Keinginan Fathia Fairuza bergabung dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) muncul saat masih berusia 16 tahun. Harapannya, ia bisa memperjuangkan hak asasi manusia, terutama hak atas pendidikan bagi anak RI dan negara berkembang lainnya, di meja internasional.
Sadar mimpinya besar, Fathia menyusun langkah sejak di bangku sekolah. Ia merencanakan tekun di ekstrakurikuler, kompetisi, hingga pertukaran pelajar, kuliah di luar negeri di prodi yang tepat dengan beasiswa, fokus ke aktivitas dan organisasi sebidang, sampai memasuki jenjang karier.
Alhasil, perempuan asal Sidoarjo ini meraih tiga beasiswa S1 di jurusan Hubungan Internasional, Ritsumeikan Asia Pacific University (APU) Jepang serta beasiswa LPDP di Columbia University, New York, AS untuk S2 Human Rights Studies.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana kisah Fathia menavigasi rencana masa depan di tengah tantangan dan berbagai kegagalan? Baca lebih lanjut di bawah ini, yuk!
Kompetisi dan Pertukaran Pelajar
Peluang merasakan pendidikan di luar negeri semula terbuka saat Fathia kecil duduk di bangku SMP di Sekolah Alam Insan Mulia. Harapannya, menjadi peserta pertukaran pelajar juga memperbesar peluangnya S1 di luar negeri. Namun, kesempatan student exchange ke Australia saat itu mengenakan biaya.
Agar tak membebani orang tua, Fathia menunda keinginannya studi di luar negeri ke jenjang SMA. Peluang pertukaran pelajar coba ia tempuh, sekaligus untuk memperbesar peluang diterima kuliah S1 di luar negeri.
Siswa yang tekun ikut ekskul dan debat bahasa Inggris ini lalu menjajal pendaftaran pertukaran pelajar AFS Intercultural Exchange ke Amerika Serikat, namun gagal di tahap wawancara. Peluang pertukaran pelajar kedua muncul lewat Rotary Youth Exchange.
Tahu ada program tersebut dari akun ask.fm alumnusnya, Sri Izzati, Fathia langsung mencari tahu jadwal seleksi dan menyiapkan berkas pendaftaran. Ia pun dinyatakan diterima dan berangkat ke Madrid, Spanyol pada 2016.
Cita-cita Berkontribusi lewat PBB
Sekolah satu tahun di Madrid dengan beasiswa pertukaran pelajar, wawasan baru dan interaksi dengan teman-teman dari berbagai negara memperkenalkan Fathia pada ranah hubungan internasional serta PBB.
"Belajar di lingkungan baru, berteman dengan teman-teman dari seluruh dunia, jadi tertarik sama international relation, tahu PBB. Sejak itu saya tahu mau kerja di PBB. Dari situ saya cari tahu langkah-langkahnya," kata Fathia pada detikEdu.
Menjadi perwakilan di PBB bagi Fathia penting untuk mengangkat isu di Indonesia ke meja besar PBB. Ia menjelaskan, praktik ini memungkinkan isu di RI dan negara berkembang lain didengar di meja internasional.
"Kita mendorong agar ketika PBB bikin resolusi, nggak cuma ke negara-negara maju aja, tetapi juga include untuk masalah-masalah di RI. Ini impact-nya nggak hanya ke Indonesia, tetapi juga emerging countries yang serupa masalahnya. Jadi dunia bisa aware dan bersama kasih solusi," terangnya.
Kuliah di Jepang sambil Kerja
Sekolah 3 tahun di Indonesia dan 1 tahun di Spanyol, alumnus SMAN 1 Sidoarjo ini bercerita sempat sedih tidak dapat mendaftar PTN jalur undangan (kini Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi/SNBP). Ia pun tidak lulus di SBMPTN (kini Seleksi Nasional Berdasarkan Tes/SNBT).
Fathia menuturkan, ia sempat takut tidak dapat lanjut ke pendidikan tinggi. Namun, ia berupaya menerapkan growth mindset dan terus mencoba.
"Gagal bukan berarti tidak mampu, tetapi bukan rezeki; challenge untuk mencoba lagi, introspeksi apa yang bikin gagal, sehingga usaha selanjutnya akan beda," ucapnya di pembukaan Beasiswa Aperti BUMN 2023 lalu di kampus Institut Teknologi (IT) PLN.
Berbekal profil pengalaman dan pendidikannya selama sekolah, Fathia diterima kuliah dengan beasiswa di S1 Hubungan Internasional, Ritsumeikan APU, Jepang. Ia tercatat sebagai penerima beasiswa Ando Momofuku Award, kemudian Academic Merit Scholarship karena meraih IPK 4.00, dan Ando Momofuku Honors Prize atas pencapaiannya sebagai wisudawan terbaik 2022.
Hidup di Jepang dengan beasiswa bagi Fathia tidak selalu mulus. Kondisi keuangan yang kurang baik saat menginjak semester 2 membuatnya bekerja paruh waktu untuk tambahan biaya hidup.
"Macam-macam; kerja di kafe, Uber Eats driver dengan sepeda ontel, panen lobak, dan panen paprika. Buat bertahan hidup," ucapnya.
Ia pun mengaku sempat homesick dan rindu keempat adiknya sepanjang kuliah. Tekanan kuliah untuk menjaga performa akademik dan banyaknya tugas berpenilaian ketat membuatnya coba bertahan dengan mengingat-ingat kembali tujuannya menempuh pendidikan tinggi.
Fathia pun menyibukkan diri dengan kegiatan organisasi dan kerelawanan yang sesuai minat dan bidangnya untuk masuk PBB. Peraih gelar Most Outstanding Delegate di Japan-Indonesia Model United Nations (MUN) 2019 pun belajar cara PBB bekerja lewat MUN. Ia juga membangun portofolionya dengan aktif di humanitarian competitions, hingga magang di United Nations Children's Fund (Unicef) pada 2020.
Di semester 5, Fathia juga merintis organisasi nirlaba Shape Your Life ID yang kini resmi bergerak di bawah naungan Yayasan Pemuda Indonesia Mendunia.
"Bantu anak-anak di pelosok negeri untuk dapat beasiswa gratis, dapat hak atas pendidikan. Yang nggak punya mentor, terbatas ekonomi, dapat mentoring gratis, mengembangkan S2, mendorong pendidikan di RI. Dapat sponsor dari kampus dan XL Axiata," tuturnya tersenyum.
Beasiswa LPDP di Columbia University
Lulus S1 sebagai wisudawan terbaik Ritsumeikan APU, Fathia memantapkan diri langsung lanjut studi S2 di luar negeri untuk mendalami lebih jauh soal HAM, khususnya di bidang pendidikan. Pilihannya jatuh ke Stanford University, Columbia University, dan New York University (NYU) yang menyediakan pendidikan S2 di bidang terkait.
Dari ketiganya, Fathia kelak diterima kuliah S2 di Human Rights Studies Columbia University dengan beasiswa LPDP.
"Nggak langsung diterima. Di Stanford langsung ditolak, di Columbia masuk waitlist, nggak ditolak dan diterima--digantung. Sempat terpikir, kalau nggak S2, saya ngapain? Nggak prepare kerja. Kecewa, hopeless, tapi saya revisi esai, perbarui CV karena menang lomba baru, masukkan prestasi baru, tuturnya.
"Alhamdulillah Maret 2022 diterima di NYU dan Columbia. Saya pilih salah satu, di Columbia University, karena PTUD (perguruan tinggi utama dunia) beasiswa LPDP, ada jalur khususnya," imbuh Fathia.
Fathia menuturkan, pendaftaran beasiswa LPDP dan pendaftaran ke kampus tujuan juga terbantu berjalan sejak semester 8 kuliah S1. Sebab, ia telah merampungkan semua beban SKS perkuliahan di semester 7.
"Sempat jenuh, tetapi tertutup kegelisahan untuk mencapai yang dipengen," tuturnya.
Di bangku Columbia University, fresh graduate ini pun mengaku sempat minder dengan pengalaman teman-teman kuliahnya yang sudah aktif menjadi konsultan hingga pengacara HAM. Namun di kelas, ia sadar bahwa suaranya di diskusi kelas dapat memberi wawasan soal isu-isu dengan konteks Indonesia para rekan-rekan mancanegara.
"Kita harus reading dulu, terus diskusi. Memberi tahu isu dengan konteks indonesia itu signifikan buat mereka. Misal di AS itu soal homelessness. Sesederhana konteks sebagai orang Indonesia atau muslim, bisa didiskusikan," ceritanya.
Tips Beasiswa LPDP PTUD
Fathia menuturkan, paham langkah-langkah konkret ke depan penting untuk menghadapi beasiswa LPDP bagi peminat jenis beasiswa PTUD.
"Dipelajari lagi yang sudah ditulis, ke depannya mau bagaimana, mau jadi apa, harus konkret step by step. Lalu kontribusinya ke RI bagaimana. Tidak harus besar-besar. Bagaimana kontribusi ke sekolah, ke desa, itu sudah kontribusi. Pikirkan hal-hal yang dekat ke kita dan komunitas dulu sebelum ke yang besar-besar," jelasnya. "Yang penting jelas dan tidak boleh ngawang.
"Aware juga sama kekurangan-kelebihan diri. Pewawancara salah satunya psikolog. Jangan bohong, akan ketahuan. Tunjukkan persona dengan baik. Lalu jelaskan juga mau ambil kelas apa saja, dibimbing professor siapa, udah harus tahu. Jadi kerjakan PR-PR ini," pungkas Fathia.
(twu/pal)