Banyak hambatan dan perjuangan para disabilitas sepanjang hidupnya. Mulai dari sekolah hingga bekerja, selalu saja ada hambatan dan tantangannya. Termasuk disabilitas tuli atau teman Tuli.
"Kesamaan hak. Untuk teman-teman disabilitas, tantangan paling besar itu adalah biasanya pekerjaan. Yang itu yang paling utama buat teman-teman tuli," ujar Ketua DPP Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) Bambang Prasetyo, yang juga teman Tuli ini.
Hal itu disampaikan Bambang dalam talkshow bertajul 'Menjadi Tuli Bukan Hambatan' di Setara Fest 2025 di Aula HB Jassin, Perpustakaan Cikini, Komplek Taman Ismail Marzuki (TIM), Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (20/12/2025), ditulis Minggu (21/12/2025).
Masalah terhadap akses pekerjaan menjadi nomor 1. Sebelumnya, hambatan nomor 1 adalah di bidang pendidikan.
"Dari guru dari guru yang kurang untuk paham dengan bahasa isyarat. Sehingga mempengaruhi kepada pendidikan yang sulit. Kalau pendidikannya bagus dan positif. Pekerjaan pasti akan lebih gampang didapatkan oleh teman-teman tuli," tutur Bambang.
Akses terhadap pekerjaan, itu pula yang dirasakan oleh teman Tuli, Chatrinka, seorang ilustrator dan Hastu Wijaya, seorang content creator. Selain profesi itu, keduanya juga kini menjadi pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Chatrinka adalah lulusan SMA jurusan multimedia hingga berkuliah di jurusan animasi. Saat berkuliah di jurusan animasi, ternyata kurang cocok.
"Kemampuannya kurang. Terus ternyata juga konsultasi dengan dosen, 'Coba kamu magang ilustrasi dulu. Ilustrasi ini berbeda dengan animasi'. Kemudian coba-coba
masuk ke magang ilustrasi.Ternyata cocok. Membuat gantungan (kunci) atau stiker, merchandise. Dan itu aku suka sekali," jelas Cathrinka.
Bekerja freelance sebagai ilustrator lama, Cathrin merasakan naik-turunnya. Membuat merchandise dan sebagainya, semuanya butuh modal.
"Ngobrol-ngobrol dengan ilustrator tapi ternyata kita butuh memasukkan modal yang nggak sedikit gitu ya. Untuk buka booth dan butuh hal yang lebih untuk membuat hal yang macem-macem, baju, jaket, dan lain-lain. Tapi kan itu butuh modal. Dibutuhkan modal untuk hal tersebut. Coba melamar dulu ke BUMN," urai Cathrin yang sudah setahunan ini bekerja di BUMN sebagai administrasi kantor.
Pertama kali masuk kantor, karena melihat kemampuan dan pengalamannya menjadi ilustrator, Cathrin diberdayakan menjadi bagian kreatif di kantor seperti desain dan sebagainya. Interaksi di kantor BUMN ini juga melatihnya berinteraksi dengan teman dengar.
"Jadi sekalian belajar. Bagaimana cara berinteraksi dengan orang-orang dengar. Dari situ ini mulai paham gitu kan dan butuh beradaptasi. Dan Alhamdulillah mereka juga bisa membantu hal tersebut. Saya masuk ke BUMN itu bisa membantu saya untuk mengembangkan modal," tutur Cathrin yang menyisihkan modal dari sebagian gaji bulanannya ini.
Pengalaman yang serupa juga dialami Hastu Wijaya, content creator Tuli. Diakuinya disabilitas seperti dirinya sulit untuk mendapatkan pekerjaan.
"Pasti juga ada kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Jadi di awal-awal ada nggak ya, perusahaan di Jogja yang menerima disabilitas Tuli? Aku lihat di Jogja itu ternyata
jarang untuk menerima disabilitas. Di Jakarta itu banyak. Jadi aku mencoba melamar. Dan aku nggak tau ternyata ini lokasinya adalah di Jakarta," cerita Hastu yang diterjemahkan Juru Bahasa Isyarat (JBI).
Sambil menanti wisuda, Hastu sudah melamar ke 20-an perusahaan. Tiga bulan setelah wisuda, Hastu menerima panggilan proses rekrutmen.
"Mungkin 20 perusahaan aku kirim-kirimin CV-nya aku dengan berdoa semoga ada yang lolos untuk bisa menambah pengalaman. Kemudian ada info di salah satu grup WhatsApp.
di mana ada lowongan pekerjaan untuk disabilitas. Aku nggak tahu ini pekerjaan apa. Aku coba dulu deh CV-nya, aku kirimkan. Terus kemudian diterima melalui serangkaian proses tes, dari psikotes sampai wawancara. Dan akhirnya aku diterima di tempatkan di Jakarta," jelas Hastu yang kini bekerja di Pertamina sebagai administrasi bagian IT ini.