Kasus gugatan di Amerika Serikat yang diajukan tiga seniman, Sarah Andersen, Kelly McKernan, dan Karla Ortiz, baru-baru ini terhadap tiga aplikasi AI (Artificial Intellegence), Midjourney, Stability AI, dan DeviantArt, membuka babak baru dalam perdebatan hak cipta. Mereka menuding karya mereka dipakai sebagai bahan latih tanpa izin untuk membangun model kecerdasan buatan yang kemudian menghasilkan gambar baru.
Persoalannya bukan sekadar teknis, melainkan menyentuh inti dari hukum hak cipta. Siapa pencipta ketika mesin menyusun hasil dengan mengandalkan pola dari jutaan karya terdahulu. Bagaimana menakar orisinalitas jika hasil akhir berbentuk kombinasi statistik yang lahir dari instruksi manusia. Pertanyaan seperti ini menjadi jantung buku Hak Cipta dan Artificial Intelligence karya Ranti Fauza Mayana, Tisni Santika, dan Zahra Cintana, yang berusaha menertibkan gelanggang konseptual sekaligus praktiknya.
Buku ini dimulai dengan pengingat penting bahwa kekayaan intelektual bukan sekadar instrumen ekonomi. Ia adalah pilar peradaban yang menghargai jerih payah intelektual, memberi insentif atas kreativitas, dan menyediakan kerangka adil bagi peredaran pengetahuan. Di sini hak cipta ditempatkan sebagai hak moral dan hak ekonomi sekaligus. Hak moral melekat pada diri pencipta, hak ekonomi mengatur pemanfaatan untuk memperoleh manfaat finansial.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melalui landasan tersebut, penulis beralih pada ranah penggunaan wajar atau fair use yang memberi ruang terbatas untuk memakai karya berhak cipta tanpa izin, sepanjang memenuhi ukuran tujuan, sifat pemakaian, proporsi, serta dampaknya terhadap pasar. Doktrin ini menjadi pintu masuk membahas wilayah pendidikan, riset, dan transformasi digital yang kini banyak bersinggungan dengan AI.
Bagian yang membahas pendidikan memberi contoh paling dekat dengan keseharian. Di kelas, asisten virtual sudah lazim membantu merangkum bacaan, menyusun kerangka esai, hingga memvisualkan konsep. Di titik ini muncul batas kabur antara kontribusi manusia dan kontribusi mesin.
Buku ini menekankan ukuran yang sederhana tetapi tegas. Jika porsi kreativitas manusia minim, maka sulit menyebutnya sebagai karya yang dapat dilindungi. Jika sebaliknya ada kolaborasi bermakna antara ide, pilihan, dan penilaian manusia dengan keluaran mesin, maka ada alasan untuk mengakui adanya orisinalitas.
Untuk menimbangnya, ketiga penulis mengingatkan kembali prinsip tiga langkah yang dikenal luas dalam rezim hak cipta. Pertama, pembatasan harus dalam keadaan tertentu. Kedua, tidak bertentangan dengan eksploitasi normal. Ketiga, tidak merugikan kepentingan sah pencipta secara tidak wajar. Prinsip ini menjadi alat uji praktis di ruang kelas, laboratorium, maupun penerbitan ilmiah.
Perbandingan Penerapan
Setelah menyusun kerangka domestik, buku bergerak ke perbandingan lintas negara. Tiongkok sempat mencatat putusan yang melindungi gambar yang dibuat dengan bantuan AI karena menilai adanya peran kreatif manusia yang cukup nyata. Uni Eropa cenderung menempatkan manusia di pusat proses kreasi dan berhati-hati mengakui konten yang sepenuhnya lahir dari mesin. Australia mengeksplorasi bentuk pengakuan terbatas untuk konten berbasis AI, sementara Inggris, Amerika Serikat, India, Singapura, dan Kanada menunjukkan ragam pendekatan yang pada intinya belum seragam. Pembaca akan sampai pada simpulan bahwa dunia masih mencari bahasa hukum yang tepat untuk menjelaskan hubungan manusia dan mesin dalam produksi karya.
