005 silam.
Tidak hanya itu, Agung menyampaikan, Raja Charles III juga memiliki dua pekerjaan rumah yang perlu untuk dirampungkan.
Salah satunya adalah kemampuan Raja Charles III untuk meyakinkan Negara-negara Persemakmuran bahwa mereka akan lebih sejahtera di bawah Britania Raya.
"Ketika Raja Charles III naik takhta, maka otomatis ia adalah simbol sebagai kepala negara, tidak hanya untuk Britania Raya saja, namun juga negara-negara persemakmuran," ungkapnya.
Kemudian, Agung juga menilai Raja Charles III perlu mendamaikan hubungan di antara anggota intinya.
Pasalnya, Kerajaan Inggris sempat diterpa isu kurang mengenakkan usai pernikahan Pangeran Harry dan Meghan Markle.
"Maka mengajak Pangeran Harry dan istrinya kembali ke kerajaan akan menambah citra positif Raja Charles III," tutur Lektor Kepala Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UNS.
(faz/twu)