Mengajar di Era AI

ADVERTISEMENT

Kolom Edu

Mengajar di Era AI

Penulis kolom - Ahmad Tholabi Kharlie - detikEdu
Minggu, 21 Des 2025 09:00 WIB
Mengajar di Era AI
Foto: (Ahmad Tholabi Kharlie)
Jakarta -

Di sebuah ruang kelas, seorang guru Bahasa Indonesia tengah menjelaskan struktur teks argumentasi. Ketika ia menuliskan contoh tesis dan argumen di papan tulis, beberapa siswa di barisan belakang diam-diam meminta ChatGPT menyelesaikan esai mereka. Artificial Intelligence (AI) pun bekerja cepat, rapi, dan tanpa tawar-menawar. Sang guru, yang mengenal AI hanya sebagai istilah dalam berita, tak menyadari bahwa lanskap pembelajaran di kelasnya telah berubah tanpa menunggu persetujuannya.

Situasi ini bukan sekadar ilustrasi, tetapi gambaran nyata bagaimana transformasi pendidikan berjalan lebih cepat daripada kesiapan para pendidik. Sejumlah survei edtech pada 2023-2024 menunjukkan bahwa lebih dari separuh siswa SLTA di kota besar telah mencoba menggunakan AI untuk menyelesaikan tugas sekolah. Pada saat yang sama, sebagian besar guru mengaku belum pernah menerima pelatihan formal tentang pemanfaatan AI dalam pembelajaran. Sekali lagi, ksesenjangan ini menggambarkan bahwa laju adopsi teknologi di kalangan siswa jauh lebih cepat dibandingkan kesiapan pedagogis para pendidik.

Kecerdasan Semu

Kehadiran AI sering memunculkan apa yang disebut oleh neuroscientis pendidikan, Barbara Oakley (2014), sebagai illusion of learning, yakni ilusi belajar yang terlihat cemerlang di permukaan, tetapi rapuh dalam pemahaman jangka panjang. AI mampu menghasilkan jawaban yang sempurna, tetapi otak manusia tidak belajar bila proses berpikir dilewati. Siswa dapat mengumpulkan tugas tanpa benar-benar memahami konsepnya. Kecerdasan instan, jika diterima tanpa filter kritis, akan menghasilkan generasi yang pandai menyalin, tetapi miskin nalar.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Padahal, sejumlah riset menunjukkan bahwa AI justru dapat meningkatkan kualitas pembelajaran ketika dipadukan dengan strategi pedagogis yang tepat. Studi-studi di Harvard Graduate School of Education (2023-2024) misalnya, menemukan bahwa sistem AI yang dirancang untuk memberi umpan balik personal mampu mempercepat proses belajar siswa secara signifikan dibandingkan metode konvensional.

Temuan ini mengisyaratkan bahwa teknologi bukanlah ancaman, melainkan alat yang dapat memperkuat pembelajaran jika dikelola dengan landasan pedagogis yang benar. Pelbagai studi pendidikan global menunjukkan bahwa teknologi instruksional yang dirancang dengan baik dapat menghasilkan lompatan belajar yang luar biasa. Di Nigeria, misalnya, program pembelajaran adaptif berbasis komputer mampu mendorong kemajuan siswa setara 1,5 tahun pelajaran dalam hanya enam minggu intervensi. Temuan ini juga menegaskan bahwa persoalannya bukan terletak pada teknologinya, tetapi pada kemampuan kita, khususnya para pendidik, untuk memahami dan memanfaatkannya secara tepat.

ADVERTISEMENT

Ketidaksiapan guru bukan semata kesalahan individu. Guru adalah korban dari ekosistem pendidikan yang lambat beradaptasi. Kurikulum LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) kerap tertinggal jauh dari kebutuhan lapangan. Institusi pendidikan guru masih berfokus pada teori pedagogi konvensional, sementara literasi digital dan AI sering dianggap materi pilihan, bukan keharusan.

Di sekolah, guru dipaksa menghabiskan energi untuk urusan administratif, seperti membuat laporan, perangkat pembelajaran yang berlapis-lapis, dokumen akreditasi, dan supervisi birokratis. Waktu belajar, membaca, dan bereksperimen pedagogi justru semakin sempit.

Eksperimen Sugata Mitra (1999) melalui Hole in the Wall dan SOLE memang menunjukkan bahwa anak-anak dapat belajar secara mandiri ketika memiliki akses pada teknologi dan ruang eksplorasi yang tepat. Namun temuan itu tidak pernah menyatakan bahwa guru menjadi tidak relevan. Justru pesan utamanya adalah perlunya transformasi peran, jadi dari sage on the stage menjadi guide on the side. Guru bukan lagi sekadar penyampai informasi, tetapi fasilitator pencarian, penuntun etika, dan penjaga proses berpikir kritis yang tidak dapat digantikan mesin.

