Bila kita ingin menilai kualitas pendidikan kita di Indonesia secara objektif, ada baiknya kita menengok posisi kita di hadapan negara lain di dunia. Sebutlah misalnya melalui penilaian Program for International Students Assessment (PISA) yang mencakup 600.000 anak berusia 15 tahun dari 79 negara yang menilai "kemampuan literasi membaca, matematika, dan sains". PISA diselenggarakan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) setiap tiga tahun.
Selain PISA, terdapat pula Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) yang menilai pengetahuan matematika dan sains bagi siswa kelas 4 dan 8 di seluruh dunia. TIMMS diselenggarakan oleh Asosiasi Internasional untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan untuk pembandingan prestasi pendidikan di dunia setiap empat tahun dan dimulai sejak 1995. Dalam rilis yang dilakukan, skor PISA Indonesia pada tahun 2018 berada di peringkat 74 dari 79 negara, di TIMSS 2007, Indonesia berada di urutan 36 dari 49 negara yang diasesmen. Keduanya menyatakan bahwa Indonesia berada di kelompok 10 terbawah.
Banyak orang mejadi pesimistik tak sedikit pula yang menjadi panik. Kenyataannya, kita memang bukan yang terbaik tapi kita juga bukan yang terburuk. Tak perlu pula buruk rupa cermin dibelah, pendidikan kita memang masih banyak masalah, apalagi dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa, struktur wilayah negara kepulauan terbesar di dunia, bangsa dengan lebih dari 200 bahasa yang hidup di dalamnya dan beragam suku bangsa dan budaya, tapi setidaknya sejarah mencatat bahwa kita tidak pernah menyerah untuk menjadi bangsa yang lebih baik dan berjaya, termasuk dalam pendidikannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah pada masa kerajaan dan kolonial, pendidikan menjadi privilege bagi kaum Eropa dan bangsawan. Bangsa ini bangkit merebut kemerdekaan pada tahun 1945, walaupun secara jujur harus diakui bahwa saat itu kita tidak benar-benar siap menjadi bangsa yang merdeka dalam berbagai aspek tapi bangsa kita berpegang pada prinsip, apa yang tidak dapat diperoleh keseluruhannya jangan ditinggal semuanya. Bangsa kita pun mengambil momen di mana Jepang dibom oleh Sekutu dan dengan sepihak saat itu sebagai bangsa kita menyatakan kemerdekaan kita. Klaim kita baru diakui oleh Belanda pada tahun 2023 ini setelah sebelumnya mereka hanya mengakui bahwa bangsa Indonesia merdeka pada 27 Desember 1949.
Pendidikan yang diwarisi di Indonesia memang berbasis pendidikan yang ditinggalkan pemerintah kolonial yang kemudian kita adopsi menjadi pendidikan nasional. Pada masa kolonialisme, pendidikan bermaksud menghasilkan tenaga-tenaga terampil untuk menopang pemerintahan Hindia Belanda di Nusantara. Kreatifitas menjadi tidak terlalu penting karena ketundukan robotik seperti yang diajarkan kemudian menjadi sangat penting. Sebuah cara berpikir yang khas untuk era revolusi industry 1.0 dan 2.0. Sebuah cara berpikir yang menjadi masalah jika itu terjadi pada hari ini di mana pikiran kritis, kreatifitas, kolaboratif, dan komunikasi menjadi kemampuan yang sangat dibutuhkan. Tak sedikit dari mereka yang menganggap sekolah adalah tempat di mana ia hanya perlu hadir, mendengarkan, mengerjakan tugas guru, dan lulus.
Sebagai seorang praktisi pendidikan seringkali saya melihat bahwa salah satu bukti atas kalimat hadir, mendengarkan, mengerjakan, dan lulus yang saya sampaikan di atas adalah tatkala kelas di-setting dalam ruang diskusi maka sering sekali anak-anak terlihat tidak siap dengan tema pembelajaran dan cenderung tidak kritis atas diksi yang disampaikan temannya atau yang tertulis di buku ajar. Daripada bertukar gagasan, suasana kelas lebih cenderung terasa seperti mengisi gelas kosong. Padahal kalau mau kita cermati, kebutuhan kemampuan pada abad 21 ini mengharuskan anak didik mengambil inisiatif.
Di ruang kelas, banyak murid kita yang bahkan cara menyampaikan gagasan yang baik saja mereka tidak terlalu paham, untuk tidak menyebut tidak bisa. Ketika presentasi terkesan membaca teks, ketika ada masalah cenderung tidak mampu menyampaikan secara langsung. Begitupun juga dalam hal membaca dan menulis naskah, banyak murid kita yang kesulitan menentukan ide pokok dan ide pendukung dalam sebuah paragraf. Saat menulis banyak yang punya kesulitan menentukan tulisan baku yang baik dan dapat dimengerti pembaca. Masalah-masalah di atas menjadi bahasan banyak pihak di Indonesia baik oleh para pemerhati pendidikan, praktisi pendidikan, hingga masyarakat luas.
Berbagai hal juga dilakukan oleh berbagai pihak di Indonesia mulai dari upaya pemerintah untuk mendesain pendidikan yang dirasa lebih baik hingga keikutsertaan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan. Sekali lagi sebagai negara dengan sumber daya yang terbatas yang memiliki rakyat yang sedemikian banyak dan dengan wilayah yang sedemikian luas, keterlibatan masyarakat tentu sangat penting dalam hal ikut membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan yang lebih baik dan merata.
Mentransformasikan Pendidikan
Setelah kita tahu posisi kita, kita mau ke mana, masalahnya di mana dan apa yang perlu kita perbaiki, maka dimulailah dari mana kita harus melakukannya. Tentu berbagai persoalan haruslah dilihat secara menyeluruh atau holistik, oleh karenanya wajar jika pemerintah saat ini mengajukan RUU Sisdiknas setelah 20 tahun lamanya kita memakai UU Sisdiknas tahun 2003. Bersamaan dengan itu Pemerintah dalam hal ini Kemendikbud juga menyiapkan Kurikulum Merdeka untuk mentranformasikan pendidikan yang ada dari statis ke aktif, dari pasif ke kritis, dan dari konfrontatif ke kolaboratif.
Sebagai seorang yang berkecimpung dalam pendidikan, saya melihat setidaknya ada dua hal yang dilakukan oleh pemerintah untuk menjadikan pendidikan kita menjadi lebih baik. Pertama, adalah penyelarasan pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja dan kedua adalah merubah sistem evaluasi pendidikan kita.
Dalam hal yang pertama misalnya, hal tersebut didasarkan pada banyaknya studi atas data lulusan jenjang pendidikan kita yang tidak terserap dunia kerja baik level SMK/SMA ataupun level strata satu. Di sisi lain, industri kita banyak yang mengeluhkan ketidaktersediaan SDM yang mumpuni oleh lembaga pendidikan kita. Lulusan otomotif tapi tidak mengerti mesin, lulusan komputer tapi bahkan tidak tahu mengoperasikan pengolah data sederhana.
Penyelarasan pendidikan dengan dunia kerja kemudian dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada para murid untuk dapat magang langsung di dunia kerja yang dikonversi menjadi senilai mata pelajaran atau mata kuliah. Sedangkan di sistem evaluasi pendidikan dilakukan perombakan besar-besaran. Hal yang awalnya sebagai tes kelulusan bagi para siswa menjadi evaluasi survei bagi siswa dan sekolah. Sistemnya mirip dengan NAPLAN (National Assessment Program Literacy and Numeracy) di Australia. Sistem yang baru disebut sebagai Asesmen Nasional. Di sistem lama, tes dilakukan kepada siswa kelas akhir di sistem yang baru dilakukan pada kelas 5, 8, dan 11 yang dilakukan secara sampling. Hal lain yang dinilai adalah lingkungan belajar dan kepemimpinan pendidikan.
Hasil dari semua transformasi ini mungkin tidak akan kita lihat dalam sekejap mata, tapi akan terlihat efeknya dalam beberapa tahun ke depan. Ujungnya tentu adalah menyiapkan generasi Indonesia untuk aktif mengambil peran menjadikan hari esok lebih baik.
Dengan mentranformasi pendidikan memang tidak menjamin masa depan seseorang akan seperti apa, tapi setidaknya kita bisa memastikan rancangan masa depan kita sebagai bangsa Indonesia seperti apa. Kita memang tidak pernah tahu apa yang terjadi esok, tapi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dapat kita prediksi. Kekurangan secara implementatif lapangan pasti akan didapatkan untuk itu perlu pula evaluasi terus menerus dari pihak yang berkepentingan agar tujuan pendidikan kita dapat tercapai. Jika semua berjalan sesuai rencana Indonesia Emas 2045 bukanlah lagi hanya sekedar cita-cita.
![]() |
*) Iksan K Sahri
Dosen Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
(nwk/nwk)