Mengembalikan Ruang Aman Anak, Pasca 'Fantasi Sedarah'

ADVERTISEMENT

Kolom Edukasi

Mengembalikan Ruang Aman Anak, Pasca 'Fantasi Sedarah'

Dr Firman Kurniawan S - detikEdu
Selasa, 20 Mei 2025 17:00 WIB
Dr Firman Kurniawan S, dosen pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI)
Foto: (Nograhany Widhi K/detikcom)
Jakarta -

Di pekan ke-3 Bulan Mei ini, kalangan pengguna media sosial Indonesia terhenyak kaget. Betapa tidak, pada platform berbasis digital ini dijumpai adanya group yang membahas fantasi seksual dengan kerabat sedarah. Nama groupnya 'Fantasi Sedarah'. Membaca narasi gamblang yang pengikutnya, ada perasaan mual, marah, tak percaya. Sampai tak selazim itu, fantasi bisa liar. Nalar sehat menolak memahaminya, alih-alih menyusun kata-kata untuk menceritakan kembali interaksinya.

Namun dari tangkapan layar yang memuat perbincangan --dan diunggah ulang oleh berbagai akun-- dibahas adanya sekumpulan orang yang membahas fantasi seksual inses. Bahkan ada yang menyertakan foto anak kandung, yang jadi sasaran fantasi. Biadab, mungkin tak cukup untuk menanggapi peristiwa yang diceritakan. Walaupun tak hendak membandingkan dengan perilaku pedoflia, Fantasi Sedarah lebih tak dapat diterima. Yang satu dilakukan orang dengan berhasrat seksual jahat. Sedangkan lainnya, dilakukan kerabat sedarah yang justru harusnya melindungi anak dari perbuatan buruk. Ini memantik pertanyaan: di mana lagi ada ruang aman bagi anak, jika di rumah pun terancam oleh terdekatnya?

Keadaan yang mengoyak-oyak perasaan dan nalar ini, tak berhenti sampai di situ. Group penghayat fantasi tak lazim ini --menyimpang bahkan terlarang-- berjumlah banyak. Di awal terkuaknya cerita, disebut pengikutnya 32.000 orang. Yang ketika ditelusur lebih lanjut, hitungannya mencapai 40.000 orang. Dan saat penelusuran dilakukan lebih seksama, terdapat 5 group sejenis, sehingga total pengikutnya mencapai 80.000 orang. Dengan jumlahnya yang massif, diperoleh pemahaman: online group Fantasi Sedarah, tak tiba-tiba terbentuk. Secara teknis pembentukan group di media sosial --memasukan banyak orang ke dalam satu group-- tak dapat dicapai serta merta. Untuk mencapai puluhan ribu pengikut, diperlukan waktu yang panjang. Dapat dipastikan, Fantasi Sedarah sudah lama ada. Pengaruhnya juga lama beredar di antara pengikutnya. Bayangkan pengaruh itu berupa pertukaran pengalaman, pertukaran ide, pertukaran teknik untuk mencapai fantasi lazim.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sedangkan massifnya jumlah pengikut, berarti ada puluhan ribu orang berfantasi tak lazim, terselip di tengah masyarakat. Bisa jadi orang yang duduknya bersebelahan di ruang tunggu dokter atau orang yang bersama mengantre tiket KRL, atau salah satu anggota di sebuah keluarga. Seluruhnya mengindikasikan: alih-alih sekedar mentoleransi, banyak orang yang menormalisasi tabu inses. Ini mengerikan. Karenanya harus segera dibangun pemikiran: makin terbatasnya ruang aman bagi anak. Tanpa upaya sistematis, fantasi termanifestasi sebagai aplikasi yang nyata. Karenanya, semua pihak harus peduli mengembalikan keadaan aman itu. Jika tidak, hancurnya generasi telah ada di depan mata.

Soal media sosial yang memediasi perbincangan dan mendistribusi pandangan tak lazim, bukan hal baru. Di awal kemunculan platform digital ini, interaksi media sosial sering dikacaukan oleh pemilik akun yang dijuluki sebagai social media trolls. Trolls adalah individu yang sengaja menggangu media sosial dengan interaksi buruk, tak relevan dan memancing kemarahan pengguna lain. Tujuannya, mendapat kepuasan dari keributan. Ini terjadi, lantaran media sosial memungkinkan penggunanya tak beridentitas asli. Anonymous.
Keanoniman, memungkinkan orang-orang dengan pandangan tak lazim tampil nyaman di media sosial. Nama, foto, biografi, maupun atribut identitas lainnya, ditampilkan tak sesuai dirinya. Pengguna lain -yang kemudian menjadi korbannya-tak mudah mengenalinya sebagai orang yang berniat buruk.

ADVERTISEMENT

eSafetyCommisioner, 2025, dalam "Anonymity and Identity Shielding" menyebut: anonimitas dapat menciptakan hambatan bagi korban untuk melapor. Ini karena pelaku menggunakan akun palsu, tak sesuai identitasnya. Sehingga tak mudah dikenali. Dalam keadaan terdesak, akun palsu didegradasi. Diganti dengan akun baru yang juga anonim. Pemblokiran maupun penonaktifan, tak ada gunanya.

Dalam kaitan dengan Fantasi Sedarah, dapat dibayangkan awal proses pembentukan group ini. Para pemilik fantasi tak lazim, menguji coba pandangannya dengan mengunggah kontennya. Akun yang digunakan tentu anonim. Ketika unggahan memperoleh sambutan, interaksi terus berlanjut. Sedangkan saat keadaan tak menguntungkan bahkan berbahaya, akun akan ditutup. Penutupan selamanya atau diganti akun lain yang juga anonim. Dengan pengikut group yang mencapai puluhan ribu orang, tentu lebih banyak sambutan atas ketaklaziman yang terjadi. Masing-masing pengikut menjadi nyaman, jumlah pengikutnya kian berkembang. Narasi yang diperbincangkan, makin intensif dan mendalam.

