Prof Josh begitu ilmuwan yang lahir di Bandung pada 1970 ini disapa para koleganya. Josaphat Tetuko Sri Sumantyo merupakan salah satu diaspora Indonesia yang sangat tenar di bidang keilmuan penginderaan jarak jauh.
Nama depannya bahkan disematkan untuk sebuah laboratorium di Universitas Chiba, Jepang yakni Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL) atau lebih dikenal dengan Josaphat Laboratory pada 2013.
JMRSL merupakan laboratorium pengembangan perangkat dan aplikasi penginderaan jarak jauh menggunakan gelombang mikro (microwave) terlengkap di Jepang saat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lab ini mendukung segala perancangan sensor gelombang mikro dan aplikasinya. Khususnya synthetic aperture radar (SAR) untuk kendaraan udara tak berawak (UAV), pesawat terbang dan mikrosatelit.
Belajar ke Jepang Berkat Beasiswa Habibie
Dikutip dari laman Chiba University, Prof Josh lahir di Rumah Sakit Angkatan Udara di Pangkalan Udara Sulaiman, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Ayahnya Michael Suman Juswaljati adalah instruktur prajurit khusus TNI AU yaitu Pasukan Gerak Tjepat (PGT) kini bernama Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) yang bermarkas di Lanud Sulaiman.
Suman kemudian memboyong keluarganya saat pindah tugas menjadi pelatih di Lanud Adi Sumarmo, Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah. Latar belakang pekerjaan sang ayah turut memupuk minatnya sejak kecil pada radar.
Josh kecil kerap diajak sang ayah berkeliling pangkalan untuk melihat beragam teknologi militer salah satunya radar. Dikutip dari laman ITB, pada usia 5 tahun ia berjanji pada ayahnya suatu saat kelak akan membuat radar yang original dan pertama di dunia. Radar tersebut untuk melindungi ayahnya yang bertugas menjadi prajurit TNI-AU.
Usai menuntaskan sekolah menengah atas di Solo, ia mendapat beasiswa Science and Technology Manpower Development Program (STMDP) II yang digagas Menteri Negara Riset dan Teknologi BJ Habibie.
Josh berangkat ke Jepang untuk kuliah di Kanazawa University Jepang jurusan Teknik Komputer dan Informasi pada 1991. Saat menempuh studi S1 ia mengembangkan radar bawah tanah. Berbekal beasiswa Rotary International Scholarship, ia melanjutkan studi di kampus dan jurusan yang sama.
Usai menuntaskan studi S2, Josh sebenarnya sempat kembali ke tanah air. Ia pernah menjadi peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Namun, pada 1999 ia memutuskan kembali ke Jepang untuk melanjut studi dan penelitian doktoral di Chiba.
Ia mengambil riset bidang synthetic aperture radar. Josh akhirnya mendapatkan gelar PhD di bidang Applied Radio Wave and Radar Systems pada 2002. Kariernya berlanjut sebagai peneliti dan pengajar di Center for Frontier Electronics and Photonics, Chiba University.
Riset mendalam teknologi SAR ia lanjutkan saat menjadi Associate Professor di Center for Environmental Remote Sensing (CEReS) pada 2005. Gelar profesor bidang Microwave Remote Sensing (microsatellite and UAV) didapatkannya saat berusia 42 tahun.
Saat itu pula, Josaphat Laboratory berdiri untuk mengembangkan sensor SAR yang dikenal Circularly Polarized Synthetic Aperture Radar (CP-SAR) atau Elliptically Polarized Synthetic Aperture Radar (ER-SAR) untuk memantau muka bumi.
"Kebutuhan akan SAR yang akurat, ringan, tangguh (robust), kaya informasi polarisasi, multiplatform untuk pesawat tanpa awak, pesawat terbang, hingga satelit, mendorong saya menciptakan Circularly Polarized Aperture Radar (CP-SAR) yang telah dikembangkan di Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory,"ujar Prof Josh saat menyampaikan orasi ilmiah dengan judul "Teknologi Penginderaan Jauh, Kunci Indonesia untuk Memimpin Dunia" di kampus ITB pada Juli 2022 lalu.
Sensor CP-SAR ciptaannya pun mampu menghasilkan informasi intensitas, fase, dan polarisasi. Berbagai informasi turunan dari 3 parameter tersebut dapat digunakan untuk monitoring bencana, pertanian dan perkebunan, perikanan, infrastruktur, pemetaan sumber daya alam dan pemukiman, serta mendukung One Map Policy, tracking pelintas batas negara, antiteroris, dan lain-lain.
Contoh aplikasi SAR yang sudah dikembangkan di Josaphat Laboratory adalah pemanfaatan CP-SAR untuk deteksi pesawat terbang yang lebih detail dan akurat dibandingkan radar bandara konvensional saat ini. Nantinya, aplikasi SAR tersebut dapat dimanfaatkan untuk modernisasi radar bandara sebagai pengatur lalu lintas udara.
Prof Josh juga turut membantu turut perancangan dan pembangunan sistem SAR bagi berbagai institusi ruang angkasa dunia seperti European Space Agency (ESA), Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA), Korea Aerospace Research Institute (KARI), Taiwan National Space Organization (NSPO), dan BRIN.
"Semoga teknologi ini dapat terus dikembangkan dan lanjutkan oleh para peneliti muda kita. Hasil karya orang Indonesia ini diharapkan dapat berkontribusi bagi dunia untuk menjaga lingkungan dan keamanan global sehingga teknologi penginderaan jauh Indonesia dapat menjadi kiblat bagi negara-negara lain. Tentunya, ini menjadi kunci negara kita untuk memimpin dunia," ujarnya.
(pal/nah)