Tafsir Ulang AI Beserta Masa Depannya

ADVERTISEMENT

Resensi Buku

Tafsir Ulang AI Beserta Masa Depannya

Dr Muhammad Sufyan Abdurrahman - detikEdu
Kamis, 11 Sep 2025 09:00 WIB
Buku 19 Narasi Besar Akal Imitasi
Foto: (Dokumentasi pribadi Dr Muhammad Sufyan Abdurrahman)
Jakarta -

Buku 19 Narasi Besar Akal Imitasi terbitan ITB Pers ini hadir sebagai tawaran serius tentang cara kita menata ulang pemahaman kecerdasan buatan atau yang oleh penulisnya disebut Akal Imitasi (AI). Buku ini ditulis dalam struktur sistematis yang menyenangkan untuk dijelajahi, terbagi dalam tiga bagian besar: narasi optimis, narasi kritis, dan narasi alternatif, dengan total sembilan belas bab.

Bagian pertama, narasi optimis, dibuka uraian singularitas ala Ray Kurzweil dan pandangan futuristik dari Bostrom, Anderson, serta Andreessen. Penulis tidak hanya mengutip, tapi juga mengajak pembaca berdialog dengan harapan dan potensi luar biasa kecerdasan buatan untuk mentransformasi peradaban. Narasi optimis melihat AI sebagai penyelamat umat manusia, pembawa efisiensi, dan bahkan alat transendensi. Kurzweil dkk meyakini bahwa AI akan mempermudah hidup manusia, mengatasi keterbatasan biologis, dan membuka masa depan lebih cerah. Dalam kerangka ini, AI bukan hanya alat bantu, tetapi katalis bagi evolusi intelektual dan sosial umat manusia. Di tengah euforia teknologi, narasi ini dominan dalam wacana korporasi teknologi besar dan media arus utama.

Memasuki bagian kedua, narasi kritis, kita diajak menyelami pemikiran tokoh seperti Geoffrey Hinton, Harari, Habermas, dan Frankfurt School. Salah satu bab yang memikat adalah saat penulis mengupas pernikahan manusia dan robot, atau bagaimana kecerdasan buatan memperluas ketimpangan sosial yang pernah dikritik Acemoğlu. Perspektif ini penting karena menawarkan keseimbangan atas euforia AI mutakhir yang cenderung tak terbendung. Karenanya, narasi kritis cenderung memandang AI sebagai entitas yang harus diwaspadai.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Geoffrey Hinton misalnya, menyebut AI seperti 'bom atom kemanusiaan', karena penuh potensi tetapi sekaligus membahayakan. Yuval Noah Harari dan Elon Musk juga berulang kali memperingatkan ketimpangan kekuasaan data, eksploitasi algoritma, dan ancaman pada otonomi manusia. Narasi ini memberi peringatan bahwa kecanggihan teknologis tidak serta-merta menjamin kemaslahatan dan justru bisa memperdalam ketidakadilan dan kerentanan sosial.

Di bagian ketiga, narasi alternatif (baca: membongkar wacana dominan dengan pendekatan filsafat), penulis menyisipkan filsafat postmodern dan pemikiran kontemporer. Dari Chomsky hingga Yuk Hui, dari Baudrillard hingga Bernard Stiegler, semua digunakan untuk menantang narasi dominan tentang AI. Bab tentang organ memori dan hermeneutika teknologi menjadi salah satu yang paling kontemplatif.

ADVERTISEMENT

Prinsipnya, narasi alternatif menawarkan pendekatan dekonstruktif dan filosofis. Melalui pemikiran Chomsky, Derrida, Stiegler, dan Yuk Hui, narasi ini menggugat kerangka berpikir deterministik tentang AI. Teknologi tidak netral dan AI tidak bisa dipisahkan dari jejaring realitas yang lebih besar: politik, bahasa, spiritualitas, hingga tafsir tentang kehidupan itu sendiri. Alih-alih hanya mengandalkan jargon teknis, narasi ini mengajak pembaca untuk mengkaji ulang relasi manusia dan mesin dalam kerangka hermeneutika dan eksistensialisme.

Narasi Filosofis

Singkatnya, pendalaman per bab memperlihatkan keberagaman sudut pandang yang dikemas dengan bahasa naratif-filosofis. Bab 1 hingga 4 menekankan harapan masa depan AI sebagai pemicu revolusi kemanusiaan. Bab 5 sampai 11 mengajak pembaca berhenti sejenak dan mempertimbangkan kerentanan manusia dalam relasi dengan mesin. Sementara bab 12 sampai 19 tampil sebagai ruang tafsir alternatif yang lebih humanistik dan ekologis. Termasuk isu jalan hidup kosmis dan kedaulatan mesin. Ketiga blok narasi ini dibuka oleh prolog konseptual dan ditutup oleh epilog reflektif untuk Indonesia Emas.

Penulis utama buku, Dimitri Mahayana, dosen STEI ITB dan peneliti teknologi informasi yang sudah menulis lebih dari 60 buku. Ia dikenal di kalangan praktisi dan akademisi sebagai pendiri Sharing Vision, lembaga riset telematika asal Kota Bandung. Sementara Agus Nggermanto, rekan penulis, dikenal Paman APIQ, tokoh edukasi matematika kreatif alumnus ITB yang juga aktif menulis dan mengajar filsafat sains. Kolaborasi keduanya menghasilkan buku yang padat rujukan, filosofis, tapi akrab bagi pembaca umum.

Keunggulan buku terletak pada keberaniannya menawarkan pluralitas perspektif. Penyusunan bab berdasarkan tokoh-tokoh intelektual menjadikan buku ini tidak hanya informatif, tetapi juga edukatif bagi pembaca awam maupun akademik.

Namun demikian, buku ini juga memiliki tantangan. Beberapa bagian terasa padat dan mengandaikan pembaca sudah akrab dengan pemikiran filsuf yang diangkat, seperti Gadamer atau Stiegler. Gaya penulisan yang terlalu filosofis cukup bisa menyulitkan pembaca umum dalam memahami maksud utama narasi.

Secara keseluruhan, buku ini direkomendasikan bagi siapa saja yang ingin memahami kecerdasan buatan secara lebih utuh dan tidak terjebak pada euforia teknologi semata. Buku ini mengajarkan bahwa AI bukan hanya soal perangkat dan algoritma, tetapi juga soal etika, ideologi, dan masa depan umat manusia yang sedang dipertaruhkan.

Judul Buku: 19 Narasi Besar Akal Imitasi
Penulis: Dimitri Mahayana & Agus Nggermanto
Penerbit: ITB Press, Bandung
Tahun Terbit: Maret 2025 | 206 halaman | ISBN: 978 623 287 673 3

*) Dr Muhammad Sufyan Abdurrahman, Dosen Digital Public Relations Telkom University




(nwk/nwk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads