Beberapa waktu lalu, saya mendapat kesempatan berharga untuk mengikuti rombongan yang dikoordinir oleh Binus University dalam sebuah kunjungan pendidikan ke Taipei. Perjalanan ini lebih dari sekadar kunjungan wisata; ia adalah sebuah ekspedisi intelektual yang membuka mata saya lebar-lebar.
Salah satu destinasi yang sangat berkesan adalah Taipei Municipal Zhongshan Girls High School. Di antara kesunyian aktivitas sekolah karena para murid masih libur musim panas dan keramahan para staf, satu konsep menarik dan memicu pemikiran mendalam yang masih bergema hingga sekarang, yakni pendidikan STEAM.
STEAM, bagi banyak orang, mungkin hanya terdengar seperti akronim pendidikan terbaru. Akan tetapi, apa yang saya saksikan di Zhongshan Girls High School menunjukkan bahwa STEAM jauh melampaui itu. Ini adalah sebuah pendekatan holistik yang secara cerdas merangkai Sains, Teknologi, Teknik, Seni, dan Matematika menjadi satu kesatuan yang koheren dan bermakna.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak ada lagi sekat-sekat kaku antara mata pelajaran; yang ada hanyalah integrasi yang mulus, menantang para murid untuk berpikir melampaui batas-batas tradisional.
Pengalaman demikian memicu saya untuk merenung. Mengapa pendidikan STEAM terasa begitu esensial bagi masa depan kita, terutama di Indonesia?
Saya melihat keseriusan unsur pimpinan yang diwakili oleh para ketua atau direktur yayasan terkemuka dan eksekutif Binus. Kehadiran tokoh-tokoh kunci ini adalah sinyal kuat bahwa STEAM dianggap sebagai langkah strategis, bukan sekadar tren sesaat.
Mereka datang untuk belajar, memahami, dan menjajaki potensi kerja sama, menunjukkan bahwa para pembuat keputusan di level yayasan atau perkumpulan siap mengambil langkah besar demi kemajuan pendidikan.
Meskipun kunjungan ini sarat dengan optimisme, saya tahu ada celah yang perlu diperhatikan. Mengadopsi STEAM di Indonesia bukanlah urusan mudah. Ada tantangan nyata yang membentang di depan mata, mulai dari perbedaan kurikulum, keterbatasan dana, hingga kerumitan birokrasi yang terkadang menghambat inovasi.
Mengabaikan hambatan ini berarti kita terlalu naif dalam memandang masa depan. Saya melihat bagaimana Zhongshan Girls High School menerapkan konsep ini, dan terlihat jelas bahwa kesuksesan itu tidak datang dalam semalam. Ada investasi besar dalam pelatihan guru dan infrastruktur, sebuah komitmen jangka panjang yang perlu kita tiru.
Bagi saya, esensi STEAM bukan melulu pada akronimnya, melainkan pada filosofinya. Di sekolah itu, saya melihat langsung bagaimana simulasi merancang dan membuat model turbin angin. Ini bukan hanya pelajaran fisika semata, tetapi juga pelajaran teknik, estetika, dan matematika.
Mereka tidak hanya menghitung, tetapi juga mendesain; tidak hanya memahami teori, tetapi juga menciptakan sesuatu. Ini adalah pendekatan yang melatih murid berpikir kritis, menyelesaikan masalah, dan berkreasi-keterampilan yang sangat dibutuhkan di era digital ini.
Itulah inti dari STEAM: memecah dinding-dinding yang memisahkan mata pelajaran dan mendorong murid agar melihat keterkaitan antar-ilmu. Hal ini mendorong mereka untuk tidak sekadar menghafal fakta, tetapi juga menerapkan pengetahuan dalam menghasilkan solusi nyata. Pendekatan ini adalah jembatan yang menghubungkan teori dengan praktik, sebuah jembatan yang sangat dibutuhkan oleh pendidikan Indonesia saat ini.
Lalu, apa langkah selanjutnya bagi kita? Pengalaman saya di Taipei hanyalah permulaan. Ia adalah percikan yang menyalakan semangat untuk perubahan. Kita memiliki modal besar: generasi muda yang adaptif, bersemangat, dan siap menghadapi tantangan. Realitas demikian bisa menjadi katalis nyata untuk kolaborasi, membuka pintu bagi kemitraan lebih dalam di masa depan.
Namun demikian, kita tidak bisa hanya berharap. Kita perlu menyusun strategi komprehensif, mulai dari tingkat kementerian hingga sekolah-sekolah di pelosok. Kita perlu berinvestasi pada guru-guru, membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mengajar dengan pendekatan STEAM.
Kita juga harus memastikan infrastruktur memadai, sehingga setiap sekolah memiliki kesempatan sama dalam menerapkan model pembelajaran ini. Komitmen ini harus datang dari semua pihak: pemerintah, institusi pendidikan, sektor swasta, dan masyarakat. Kita perlu berkolaborasi untuk merancang lingkungan belajar kondusif bagi kreativitas dan inovasi. Ini adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan akhir.
Pada akhirnya, diharapkan sistem pendidikan yang ada tidak hanya berfokus pada nilai akademis, tetapi juga pada kemampuan murid untuk berkreasi dan berinovasi. Ini merupakan sebuah sistem yang menghasilkan lulusan siap dalam menghadapi tantangan global dan berkontribusi secara nyata pada pembangunan bangsa.
Pengalaman di Taipei ini menguatkan keyakinan saya bahwa pendidikan STEAM menjadi kunci untuk membuka pintu masa depan itu. Hal demikian merupakan tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia untuk benar-benar bersinar di panggung global.
*) Odemus Bei Witono
Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan
*) Artikel ini adalah kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggung jawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)
(nwk/nwk)