Sri Safitri, salah satu pejabat perempuan di BUMN teknologi Indonesia ini sangat getol mendorong perempuan berkiprah di bidang STEM (Science, Technology, Engineering and Math). Bagaimana kiprahnya?
Sri yang kini menjabat Head of Education Ecosystem Telkom Indonesia memulai perjalanan di bidang STEM sejak masih sekolah. Sejak kecil, Sri memang gemar sekali pelajaran eksakta seperti matematika dan fisika.
"Kalau dulu ada yang menjauhi matematika dan fisika, saya malah senang. SD ikut lomba sains, meski nggak sampai juara nasional-internasional sih," tutur Sri dalam perbincangan dengan detikEdu, ditulis Jumat (21/4/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari kegemaran dengan pelajaran STEM itu, Sri memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke STT Telkom jurusan Teknik Elektro di tahun 1991. Saat itu Sri mengakui masih ada bias gender di bidang ini.
"Bias gender yes, dari 1.000 mahasiswa yang diterima, laki-laki 900 orang, perempuannya nggak nyampe 100 orang. Tantangannya berat sekali bagi kebanyakan perempuan yang lain di bidang teknik elektro tersebut. Syok juga tiba-tiba berhadapan dengan rangkaian elektronik, kalkulus," tuturnya mengenang sambil terkekeh.
Sejak lulus dari STT Telkom (kini Telkom University-red), Sri melanjutkan pendidikan di bidang STEM, tepatnya Telecommunication Management, Engineering and Design dengan beasiswa British Chevening Award di Cable & Wireless College, Coventry Inggris. Tak cukup, Sri melanjutkan pendidikan master bidang Telecommunication Engineering di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT), Australia.
Dalam perbincangan dengan detikEdu, Sri terdengar berapi-api menjelaskan tantangan, hambatan hingga solusi agar perempuan lebih banyak terlibat di STEM. Sri mencontohkan, di Telkom, perusahaan tempatnya berkarya, budaya bias gender ini sudah tidak ada. Namun terkadang sang perempuan sendirilah yang tidak percaya diri atau menghambat langkahnya di STEM dengan sederet keraguan dan syarat.
"Di Telkom nggak ada bedanya, mau laki-laki atau perempuan, bila menduduki suatu jabatan, gajinya ya sama. Cuma memang sekarang itu yang jadi masalah perempuannya sendiri di bidang STEM yang nggak mau berkarir atau belajar bidang STEM," tuturya.
Sri mencontohkan, masih di lingkup Telkom, level manajer 35-40% adalah perempuan. Naik lagi ke senior manager hingga vice president (VP) makin kecil persentasenya.
Bila ada job tender atau lelang jabatan untuk promosi, misalnya, lebih banyak laki-laki yang ikut ketimbang perempuan. Sri sampai memanggil para manager perempuan agar ikut job tender itu.
"Tahu nggak alasannya, nanti perempuan nggak ada waktu buat keluarga, belum bisa me-manage keluarga nggak bisa maju di kantor. Ini kenapa perempuan nggak maju, nggak pede, nggak mau maju kalau ada job tender. Saya bilang kalau di Telkom, Senior Manager itu dapat sekretaris, sopir, dan semua fasilitas yang mendukung pekerjaan strategis, waktunya jadi lebih banyak buat keluarga karena tak terlalu banyak pekerjaan administrasi, bikin PPT udah ada yang ngerjain. Kalian bisa jadi pemimpin, jangan hanya puas di posisi manager," cerita Sri saat memotivasi para perempuan di kantornya.
Sri menambahkan, perempuan itu sifatnya perfeksionis. Dia mencontohkan bila suatu job tender punya 10 kriteria yang harus dipenuhi, maka ini yang terjadi.
"Kalau laki-laki dia bisa 6 kriteria itu, dia merasa dan bilang bagus. Kalau perempuan, punya 8 kriteria aja masih bilang nggak perfect itu," jelasnya.
Namun, sejak Menteri BUMN Erick Thohir menerapkan bertahap persentase level manajerial perempuan hingga 25% di BUMN, mulai banyak middle-up management dijabat perempuan.
"Baru mulai banyak tuh level VP itu dijabat perempuan. Kalau susah karena speknya agak kurang, ya udahlah dibantu. Tapi jangan sampai perempuan maju itu karena kuota ya, menduduki atau mendapatkan jabatan bukan karena kuota tapi karena mampu, unggul, mandiri. Tapi kalau kuota tidak dibuka, seperti telur dan ayam, tidak akan memotivasi perempuan sampai ke situ," tuturnya.
Satu lagi success story yang dicontohkan Sri. Suatu ketika saat masih di Telstra, dia menerima sekretaris perempuan lulusan D3 Australia. Menurut Sri, sekretarisnya itu overqualified untuk menjadi seorang sekretaris dan bisa menjadi lebih dari itu.
"Dia sendiri nggak pede. Akhirnya saya dorong dia ikut jadi management trainee, saya coaching, saya mentoring masuk jalur fast track. Nggak sampai 6 tahun dia sudah bisa ada di posisi manajer sekarang. Perempuan itu harus didorong, kalau perlu dijorokin ya, dia akan membuktikan dirinya bisa mencapai posisi tertinggi. Nggak manager, GM, senior manager, VP atau Head of, untuk perempuan bisa maju di karirnya, harus menonjol, berani ungkapkan pikirannya, idenya, harus komunikatif, aktif. Sementara perempuan lebih senang bekerja di belakang meja, tanpa exposure keluar, jadinya orang nggak banyak tahu," jelas dia.
Perempuan Berkarir di STEM Butuh Support System
Diakui Sri, dirinya tak akan sampai pada titik ini bila tak ada support system, mulai dari suami yang mendukung hingga orangtua yang memotivasi. Dari tingkat keluarga misalnya, perlu diajarkan dan ditanamkan bahwa pekerjaan domestik dan mengurus anak bukan saja tugas perempuan, tapi juga tugas laki-laki sebagai pasangan yang suportif.
"Tugas urus anak tidak hanya tugas perempuan, ini harus dikomunikasikan ke anaknya laki-laki. Bagi kerjaan ke anak laki-laki, cuci baju, cuci piring. Pekerjaan rumah tidak dibagi berdasarkan gender, jadi bisa rolling, gantian, nyuci, nyetrika. Misal saya dan suami, kalau saya tugas ke luar negeri, suami saya siaga urus anak. Gantian suami tugas ke luar negeri, sayanya yang stay. Bahkan pernah saya tugas ke luar kota, saya bawa anak dan asisten rumah tangga. Pengorbanan ini harus vice versa (timbal balik), tidak harus selalu perempuan yang berkorban," jelas Ketua Umum Indonesia Customer Experience Professional (ICXP) ini
Sri mengamati mengapa support system yang timbal balik itu belum banyak berlaku karena antara perempuan belum bisa mengkomunikasikan hal ini kepada suami pasangannya atau suaminya menganut value atau nilai yang berbeda.
Dorong Perempuan di STEM, Ubah Mindset Para Ibu Muda
Mendorong kiprah perempuan di STEM tak luput dari pendidikan yang dimulai dari keluarga. Terutama sekolah pertama anak-anak, sang ibu.
"Perempuan-perempuan, ibu-ibu muda atau IIM ubah mindset diri dan anaknya, stop dogma yang salah di masa lalu karena kita sekarang di era perubahan. Untuk anak-anak muda perempuan, peluang bidang IT terbuka lebar. Perempuan berkarir bidang IT itu masa depan jauh lebih baik, AI yang dikelola perempuan justru terbebas dari bias gender," jelas dia.
Dogma yang salah itu misalnya 'perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi karena nanti ujung-ujungnya akan kembali ke dapur', 'perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi karena nanti buat lelaki minder dan jauh jodoh' dan sebagainya.
"Dari kecil indoktrinasinya harus 'sekolah yang tinggi karena dengan kamu sekolah, peluang kamu dapat suami yang pendidikannya setara lebih besar'. Ibu saya lulusan SD tapi dia bilang 'sekolahmu harus tinggi, S1 peluang dapat teman S1 lebih besar, S2 juga begitu'. Ini pentingnya perananan ibu memotivasi memberikan inspirasi pada anak-anak perempuannya. Ibu-ibu muda dari sekarang, kalau mereka nggak ubah apa yang diajarkan lagi ke anaknya, seterusnya generasi seperti itu. Perempuan itu jaman sekarang harus hentikan paradigma-paradigma yang salah di masa lalu, ubah jadi lebih baik. Ubah mindset, cara mendidik dan parenting-nya," tegas Direktur Small Medium Enterprise Womenpreneur Indonesia Networks ini.
Di era disrupsi teknologi sekarang ini, yang berlaku adalah ABCD yakni artificial intelligence-blockchain-cloud-data science. Buat perempuan yang hendak pivot atau pindah haluan ke bidang IT, meski tak memiliki latar belakang pendidikan ini, Sri sangat menganjurkan. Di masa di mana kursus online-bootcamp tentang IT, AI tersedia di mana-mana bahkan banyak yang gratis, maka yang diperlukan adalah kemauan untuk selalu belajar dan mengembangkan diri.
"No excuse-lah buat perempuan sekarang, apalagi didukung lingkungan, gampang akses ilmu, banyak internet. Banyak peluang. Kalau nggak mau juga, is your problem, not my problem," tuturnya mengajak perempuan muda terjun ke bidang STEM.
detikers terinspirasi mengikuti jejak Sri Safitri?
(nwk/pal)