Prilly Latuconsina membahas topik Selebritas dan Media saat kembali mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (10/11/2022). Di mata kuliah Kajian Selebritas tersebut, salah satu mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi UGM menanyakan efektivitas pengaruh TV terhadap masyarakat bagi selebritas maupun pengiklan, khususnya setelah pindah dari analog ke TV digital.
"Masih (efektif), sangat masih. Apalagi kalau targetnya di daerah gitu ya," kata Prilly tentang pengaruh TV bagi selebritas maupun pengiklan.
Ia menuturkan, perbedaan konsumsi, gaya hidup, hingga sinyal internet memengaruhi masih besarnya pasar TV bagi brand dan selebritas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di saat kita membicarakan traditional media dan modern media, harus lihat kedudukannya seperti apa," katanya. "Di daerah itu, untuk dapat sinyal saja kadang susah. Enggak semua orang pakai smartphone yang bagus. Jadi dia bisa mendapatkan berita secara full itu lewat TV."
Ia menuturkan, ketika selebritas dan brand menginginkan berita terkait pihaknya tersebar luas ke seluruh Indonesia, maka TV menjadi media yang dapat masif memberitakannya.
"Kalau kamu kerja di produk yang maunya tersebar massive, kamu kerja misalnya di tokoh politik yang harus mengambil hati orang-orang daerah, enggak cuma Jaksel, pasti perlu TV. Atau selebritas kerja di satu brand yang target marketnya daerah, misalnya brand deterjen. Enggak mungkin brand deterjen maunya dipakai sama orang Jakarta doang, mesti mau se-Indonesia. Nah itu pasangnya di TV," kata Prilly.
"Karena itu masih banyak di TV yang pasang iklan, masih banyak infotainment di TV yang tayangin itu," sambungnya.
Prilly mencontohkan, ibu-ibu di daerah yang akan lebih mengenal selebriti yang bermain di program televisi.
"Kalau kita sebut, kenal nggak Bu, Shireen Sungkar? Cinta Fitri panjang banget tuh, ya kan. Pasti kenal. Karena munculnya di TV. Jadi sebelum menentukan media mana yang mau kita bayar, yang mau kita gunakan, kita tentukan market, mau ambil hati seluruh masyarakat sampai ke daerah, atau hanya pengen ke market-market eksklusif, seperti market tongkrongan anak Jaksel, A class aja, kalangan international school," jelas Prilly.
Ia menjelaskan, penggunaan TV sebagai media beriklan mungkin tidak lagi relevan untuk sejumlah pasar eksklusif.
"Kalau mau beritanya tersebar di kalangan terbatas aja, anak-anak Jaksel aja, enggak mungkin di TV. Karena anak Jaksel which is literally enggak mungkin nonton TV. Mereka pasti nontonnya Netflix, Amazon Prime, enggak mungkin. Bahkan platform lokal saja mungkin belum tentu mereka nonton," tuturnya.
"Jadi tergantung target market. Misal, kamu kerja di salah satu produk yang targetnya anak Jaksel aja. Jangan pernah bayar TV, percuma budgetnya dihambur-hamburkan buat TV karena anak Jaksel atau kalangan niche market itu enggak nonton TV ya dari data. Sebab setiap TV, setiap media, punya data siapa yang baca, wilayahnya di mana," sambung Prilly.
Prilly mengaku, ia sendiri memilih lebih dikenal luas di Indonesia. Bagi Prilly, dikenal secara luas memungkinkannya lebih berdampak..
"Makanya aku masih ada di infotainment, di TV juga masih isi-isi acara yang lucu-lucu, Lapor Pak kek, OVJ kek. Karena saya suka bekerja di industri ini, dan saya nggak mau mengkotak-kotakkan image saya hanya untuk market ini, lalu enggak dikenal sama daerah," katanya.
Bagi Prilly, dikenal secara luas memungkinkannya lebih berdampak.
"Lebih impactful, misalnya saya jadi bisa campaign di daerah pelosok, di sana kenal saya. Kalau enggak kenal, 'Siapa sih ni yang dateng?' Nah saya masih memilih jalan karier ini. Presscon film saya (contohnya), saya undang semua infotainment karena saya pengen film saya ditonton sama orang-orang di daerah juga," sambungnya.
"Jadi tentukan objectives-nya, tujuannya, lalu tentukan medianya. Jadi kalau ditanya masih berpengaruh apa enggak TV, masih banget, dan besar banget. Enggak akan mati ya menurut aku," pungkas Prilly Latuconsina mengakhiri kelas.
(twu/nwk)