Kisah Irawati Puteri, Mantan SPG Lolos S2 Stanford Plus Beasiswa LPDP

ADVERTISEMENT

Kisah Irawati Puteri, Mantan SPG Lolos S2 Stanford Plus Beasiswa LPDP

Trisna Wulandari - detikEdu
Rabu, 01 Mar 2023 17:00 WIB
Irawati Puteri
Foto: Irawati Puteri
Jakarta -

Kisah Irawati Puteri diterima S2 Stanford University viral sejak utas Twitternya mengudara pada Sabtu (25/2/2023). Ia diterima sebagai mahasiswa program Master in International Education Policy Analysis 2023-2024. Tak hanya itu, ia juga lolos seleksi Beasiswa LPDP untuk menempuh pendidikan ini.

"I got accepted to Stanford! Mantan SPG chicken nugget PRJ bisa keterima Stanford! Kalau ada yang mau tanya-tanya atau mau daftar juga, please jangan ragu tanya aku aja! Pasti aku bantuin! I wil #payitforward!" tulisnya mengawali utas kabar bahagia tersebut.

Sekilas, melihat jejak pendidikan Irawati Puteri sebelumnya di jenjang sarjana, S1 Hukum Universitas Indonesia (UI), SMAK 1 BPK Penabur Jakarta, dan SMPK 1 BPK Penabur Jakarta, sejumlah replies netizen merespons tak heran melihat Irawati dapat diterima kuliah di Stanford University.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara itu, Ira menuturkan, ada perjalanan yang ditempuh sejak di bangku sekolah untuk meraih pendidikan hingga ke luar negeri di jenjang magister. Berikut kisahnya.

Kisah Irawati Puteri, Raih S2 Stanford University dan Beasiswa LPDP

Kuliah sambil Mengajar

"Emang sekolah di Penabur banyak yang asumsi pasti kaya, padahal Penabur itu baik sekali lho mau ngerti kesulitan ekonomi. Pun demikian aku sempat mengalami adikku putus sekolah karena simply ya uang kami ga ada lagi," cuit Ira.

ADVERTISEMENT

Di bangku sekolah dan kuliah, Ira menjelaskan, dirinya mendapat kebijakan yang meringankan kesulitan ekonominya. Contohnya seperti Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan (BOP-B) di UI.

Ia pun menjalani kuliah sambil kerja sambilan menjadi guru les hingga menerjemahkan tulisan untuk bantu membiaya keluarga dan perkuliahannya.

Merampungkan perkuliahan di Fakultas Hukum UI pada 2015 hingga Januari 2020, Ira tercatat setidaknya sudah menjadi pengajar di Ruangguru sejak 2017, penulis artikel hukum sejak 2018, dan staf firma hukum sejak 2019 sebelum lulus.

"Ya benar, saya berusaha mencari uang untuk mencukupi kebutuhan keluarga dengan mengajar, menerjemahkan tulisan, dan jadi SPG (sales promotion girl). Jadi SPG ini pun, sebenarnya tidak hanya di PRJ (Pekan Raya Jakarta) yang eventnya tahunan saja, tapi event lainnya. Hanya saja memang menjadi SPG itu seperti pengingat yang cukup ikonik buat diri saya sendiri, bahwa saya pernah rela berjuang melakukan apa saja untuk mencari uang buat keluarga saya," kisah Ira pada detikEdu, Rabu (1/3/2023).

Peran Orang Tua di Tengah Keterbatasan

Ira bercerita, kedua orang tuanya tidak bisa mendapatkan karir yang baik karena menempuh pendidikan jauh dari kata tinggi. Yatim piatu sejak usia 9, ayahnya putus sekolah di jenjang SD, sementara ibunya putus sekolah saat SMA agar adik-adiknya dapat terus sekolah.

Kendati tidak bisa banyak membantu secara finansial, sang papa dan mama baginya punya peran penting dalam mendukung secara emosional hingga pendidikannya.

"Mereka sadar tidak bisa banyak membantu secara finansial, tetapi mereka selalu memberikan saya dukungan emosional, nasihat yang ampuh agar saya tidak berkecil hati, dan membebaskan saya dalam membuat pilihan. Mereka menekankan pendidikan itu penting," tutur Ira.

"Papa saya sering bilang, 'kalau tidak bisa menari, jangan salahkan lantai,' kalau Mama saya selalu bilang, 'dicoba aja, Kakak kan pintar, ikhlas aja.' Nasihat mereka mungkin sederhana, bukan yang fancy banget terdengarnya. Tapi saya selalu merasa dipercaya untuk menavigasi, tidak hanya hidup saya, tapi juga keluarga saya ke arah yang baik," imbuhnya.

Ira bercerita, sang papa juga selalu selalu berusaha mengantarkannya ke berbagai kegiatan, seperti mengajar dan terkadang ke kantor.

