Psikolog Klinis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Cahyo Setiadi Ramadhan, ingatkan bila korban bencana di Sumatera tak hanya mengalami kerusakan fisik dan kerugian material. Namun, tekanan psikologis mendalam yang juga harus diperhatikan.
Sosok yang akrab dipanggil Cahyo itu tidak bisa memungkiri bila pemenuhan kebutuhan dasar bagi korban, seperti makanan, pakaian hangat, dan tempat berlindung memang dibutuhkan. Pemenuhan ini juga bisa memberikan dampak positif bagi kondisi mental penyintas (orang yang mampu bertahan hidup dari bencana).
Namun setelah kebutuhan primer terpenuhi, kebutuhan psikososial korban juga harus diperhatikan. Hal ini harusnya dilakukan sesegera mungkin sebagai bagian dari respons awal bencana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Posko bencana perlu dilengkapi dengan layanan konseling, terutama Psychological First Aid (PFA). PFA bukan sekadar trauma healing seperti yang sering dipahami sebagai aktivitas pengalihan, tetapi merupakan langkah awal untuk mengenali kondisi psikologis penyintas secara lebih terstruktur," kata Cahyo dikutip dari laman UMY, Rabu (3/12/2025).
Reaksi Psikologis Terparah Bisa Timbul bagi Korban Bencana
Tak sembarangan, Cahyo menyebut dampak psikologis tidak hanya bisa dirasakan oleh warga yang berada di pusat bencana. Melainkan juga masyarakat di lingkar terluar, terutama mereka yang memiliki keterikatan emosional dengan para korban.
Dijelaskannya ada tiga tingkatan warga yang terdampak ketika bencana terjadi. Tingkatan pertama terkait bagi warga yang berada di titik pusat bencana dan kehidupannya berubah secara langsung.
Sedangkan lapisan kedua dan ketiga dikaitkan dengan warga di satu daerah atau keluarga yang jauh dari titik bencana. Mereka dinilai Cahyo akan tetap merasakan tekanan meskipun bentuknya berbeda.
"Kelompok pertama umumnya menghadapi perubahan drastis dalam kehidupan sehari-hari, seperti hilangnya rasa aman, terputusnya rutinitas, hingga kehilangan tempat tinggal atau harta berharga," urai Cahyo.
Kondisi tersebut akan menimbulkan dampak psikologis yang semakin berat ketika mereka juga kehilangan orang-orang terdekat. Akibatnya, berbagai reaksi psikologis akan muncul, seperti syok, ketakutan intens, hingga perasaan kehilangan yang mendalam.
Pada tingkatan yang lebih parah, Cahyo mengingatkan bila penyintas bisa kehilangan semangat hidup dan tampak 'kosong' secara emosional. Jika hal ini terjadi, mereka tengah mengalami guncangan psikologis serius yang membutuhkan penanganan segera.
Sarankan Screening Psikologis di Posko Bencana
Melihat keadaan saat ini, Cahyo menyatakan belum melihat layanan dan dukungan psikososial dilakukan secara masif. Saat ini, bantuan masih berfokus pada bantuan fisik.
"Saya melihat layanan ini tampaknya belum sepenuhnya memadai. Saat ini masyarakat masih sangat fokus pada bantuan fisik, padahal dukungan emosional juga sama pentingnya," jelasnya.
Untuk itu, ia mendorong agar pemerintah dapat melakukan screening psikologis di posko-posko bencana. Proses ini akan memuat data dan mengidentifikasi penyintas yang membutuhkan penanganan psikologis lanjutan.
Ia mengingatkan bila setiap penyintas mungkin memberikan reaksi psikologis yang berbeda. Dengan mengidentifikasinya, bantuan bisa diberikan sesuai skala prioritas dan sistematis.
Tidak bisa sebentar, proses pemulihan emosional penyintas bencana di Sumatera membutuhkan kolaborasi jangka panjang. Untuk itu, ia menyarankan agar komunitas lokal, tokoh masyarakat, relawan, dan pemuka agama dilibatkan.
Pelibatan sosok-sosok yang dekat ini diharapkan bisa menciptakan suasana aman dan tidak asing bagi para penyintas. Sehingga, mereka bisa bangkit dengan dukungan yang berkelanjutan.
"Karena itu, pemerintah, relawan, komunitas lokal, dan tenaga ahli perlu menjalin koordinasi yang kuat agar penyintas dapat bangkit dengan dukungan yang berkelanjutan," tandasnya.
(det/nwk)











































