Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menemukan, kebijakan biodiesel B30 terhadap ekonomi hingga lingkungan. Risiko tersebut muncul apabila tidak diimbangi dengan rencana dan pelaksanaan yang tepat.
Program B30 merupakan pengembangan bahan bakar dengan sumber utama campuran minyak kelapa sawit dan solar atau biodiesel. Program tersebut diharapkan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, menghemat impor solar, hingga berpotensi menekan emisi karbon.
Berdasarkan studi yang dirilis oleh LPEM FEB UI bertajuk "Risiko Kebijakan Biodiesel Dari Sudut Pandang Indikator Makroekonomi dan Lingkungan", kebijakan ini membawa risiko yang semakin besar seiring dengan target campuran dan produksi biodiesel. Selisih harga minyak sawit untuk biodiesel dengan harga solar yang signifikan membuat besaran insentif yang diberikan kepada industri biodiesel membengkak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, kebijakan biodiesel membawa risiko ekspansi lahan sawit untuk memenuhi kebutuhan bahan baku biodiesel domestik. Dengan asumsi tren ekspor tetap, peningkatan campuran dan volume produksi biodiesel akan meningkatkan permintaan minyak sawit domestik.
Kepala Tim Kajian Ekonomi Lingkungan LPEM FEB UI, Alin Halimatussadiah mengatakan, kebijakan biodiesel memiliki risiko yang perlu dimitigasi dengan cermat. Diperlukan target yang terukur untuk menghindari dampak buruk pada lingkungan.
"Melalui studi ini, kami hanya ingin mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan biodiesel harus memiliki target yang terukur, sehingga tidak berdampak buruk pada lingkungan. Saat biodiesel mulai digunakan secara luas, maka kebutuhan terhadap minyak sawit untuk biodiesel akan meningkat. Maka, keberlanjutan setiap tahapan pengelolaan kelapa sawit mulai dari perkebunan sampai menjadi biodiesel memiliki risiko yang perlu dimitigasi dengan cermat," kata Alin dalam keterangannya, seperti dikutip, Sabtu (11/9/2021).
Penghematan Devisa Tidak Sesuai Harapan
Alin menjelaskan, kebijakan biodiesel yang progresif turut berdampak pada penghematan devisa yang tidak sesuai harapan. Berdasarkan estimasi dari tiga skenario kebijakan biodiesel, B20, B30, dan B50, potensi kehilangan ekspor crude palm oil (CPO) terendah mencapai Rp782 triliun pada periode 2020-2025 yang berasal dari pelaksanaan kebijakan B20. Proyeksi tertinggi terjadi ketika kebijakan B50 diterapkan, mencapai Rp1.825 trilliun pada periode yang sama.
"Potensi kehilangan ekspor ini selain akan mengganggu kinerja ekspor kelapa sawit, juga menjadi faktor yang harus diperhitungkan dalam melihat kembali jumlah penghematan bersih solar yang ditargetkan pemerintah," tambah Alin.
Alin menambahkan, dampak kebijakan biodiesel dalam neraca perdagangan juga sangat ditentukan oleh harga dari CPO dan solar di pasar dunia.
"Apabila perbedaan hargaCPO dengan harga solar semakin jauh, maka nilai ekonomi dari potensi kehilangan ekspor akan semakin tinggi dibandingkan penghematan impor solar. Akibatnya, neraca perdagangan tidak menjadi lebih baik, seperti yang diharapkan sebelumnya," tambah Alin.
Potensi Meningkatnya Beban Fiskal klik Selanjutnya...