Sejarah Gelar Haji di Indonesia, Upaya Belanda Pantau Penyebaran Ideologi

ADVERTISEMENT

Sejarah Gelar Haji di Indonesia, Upaya Belanda Pantau Penyebaran Ideologi

Nograhany Widhi Koesmawardhani - detikEdu
Kamis, 22 Mei 2025 20:00 WIB
Infografis tips jaga keamanan diri jemaah haji di Tanah Suci
Foto: Fuad Hasim/detikcom
Jakarta -

Bagaimana gelar haji dan hajah bisa muncul di Indonesia? Riwayatnya terkait politik Belanda yang ingin memantau penyebaran ideologi di Indonesia. Kok bisa?

Menurut Antropolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, dilansir dari laman Kementerian Agama (Kemenag), gelar haji dari perspektif kolonial, Belanda takut akan pengaruh haji mempengaruhi gerakan antipenjajahan.

Sekitar tahun 1870-an, semakin bertambah orang-orang di Nusantara yang menunaikan haji. Belanda khawatir gelar ini membangkitkan kesadaran tentang antipenjajahan, maka jemaah haji dibatasi dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah membuka Konsulat Jenderal pertama di Arab Saudi pada 1872.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tugasnya, mencatat pergerakan jemaah dari Hindia Belanda. Penandanya, ya orang Nusantara harus menyematkan gelar haji plus atribut pakaian haji agar mudah dikenali dan diawasi.

"Itu dari perspektif kolonial. Padahal menurut Snouck Hurgronje (orientalis Belanda-red), yang meneliti haji, saat itu, jemaah haji tidak layak ditakuti sebagai anti-penjajah," urainya dilansir Kemenag, 2019 lalu.

ADVERTISEMENT

Gelar Haji Jadi Simbol Alat Perjuangan

Pandangan Dadi serupa yang disampaikan oleh Kyota Hamzah, penulis buku 'Haji, Ibadah yang Mengubah Sejarah Nusantara' terbitan Neosphere Digdaya Mulia, 2022 lalu.

Dalam bukunya, Kyota menuliskan ketika bangsa Eropa datang ke Nusantara dan mulai melakukan invasi, terjadi benturan pemahaman yang keras antara para penyebar agama Islam dan Kristen di Nusantara. Bukan masalah penyebaran agamanya yang menimbulkan pertikaian, namun tiap kubu membawa simbol agama sebagai alat perlawanan.

Salah satu simbol agama yang digunakan sebagai alat perjuangan adalah gelar haji. Alasannya, haji memiliki koneksi fleksibel antara kelas menengah bawah dan menengah atas. Peran orang-orang bergelar haji ini dinilai strategis untuk menjadi jembatan penguasa setempat dalam menghimpun simpati dan dukungan masyarakat.

Di era penjajahan Belanda, yang bisa menunaikan ibadah haji tak bisa sembarang orang. Mereka adalah para saudagar dan utusan kerajaan. Gelar haji memang kebijakan pemerintahan Hindia Belanda sebagai penanda orang-orang yang berpotensi memberontak di wilayah mereka.

Ada dua kelompok orang Nusantara yang telah berhaji. Pertama kelompok polosan, lempeng, ibadahnya menuntaskan kewajiban agama saja. Kedua, haji Moekiman yang berorientasi pada aktualisasi diri.

Kelompok haji Moekiman ini banyak tokoh pergerakan yang memanfaatkan gelar haji sebagai sarana perjuangannya, susah payah membela masyarakat. Hal ini lantaran perlakuan diskriminasi Belanda kepada jemaah haji Nusantara layaknya barang angkutan.

Pemisahan kelas, diskriminasi masyarakat, serta pengawasan ketat dan serangan bersenjata Belanda ini akhirnya berakibat muncul para pejuang menggunakan haji sebagai sarana perjuangan.

Mulai muncul organisasi masyarakat yang didirikan para haji dan tokoh agama yang bergerak dalam perjuangan kesejahteraan masyarakat seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah hingga Nahdlatul Ulama. Semuanya berdiri pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Gelar Haji Bertahan di Masa Modern

Meski tak lagi mengalami penjajahan, orang Indonesia tetap menyematkan gelar haji dan hajah ini sepulang beribadah haji. Filolog Oman Fathurahman menjelaskan bahwa tradisi itu sah-sah saja.

Menurut Oman, salah satu alasannya adalah sejak masa silam, perjalanan menuju Tanah Suci bagi orang Nusantara adalah perjuangan berat tersendiri, harus mengarungi lautan, menerjang badai berbulan-bulan, menghindari perompak, hingga menjelajah gurun pasir, demikian dilansir dari laman Kemenag.

Seorang yang berhasil melalui ujian tersebut, dan berhasil kembali selamat ke Tanah Air, kemudian dianggap berhasil mendapat anugerah dan kehormatan, apalagi Ka'bah dan Mekkah adalah kiblat suci umat Islam sedunia.

Itu mengapa dalam perkembangannya kemudian lazim di Indonesia ada pemberian gelar bagi jemaah haji usai menunaikan ibadah di Tanah Suci.




(nwk/pal)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads