Kewaspadaan orang tua terhadap ciri-ciri awal anak yang mengalami kekerasan seksual sangat penting. Hal itu diungkapkan Psikolog Klinis Universitas Gadjah Mada (UGM), Indria Laksmi Gamayanti.
Ia menyampaikan pemahaman orang tua terhadap tanda-tanda ini krusial di tengah meningkatnya angka kekerasan terhadap anak yang kian mengkhawatirkan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) memberikan data yang mengerikan. Hal tersebut tertuang dalam Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Tahun 2021.
Disebutkan 4 dari 10 anak perempuan dan 3 dari 10 anak laki-laki berusia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun di sepanjang hidupnya.
Selain itu, data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) menunjukkan terdapat 16.106 kasus kekerasan terhadap anak di tahun 2022. Gamayanti panggilan akrab Psikolog UGM itu menyoroti lebih dalam terkait kasus kekerasan seksual di usia remaja.
Pada usia ini, anak-anak menurutnya sedang dalam masa pencarian identitas. Sehingga kerap kali mereka membutuhkan perhatian lebih dan ingin diakui.
Sayangnya seringkali dua hal tersebut tidak bisa didapatkan anak dari lingkungan terdekat, terutama orang tua. Sehingga, mereka kerap mencari sosok lain yang bisa memberikan hal tersebut.
"Ketika hal ini tidak terpenuhi dari lingkungan terdekat, mereka menjadi lebih mudah tergoda oleh bujuk rayu dan pujian dari lawan jenis," kata Gamayanti dikutip dari laman resmi UGM, Jumat (23/5/2025).
Ciri Awal Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual
Ketika anak tanpa pengawasan terjun lebih dalam ke dunia digital, mereka menjadi sangat rentan. Kurangnya pemahaman menjadi celah besar bagi pelaku kekerasan seksual untuk memanipulasi korban.
Anak-anak terkadang belum memahami batasan privasi, potensi ancaman, dan sikap yang tepat ketika berhadapan dengan ajakan mencurigakan. Terutama bila hal tersebut menjurus ke arah konten seksual.
"Oleh karena itu, orang tua dan pendidik diharapkan mampu mendeteksi tanda-tanda awal anak menjadi korban kekerasan seksual, meski tidak selalu tampak jelas," sambung Gamayanti.
Ada beberapa tanda yang bisa jadi peringatan orang tua, seperti:
- Perubahan perilaku yang mencolok
- Penurunan prestasi akademik
- Mimpi buruk hingga mengigau
- Ketakutan berlebihan terhadap sentuhan fisik
- Menarik diri dari lingkungan sosial.
Gamayanti mengingatkan agar orang tua bisa merespon secara bijak bila menemukan ciri tersebut pada anak. Alih-alih menyalahkan, seharusnya orang tua bisa memberikan dukungan emosional dan pendampingan agar tidak berkembang menjadi gangguan psikologis lebih lanjut.
"Respon orang tua menjadi krusial. Kalau langsung menyalahkan, anak akan makin tertutup dan merasa tidak aman. Padahal, ia butuh dukungan emosional untuk pulih sekaligus pendampingan agar tidak berkembang menjadi gangguan psikologis di kemudian hari," ujarnya
Pentingnya Pendidikan Seksual Sejak Dini
Dampak jangka panjang dari kekerasan seksual pada anak bisa bervariasi. Terutama berkaitan dengan keadaan psikologis, seperti gangguan kecemasan, depresi, hingga takut menjalin hubungan sosial dengan orang lain secara sehat.
Menyeramkannya dalam beberapa kasus Gamayanti menjelaskan trauma yang tidak tertangani bisa memengaruhi perkembangan seksual korban. Bahkan korban bisa memiliki pola perilaku menyimpang ketika dewasa.
Untuk itu, ia menekankan pemberian pendidikan seksual sejak dini sangatlah penting. Pendidikan bisa diberikan dalam bentuk positif sesuai dengan usia anak.
Contohnya pengenalan bagian tubuh, batasan interaksi fisik, dan pemahaman tentang media digital. Selanjutnya, Gamayanti menyarankan agar orang tua dan anak memiliki bentuk komunikasi yang terbuka. Hal ini bisa menjadi sebuah kunci pencegahan.
"Kita tidak bisa hanya mengedukasi anak, tetapi juga orang tua. Supaya saat anak menghadapi situasi berisiko, mereka tahu harus bersikap bagaimana, dan siapa yang bisa dipercaya," tandas Gamayanti.
Simak Video "Video: Agus Difabel Bantah Soal Kekerasan Seksual dan Minta Dibebaskan"
(det/pal)