Di bab yang membahas authorship dan copyrightability, penulis menelusuri kembali syarat minimum yang membuat sebuah ciptaan layak dilindungi. Ada tiga syarat yang disaingi terus oleh teknologi. Orisinalitas, fiksasi dalam medium tertentu, dan adanya jejak kreativitas manusia. AI generatif menggoyang syarat pertama dan ketiga.
Hasilnya bisa tampak baru, tetapi ia lahir dari proses yang bertumpu pada data latih tanpa kesadaran. Maka yang dikejar bukan hak cipta bagi mesin, melainkan ukuran kontribusi manusia yang memberi bentuk, seleksi, dan arah pada keluaran.
Di bagian ini penulis mengulas juga konsep kepentingan sah pencipta dan bagaimana ia bersinggungan dengan kepentingan pendidikan, penelitian, dan inovasi.
Buku lalu kembali pada ranah pendidikan untuk menimbang konsep penggunaan wajar dalam konteks AI. Diusulkan pembedaan yang jelas antara pemanfaatan sebagai alat bantu pembelajaran yang terukur dan pemanfaatan yang mengambil alih proses kreatif.
Institusi pendidikan didorong menyusun kebijakan akademik yang transparan. Pengungkapan penggunaan AI, penilaian berbasis proses, dan pelibatan literasi hak cipta menjadi kunci agar kolaborasi manusia dan mesin tetap berada di jalur etis dan legal.
Pada tataran internasional, penulis mengurai kembali pilar perjanjian yang menjadi rujukan, mulai dari Konvensi Bern, TRIPs, hingga WIPO Copyright Treaty. Ketiganya memberi bingkai kuat bagi perlindungan, tetapi belum secara eksplisit menjawab status hasil AI.
Di sinilah diperlukan kreativitas legislasi nasional, dengan tetap selaras pada komitmen internasional. Indonesia, menurut penulis, berada pada posisi strategis untuk merumuskan aturan yang adaptif. Bukan untuk menolak teknologi, melainkan mengarahkan agar manfaatnya luas tanpa mengorbankan hak pencipta.
Yang menarik dari buku ini adalah gaya penyajian yang sistematis. Kasus pembuka memberi konteks nyata, doktrin hukum dirangkum ringkas, dan perbandingan negara memberi perspektif yang jernih. Penulis tidak tergelincir pada dikotomi yang menutup pintu. AI tidak ditempatkan sebagai ancaman mutlak, tetapi juga tidak dipuja sebagai penyelamat.
Penekanan justru pada desain kebijakan yang melindungi kepentingan sah pencipta, memperkuat pendidikan, dan memberi kepastian bagi pelaku industri kreatif. Tentu ada ruang yang bisa diperkaya. Suara praktisi dari industri film, musik, gim, dan penerbitan lokal dapat menambah bobot empiris.
Begitu pula contoh kebijakan kampus atau lembaga riset di Indonesia yang sudah bereksperimen dengan pedoman penggunaan AI. Namun kekurangan ini tidak menutupi nilai buku sebagai peta awal, terutama bagi pembuat kebijakan, pendidik, dan pelaku kreatif yang butuh pegangan ketika batas antara kreasi manusia dan keluaran mesin kian menipis.
Pada akhirnya, buku ini mengajak pembaca mengambil posisi yang dewasa. Masa depan tidak perlu ditakuti, tetapi harus dihadapi dengan aturan yang adil, etika yang jelas, dan literasi yang memadai. Hak cipta tetap relevan karena manusia masih menjadi sumber gagasan, penilaian, dan arah. Mesin yang cerdas hanyalah mitra. Pertanyaannya kembali pada kita semua. Maukah kita merawat ekosistem kreatif yang menghormati jerih payah intelektual, memberi ruang inovasi, dan memastikan bahwa teknologi bekerja bagi manusia, bukan sebaliknya.
Judul Buku: Hak Cipta dan Artificial Intellegence
Penulis: Dr Ranti Fauza Mayana, Tisni Santika, Zahra Cintana
Penerbit: Refika Aditama, Bandung
Tahun Terbit: Oktober 2024 | 135 halaman | ISBN: 978 623 503 044 9
*) Dr Muhammad Sufyan Abdurrahman, Dosen Digital Public Relations Telkom University
Simak Video "Video Experience Analisis Kondisi Kulit Pakai AI "
[Gambas:Video 20detik]
(nwk/nwk)