Selain keanoniman, kontributor lain tumbuhnya wadah fantasi yang menyimpang ini, adalah disinhibisi media sosial. Disinhibisi merupakan gejala psikologi, yang secara sederhana dikenali sebagai hilangnya kendali terhadap munculnya dorongan, perilaku, atau pikiran seseorang. Dorongan ini, menyebabkan seseorang tak mampu menekan dilakukannya tindakan yang tak pantas, atau tak diinginkan.

Konsep disinhibisi pertama kali dikemukakan oleh Psikolog John Suler, 2004, dalam makalahnya "The Online Disinhibition Effect". Pada makalah itu Suler menyebut adanya 6 tipe disinhibisi online. Masing-masing adalah dissociative anonymity (kamu tidak mengenal saya), invisibility (kamu tidak melihatku), asynchronicity (kamu tak bisa melihatku sekarang), solipsistic introjection (itu hanya di pikiranmu), dissociative imagination (itu hanya permainan), minimisation of status and authority (aturanmu tak berlaku untukku). Seluruhnya jadi pendorong, munculnya gejala yang merujuk pada kurangnya pengendalian diri, atau tak dipedulikannya kesepakatan sosial. Disinhibisi pada seseorang mendorongnya bertindak tanpa berpikir panjang. Juga tanpa mempertimbangkan risiko.

Pemahaman pada yang terjadi di group Fantasi Sedarah, dipermudah oleh konsep disinhibisi ini. Saat anonimitas bertemu dengan tak dimilikinya inhibisi, hadir ilusi rasa aman. Rasa aman untuk mengungkap pikiran-pikiran -yang ketika diungkap di dunia nyata-- bakal dikecam tak terperikan. Hampir tak tersedia ruang maaf untuk penyimpangan seksual, terlebih ketika obyeknya kerabat sedarah. Anominitas mendorong pengikut yang disinhibisi, mengabaikan kesepakatan sosial tanpa ancaman risiko. Pandangan-pandangan yang dihadirkan bertahap disambut sebagai hal lazim. Tak adanya penolakan, yang memunculkan perasaan normal. Perbincangan bertema tabu inses, dinormalisasi.

Dua pendorong di atas, bersumber dari individu. Individu yang bertindak ganda: produsen sekaligus konsumen konten. Karakter asosialnya 'didukung' platform, lewat mekanisme algoritma. Cara kerjanya: perangkat analisis platform mendeteksi derasnya distribusi konten, membesarnya jumlah pengikut dari waktu ke waktu dan bertahan lamanya group. Ini jadi indikasi kinerja group yang memuaskan. Algoritma yang bersifat kuantitatif, tak peduli aspek kualitatifnya: adanya ketaklaziman, bahkan asusila. Seluruhnya terpromosikan pada individu di luar group, untuk segera masuk group. Mekanisme algoritma mengundang orang dengan karakteristik sejenis, masuk ke dalam group.

Dengan faktor individu maupun dukungan platform --sesuai cara kerja di atas-- selain Fantasi Sedarah, sangat diyakini: banyak group gelap lain, yang eksis di media sosial. Group pandangan menyimpang, group rencana jahat, hingga group ideologi yang membahayakan negara, jadi keniscayaan media sosial. Ini termasuk group yang membahayakan keamanan anak selain Fantasi Sedarah. Hanya saja. belum terungkap keberadaannya.

Bagaimana mencegah seluruh keadaan di atas, agar tak jadi manifestasi yang merugikan? Dalam segitiga relasi produksi-distribusi-konsumsi, konten dapat menjangkau khalayak, berkat distribusinya oleh platform. Selain fasilitas distribusi itu, platform juga punya perangkat analisis, pengatur sistem algoritma, hingga penapis terdistribusinya konten yang buruk, merugikan bahkan membahayakan pengguna platform. Masing masing platform memiliki community guideline. Pedoman ini mengatur penggunaan media sosial, sehingga tak menyebarkan konten yang buruk untuk dikonsumsi penggunanya. Persoalannya, tak setiap pedoman komunitas ini, selalu selaras dengan kepentingan, kecerdasan, keragaman budaya masing-masing negara pemakainya.

Ini misalnya: adanya platform yang memiliki kebijakan, tak menolak konten pornografi. Sementara banyak negara yang melarang pornografi di ruang publik, termasuk yang didistribusikkan di media sosial. Maka mekanisme pengawasan yang terdapat pada community guideline-nya tak menapis adanya group semacam Fantasi Sedarah. Atau sebab lain, kata 'Fantasi' maupun 'Sedarah', tak mengandung konotasi menyimpang. Karenanya, lepas dari perangkat pengawasan platform. Perbincangan tak lazim beredar tanpa kendali. Group terus membesar, mengancam ruang aman anak.

Dalam realitas ini hanya masyarakat di tempat tumbuhnya pandangan menyimpang, yang dapat mengembalikan ruang aman anak. Tersedia tombol lapor, atau menolak secara kolektif, saat menjumpai distribusi konten menyimpang. Dan yang lebih penting, media sosial 'hanya' merupakan medium terdistribusinya konten. Ketika nilai menyimpangnya tetap eksis, pengawasan media sosial tak ada gunanya. Penyimpangan yang berlangsung di dunia nyata, harus dieliminasi keberadaannya. Jika tidak, ancaman serius bagi masa depan anak. Di dunia nyata, juga jagat digital.

*) Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital
Pendiri LITEROS.org




(nwk/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads