Untuk bisa kuliah S2 ke luar negeri hingga mendirikan sebuah startup dibutuhkan perjuangan yang tidak mudah. Namun, dua pencapaian tersebut telah sukses diraih oleh pemuda asal Boyolali bernama Angga Fauzan.
Perjuangan Angga menempuh pendidikan tidak semudah anak muda lainnya. Terlebih, ia lahir dari keluarga sederhana, di mana ayahnya merupakan penjual ayam goreng dan ibunya bekerja membantu orang bersih-bersih di kampung.
Sejak SD, Angga tumbuh besar di ibu kota karena ayahnya mencari nafkah berjualan di sana. Namun, tempat jualan ayahnya tiba-tiba digusur pemerintah karena akan dijadikan sebuah taman dan membuatnya harus pindah ke Boyolali, kampung halaman sang ayah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terpaksa Angga harus tinggal di sebuah gubuk bekas kandang kambing milik kakeknya. Dari gubuk tersebut, kisah perjuangan Angga menempuh pendidikan hingga merintis startup dirajut.
"Lantainya masih tanah, dindingnya bambu triplek yang kalau hujan bocor kemana-mana," jelas Angga, dilansir dari laman Media Keuangan Kemenkeu, Selasa (22/11/2023).
Hampir Putus Sekolah
Suatu ketika, Angga lulus dari SMP dan ia mengambil ijazahnya. Melihat teman-temannya yang sibuk menyiapkan pendaftaran SMA, Angga harus menahan kemauan seperti anak-anak seumurannya karena ia harus bekerja setelah lulus.
"Jadi waktu saya ambil ijazah SMP sama Bapak saya, kita langsung ke tempat kursus komputer biar bisa langsung kerja, biar entah mungkin jadi admin di pabrik mana atau toko mana," tuturnya.
Pantang menyerah, Angga diam-diam pergi ke SMA yang ia ingin dan mencoba mendaftar sekolah. Dari rumah ia memakai baju biasa, lalu ia berganti baju sekolah untuk melakukan pendaftaran.
Angga kemudian memberitahu ayahnya setelah diterima dan memberi kabar bahwa ia harus membayar uang pangkal senilai 1,7 juta. Alhasil ia harus meminjam ke sana kemari untuk bisa sekolah.
"Alhamdulillah dapat. Makanya tadi saya bilang, saya enggak mau menyia-nyiakan (sekolah SMA)," tegasnya.
Hobi Menggambar Mengantarnya Masuk ITB
Walaupun selama di SMA Angga selalu dipanggil guru BP untuk melunasi SPP-nya, tekadnya tak surut untuk terus mencari peluang. Hobinya membaca komik sejak SMP menjadikannya sungguh-sungguh belajar menggambar.
Angga pun ikut berbagai perlombaan menggambar untuk membuktikan kepada orang tuanya bahwa ia serius dalam menempuh pendidikan. Terbukti, Angga berhasil meraih 16 penghargaan menggambar selama SMA.
Untuk mendalami hobinya tersebut, Angga kemudian berpikir untuk melanjutkan studi setelah lulus ke jurusan desain komunikasi visual. Angga mencari tahu tentang jurusan tersebut dan didapati jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) ITB-lah yang akan ia tuju.
Angga sempat pesimis karena biaya kuliah ITB yang terlampau mahal. Namun, akhirnya ia mendapatkan informasi tentang beasiswa Bidikmisi dan mencoba mendaftar.
Oke saya mau masuk sana, tapi gimana caranya? Masuk ITB mahal. Katanya udah ngalahin kedokteran, aset orangtua saya kalau dijual juga enggak sampai tuh bisa ke sana," tutur Angga.
Singkat cerita, Angga pun berhasil lolos beasiswa tersebut dan diterima di jurusan DKV ITB. Walaupun hobinya lebih selaras dengan jurusan seni rupa, namun Angga lebih memilih DKV karena biayanya lebih murah.
"Praktical sederhana adalah karena saya anak Bidikmisi. DKV itu lebih murah secara urusan tugas-tugas kuliah karena ibarat kata kita tinggal modal laptop lah atau sesekali mungkin nge-print, sementara kalau seni rupa tahu sendiri kanvas, cat, kuas, dan seterusnya,"
Lanjut S2 ke Skotlandia dengan Beasiswa LPDP
Tak berhenti sampai S1, Angga memiliki impian besar untuk melanjutkan S2. Ia mendapat kabar dari senior di kampusnya bahwa ia dapat melanjutkan S2 dengan beasiswa LPDP.
"Jadi memang cita-cita buat bisa lanjut studi itu udah ada dari SMP ya, kemudian kita berpikir bahwa, wah ternyata ada ya dunia yang memang benar-benar luas. Dari situ (saya) terinspirasi untuk menjelajahi dunia-dunia baru. Kemudian kita mulai siapkan sejak masuk kuliah ya, udah mulai banyak ikut kursus, udah mulai banyak belajar mandiri, dan seterusnya," jelas Angga
Tantangan untuk mendaftar LPDP pun ia hadapi mulai dari belajar bahasa Inggris secara ekstra hingga ia harus resign bekerja untuk kursus bahasa Inggris selama sebulan di Pare. Perjuangannya tak sia-sia, Angga diterima di di The University of Edinburgh UK dan mengambil program Magister of Science, Design and Digital Media, Edinburgh College of Art.
"Jadi yang saya upayakan di jurusan saya waktu itu adalah gimana caranya walaupun saya enggak paling pintar tapi saya paling rajin. Dan itu ternyata berkesan banget ke prodi kami," tuturnya.
Jadi Founder Boyolali Bergerak dan CEO Startup
Perjalanan panjang dan penuh tantangan Angga untuk meraih pendidikan akhirnya berbuah hasil manis. Setelah kembali dari lulus S2 di Skotlandia, Angga membangun kariernya di Indonesia.
Ia sempat bekerja di sebuah startup besar di Indonesia. Selama itu, Angga dekat dengan seorang investor besar di Asia Tenggara. Kesempatan tersebut membuatnya memutuskan untuk resign dan fokus merintis startup yang tengah ia bangun bersama temannya.
Startup bernama MySkill yang Angga rintis bersama kawan-kawannya kini telah terkenal sebagai platform edukasi yang memberikan pelatihan dan kelas untuk orang belajar. Bahkan, saat ini telah ada 1,6 juta user dari platform tersebut.
"Makanya kita bangun MySkill untuk bisa ngebantu banyak orang dapetin skill dan pekerjaan yang dia impikan sehingga dia bisa bantu dirinya, keluarganya, dan sekitarnya. Jadi kayak efek dominonya kita kayak ingin menciptakan orang-orang yang seberuntung Angga dan co-founder nya Angga," katanya.
Selain mengejar karier, Angga pun tak lupa membagikan ilmunya lewat komunitas yang ia dirikan bersama kawan-kawan yakni Boyolali Bergerak.
"Jadi Boyolali Bergerak adalah komunitas sosial dan pendidikan di daerah saya Boyolali Jawa Tengah yang fokusnya adalah kita satu. Kita membuat taman pendidikan Al-Quran, kita ada ngasih bantuan sosial, banyak pelatihan, bimbingan beasiswa, dan seterusnya," katanya.
(cyu/nah)