Ancaman Era Post Truth

Urgensi literasi AI tidak berhenti pada kemampuan memanfaatkan teknologi untuk menyelesaikan tugas secara cepat. Kita tengah memasuki era ketika batas antara fakta dan rekayasa semakin kabur. Teknologi deepfake kini dapat meniru wajah, suara, bahkan gestur seseorang dengan tingkat akurasi yang nyaris sempurna.

Dalam situasi seperti ini, UNESCO mengingatkan bahwa pendidikan tidak lagi cukup mengajarkan cara menemukan informasi, tetapi harus membentuk kemampuan untuk memverifikasi, menilai, dan memaknai informasi secara kritis. Literasi AI menjadi benteng agar generasi muda tidak tersesat dalam lanskap digital yang semakin kompleks dan mudah dimanipulasi.

Siswa kini hidup di dunia yang dipenuhi konten manipulatif. Mereka bisa menulis esai sempurna dengan ChatGPT, tetapi apakah mereka memahami bias algoritmik di baliknya? Apakah mereka mampu membedakan kebenaran dari simulasi kebenaran? AI tidak hanya menimbulkan tantangan teknis, tetapi juga epistemologis, yakni bagaimana kita tahu apa yang benar?

UNESCO telah merumuskan AI Competency Framework berisi empat kompetensi krusial, yakni memahami dasar AI, menggunakan AI secara etis, mengintegrasikannya dalam pembelajaran, dan menjadi co-creator teknologi. Namun bagaimana guru dapat mengajarkannya jika mereka sendiri belum dibekali pemahaman yang memadai?

Perubahan lanskap kerja terjadi jauh lebih cepat daripada penyesuaian kurikulum pendidikan. Microsoft Work Trend Index (2024) mencatat bahwa penggunaan AI di dunia kerja Asia Pasifik telah menjadi praktik umum, bahkan di level operasional. Profesi profesional, yakni hukum, keuangan, manajemen, kesehatan, semakin menempatkan literasi AI sebagai keterampilan minimum yang harus dimiliki setiap pekerja.

Indonesia memproyeksikan terbukanya lebih dari 106 ribu pekerjaan baru di bidang cloud dan kecerdasan buatan dalam empat tahun ke depan, sebagaimana dilaporkan dalam studi Microsoft-IDC (2023). Permintaan terhadap analis data, insinyur AI, dan spesialis keamanan siber meningkat sangat cepat, seiring percepatan transformasi digital di hampir semua sektor.

Namun temuan yang lebih menentukan adalah bahwa literasi AI kini menjadi kompetensi dasar bagi pelbagai profesi, bahkan yang tidak berkaitan langsung dengan teknologi. Siswa yang tidak dibekali kemampuan ini berisiko tersisih dari pasar kerja sebelum kariernya dimulai.

Transformasi Sistemik

Menghadapi perubahan lanskap pembelajaran dan dunia kerja yang dipercepat oleh AI, solusi transformatif tidak boleh berhenti pada seminar atau seremoni belaka. Dibutuhkan langkah yang sungguh-sungguh menyentuh akar persoalan, mulai dari rekonstruksi sistem pendidikan guru hingga perombakan cara kita mengevaluasi kompetensi.

Transformasi sistemik inilah yang menjadi prasyarat agar sekolah dan perguruan tinggi tidak hanya beradaptasi secara kosmetik, tetapi benar-benar menyiapkan ekosistem pembelajaran yang relevan dengan tantangan zaman.

Pertama, reformasi kurikulum LPTK. Literasi AI dan pedagogi digital wajib menjadi mata kuliah inti, bukan pilihan. Calon guru harus menguasai integrasi teknologi dalam pembelajaran.

Kedua, pengembangan profesional berkelanjutan. Pemerintah perlu menyediakan mentoring jangka panjang, komunitas praktik, dan dukungan teknis yang konsisten bagi guru. Investasi pelatihan guru tidak boleh bersifat simbolik.

Ketiga, perubahan paradigma evaluasi. Selama penilaian hanya berbasis hafalan dan tugas tertulis, AI akan selalu menjadi jalan pintas. Penilaian harus berbasis proses, portofolio, dan demonstrasi kompetensi.

Keempat, pemerataan infrastruktur digital. Literasi AI tidak bermakna jika wilayah terpencil tidak memiliki akses internet dan perangkat memadai.

Walhasil, kehadiran AI di ruang kelas memperjelas satu hal mendasar, yakni kesiapan guru menjadi penentu arah masa depan pendidikan. Literasi AI bagi guru adalah fondasi yang memastikan proses belajar tetap bermakna di tengah perubahan teknologi.

Tanpa penguatan kompetensi ini, posisi guru menjadi rapuh, dan generasi muda berisiko tumbuh tanpa bimbingan yang memadai untuk menghadapi dunia yang semakin dimediasi oleh kecerdasan buatan.

*) Ahmad Tholabi Kharlie
Pengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Halaman 3 dari 2


Simak Video "Video: Robot AI Pertama Buatan Rusia Tersungkur saat Dipamerkan"
[Gambas:Video 20detik]
(nwk/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads