PAUD Anak Ceria Universitas Airlangga (Unair) kembali membuka kegiatan belajar mengajar tatap muka setelah pandemi lebih dari 2 tahun. Kepala Sekolah PAUD Anak Ceria Theodore Baswara menuturkan, tak mudah baginya membuat guru nyaman belajar meningkatkan kapasitas diri untuk anak-anak muridnya.
Alumnus S1 Psikologi Unair ini menuturkan, sejak berkesempatan menjadi kepala PAUD, kualitas guru menjadi fokusnya untuk menghasilkan kualitas pembelajaran murid. Namun, butuh waktu dan pengalaman langsung baginya untuk tidak membuat guru belajar meningkatkan kapasitas diri tanpa terpaksa. Theo mengatakan, dari pengalamannya, ia belajar untuk memahami kebutuhan tiap guru dalam belajar.
"Awalnya, saat bantu guru belajar, saya punya kecenderungan menyamaratakan kemampuannya. Saat ada hal baru, saya buru-buru, saya ingin guru-guru cepat bisa mempraktikkannya di ruang kelas," tuturnya dalam Pembukaan Temu Pendidik Nusantara X, Minggu (28/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Merasa belum berhasil membuat semua guru di laboratorium PAUD Unair ini bergerak bersama, Theo pun enggak menerima tawaran berbagi ilmu di beragam organisasi pendidikan. Lama-lama, diiyakannya ajakan itu. Dari situ, ia lebih jauh menyelami tentang Merdeka Belajar untuk guru-gurunya dan siswa.
"Awalnya saya menolak, karena saya merasa saya bantu guru-guru di tempat saya saja belum berhasil, masa mau bantu guru dari sekolah lain. Namun akhirnya saya terima ajakan itu karena diajak bergabung ke organisasi Jaringan Sekolah Madrasah Belajar," kisahnya.
"Di situ ketemu pemimpin sekolah dan madrasah yang punya cita-cita sama dengan saya. Untuk membantu Merdeka Belajar butuh pemimpin yang Merdeka Belajar juga," sambungnya.
Bantu Guru Belajar di Daerah Lain
Bergabung dengan komunitas, bagi Theo, dirinya belajar hal baru tentang menggerakkan pendidikan dan membantu guru belajar.
"Saya dapat banyak kesempatan melatih dan fasilitasi, bantu guru belajar di berbagai daerah. Saya mendapati guru dari berbagai latar belakang, jadi belajar lebih berempati dan jadi bisa lebih memahami bahwa tantangan mereka berbeda, sama halnya dengan kesiapan murid yang beda dan tidak bisa disamaratakan," tuturnya.
Theo bercerita, ia jadi sering diskusi dengan guru yang lebih siap belajar serta makin sering mengajak refleksi. Dengan begitu, guru yang lebih siap belajar jadi lebih cepat mempraktikkan praktik pembelajaran Merdeka Belajar dan berimbas pada guru di sekitarnya.
"Hal ini jadi contoh praktik baik bagi guru-guru yang awalnya resisten belajar. Mereka jadi lebih saya pahami, saya jadi tidak mudah emosi, karena guru saya juga alami hambatan belajar," katanya.
Membantu Guru di Institusi Sendiri
Theo menuturkan, berangkat dari mengenali kebutuhan tiap guru, ia jadi lebih bisa membantu pembelajarannya. Dari situ, tiap guru dapat mulai mengembangkan praktik berbagi baik di kelas masing-masing, lebih mandiri dalam refleksi, dan diskusi pembelajaran yang berpihak pada murid.
"Mereka juga membuka diri untuk mencari kebutuhan belajar tidak hanya di dalam sekolah, tetapi juga di komunitas-komunitas yang beda-beda untuk masing-masing guru. Ada yang lebih aktif di komunitas pendidikan keluarga, di komunitas guru belajar, dan sebagainya," kata Theo.
"Dari pengalaman ini jadi belajar bahwa menggerakkan pendidikan tidak bisa sendirian, tidak bisa fokus hanya pada lembaga di tempat kerja kita. Menggerakkan pendidikan butuh kolaborasi. Makin kita mau membantu, makin cepat juga kita dapat tumbuh bersama," pungkasnya.
(twu/nwk)