"Dulu waktu SPG pun diantar pakai motor malam-malam subuh-subuh. Intinya, memang nggak banyak bantu secara finansial, tapi selalu ada buat saya secara tenaga dan emosional. Itulah keluarga, bukan?" kata Ira.

"Mereka mempercayakan arah pendidikan, karir, dan keuangan pada saya sepenuhnya. Tentu memang karena mereka merasa tidak punya kapasitas untuk memberi nasihat terkait hal tersebut. Tapi saya juga selalu informasikan apa yang saya lakukan dan mereka selalu dukung," tuturnya.

Tumbuh dewasa, ia berprinsip 'melepas sepatu masalah diri ketika sedang di dalam rumah.' Alih-alih langsung menceritakan masalah diri pada kedua orang tuanya, ia terlatih berusaha menyelesaikan masalah sendiri dulu.

Melawan Kemiskinan Struktural

Sambil menempuh pendidikan hukum, Ira menyadari adanya kemiskinan struktural yang ia alami dan membayangi di sekitarnya. Menyuarakan kesenjangan ini, ia pun aktif memilih ikut lomba-lomba debat yang kerap mengasah tema ketidakadilan dan ketimpangan.

"Itu sesuatu yang aku yakin aku cukup aware, tidak hanya karena aku mengalaminya secara langsung, tapi juga karena aku bergerak dengan berbagai kampanye terkait hal tersebut," tuturnya.

Untuk itu, sambil kuliah, ia juga mendirikan organisasi EstafetKebaikan pada 2018, yang berfokus pada pendanaan pendidikan anak-anak jalanan dan menggelar lokakarya kecakapan (skill workshops) gratis. Harapannya, anak-anak di sekitarnya sadar bahwa dirinya berharga.

Dari pengalaman hidup dan pendidikan, Ira memantapkan diri International Education Policy Analysis/International Comparative Education (ICE/IEPA) di Graduate School of Education (GSE) Stanford University.

"(Karena) gabungan antara pengalaman pribadi yang merasa sangat terbantu dengan pendidikanβ€”membantu saya mendapatkan jenjang karir yang baik, pengalaman saya sebagai pengajarβ€”mempertemukan saya pada ratusan murid luar biasa dan banyak orang tua murid yang sangat baik hati, membantu memperbaiki kondisi ekonomi saya," jelas Ira.

"Dan terakhir pekerjaan saya sebagai ahli hukum yang saat ini bekerja di sektor pendidikan. Di mana isu-isu ketertinggalan dan ketimpangan pendidikan sangat dekat di telinga. Saya merasa harus bisa punya pengetahuan yang lebih kontekstual terkait pekerjaan saya, jadi kontribusi saya bisa lebih luas dari ilmu hukum yang notabene memang tidak akan mungkin berdiri sendiri. Saya mau belajar designing policies, yang tidak hanya inovatif, tetapi juga akomodatif dan tidak meninggalkan kaum marjinal, baik guru maupun murid di daerah 3T," imbuhnya.

Ira menambahkan, program studinya di Stanford tersebut memungkinkan dirinya untuk bisa mengambil kelas dari Stanford Law School, Stanford Business Schools, dan seterusnya jika kelas tersebut dirasa menarik atau bahkan relevan dengan tugas akhir yang ingin dibuat (master's paper).

Melawan Stigma Diversity Hire & Afirmasi

Di tengah ucapan turut berbahagia dan pertanyaan terkait beasiswa, ada juga netizen menilai bahwa diterimanya Ira di Stanford untuk semata "memenuhi diversity hire".

Ungkapan diversity hire secara implisit mengartikan bahwa seseorang semata-mata diterima karena memiliki latar belakang tertentu yang memenuhi syarat keberagaman (diversity) pada institusi tersebut, bukan karena ia berkualitas.

Menyikapi anggapan diversity hire ini, Ira berharap calon pelamar beasiswa seperti dirinya dulu tidak berkecil hati dan tetap tenang.

Ira menjelaskan, diversity statement pada pendaftaran S2 di kampus luar negeri, seperti di kampusnya, bukan bersifat opsional, tetapi wajib diberikan oleh setiap pendaftar. Ia menambahkan, diversity statement berfungsi memastikan agar satu angkatan di prodi yang sama terbentuk terdiri dari orang-orang dengan pengalaman profesional masing-masing, yang unik dan miliki perspektif yang beragam, tetapi memiliki passion yang sama di bidang pendidikan.

"Jadi tenang saja, mungkin netizen hanya kurang paham tentang konsep dan fungsi "'diversity statement'! Though, aku bersedia menjelaskan tentang hal-hal yang sifatnya memang pengetahuan spesifik seperti ini. Aku tau mendaftar Master di luar negeri adalah privilege, I will certainly pay it forward dengan membagi sebanyak apapun ilmu yang aku tahu," tutur Ira yang kerap membagikan tips seputar beasiswa dan kuliah di Instagram @irawatiputeri.

Terkait afirmasi dalam penerimaan mahasiswa dan beasiswa, Ira menuturkan, beasiswa pun ada yang berfokus pada prestasi, pembiayaan pihak yang tidak mampu, atau menggabungkan keduanya. Baginya, dua opsi tersebut sama-sama merupakan cara untuk menyelesaikan isu ketimpangan struktural yang kompleks.

Ia menuturkan, kendati isu yang diselesaikan berbeda, tetapi masih dalam 1 payung tujuan yang sama, yakni berupaya menyelesaikan ketimpangan dan menghargai prestasi anak bangsa.

Menyiapkan Biaya S2 dengan Beasiswa

Ira mendaftar ke sejumlah perguruan tinggi untuk jenjang S2-nya tersebut, mulai dari Stanford University, Cornell University, hingga University of Pennsylvania.

Ia menjelaskan, biaya pendaftaran dapat beragam sesuai jurusan. Di kampus tujuannya sendiri di Amerika Serikat, berlaku syarat TOEFL yang juga butuh biaya untuk mengikuti tesnya. Namun, tidak ada syarat tes Graduate Record Examinations (GRE).

Untuk membiayai pendaftaran hingga tes TOEFL, Ira pun menabung dari penghasilannya bekerja.

"(Biaya pendaftaran) ini tergantung jurusan mungkin ya. Tapi per sekolah itu biaya pendaftarannya sekitar Rp 1,5 juta rupiah. Tenang, aku juga kerja kantoran 5 tahun dulu untuk bisa menabung mempersiapkannya. Jadi, jangan dilihat serta merta atau keburu terintimidasi dengan berapa besar yang harus disiapkan," kata Ira.

"It takes time, tapi masih mungkin, tergantung bagaimana cara kita menyiapkannya. Aku punya banyak prioritas keuangan lain, seperti pengeluaran sehari-hari keluargaku, biaya kuliah dan sekolah adik, dan lain sebagainya. Jadi aku baru memutuskan, 'oke ini masih ada spare nih bisa dipakai untuk siap-siap S2' juga baru-baru ini. Tenang saja. Ingat, jangan langsung lihat hasil," imbuhnya.

Menjalani tes TOEFL beberapa kali, Ira pun tidak patah arang untuk terus mencoba. Agar bisa tes kembali, ia juga menabung untuk menutupi biaya TOEFL iBT di Educational Testing Service (ETS).

"Untuk test bahasa sekitar Rp 3 juta rupiah per 1 kaliest. Pesanku, siapkan diri sebaik-baiknya, supaya tidak perlu mengulang. Tapi kalau harus mengulang, sabar dan tetap tenang, aku sendiri harus ulang sampai 5 kali. Aku compensate dengan lebih banyak ambil tawaran ngajar les private di luar kerjaan kantor agar bisa nutup biayanya," jelas iria.

Dalam unggahan Instagram @lpdp_ri beberapa waktu lalu, awardee beasiswa LPDP diharapkan sudah berpengalaman profesional dan dapat menabung sebelum menjadi penerima beasiswa karena pendanaan LPDP bersifat pengajuan dan reimbursement.

Mengamini hal ini, bagi Ira, pengalaman profesional dapat membantu pelamar beasiswa menavigasi arah dan tujuan pendidikan tingginya.

"Aku setuju, menabung itu penting. Tapi pengalaman professional juga akan bikin calon awardee lebih tau "kenapa dia mau ambil master" "kenapa di kampus tersebut" "kenapa penting untuk karirnya." Jadi jangan skeptis dulu menyikapi persyaratannya," ucapnya.

Ira menuturkan, dirinya pun setuju dengan pentingnya menabung dalam rencana lanjut pendidikan tinggi. Untuk itu, setelah lulus S1 dan memiliki penghasilan, ia terkadang mengambil kerja sambilan dan berstrategi dalam mengelola keuangan sehari-hari.

"Kalau dari segi keuangan, di luar pekerjaan utamaku di kantor, aku juga masih aktif mengajar, kadang isi acara sebagai narasumber dan dari sana dapat honor juga. Aku cukup menerapkan hidup hemat secara umum dan cari trip murah atau solo travel kalau jalan-jalan," ceritanya.

"Pelan-pelan bisa kok nabung. Tapi memang butuh waktu saja. Oiya, aku biasa kasih uang bulanan ke Mama supaya Mama bisa masak, nah itu bikin hemat, jadi kami makan di luar agak jarang. Hehehe," pungkasnya.




(twu/nwk)

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads