Urai Masalah Kematian Bayi, Mahasiswa ITS Rancang Alat Ini

ADVERTISEMENT

Urai Masalah Kematian Bayi, Mahasiswa ITS Rancang Alat Ini

Trisna Wulandari - detikEdu
Jumat, 14 Okt 2022 11:00 WIB
Najla Rasikha Putri Harza, mahasiswa ITS penggagas oksimeter janin non-invasif Fetox untuk turunkan angka kematian bayi karena birth asphyxia.
Najla Rasikha Putri Harza, mahasiswa ITS penggagas oksimeter janin non-invasif Fetox untuk turunkan angka kematian bayi karena birth asphyxia. Foto: Dok. Djarum Foundation
Jakarta -

Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Najla Rasikha Putri Harza menciptakan alat untuk mengurangi kasus kematian bayi. Ia semula mencari tahu tentang angka kematian bayi untuk tugas kuliahnya di Departemen Teknik Biomedik, Fakultas Teknologi Elektro dan Informatika Cerdas ITS.

Ia menuturkan, berdasarkan data World Health Organization (WHO), 23% kematian bayi yang baru lahir disebabkan oleh birth asphyxia atau asfiksia saat atau sesaat setelah kelahiran.

Asfiksia terjadi saat otak bayi dan organnya tidak mendapat cukup oksigen (hipoksia) dan nutrisi sebelum, selama, atau tepat setelah lahir.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada kasus dengan tingkat keparahan lebih rendah, hipoksia berisiko menyebabkan efek fisiologis. Di kasus dengan keparahan tinggi, hipoksia berisiko menyebabkan kematian bayi karena kerusakan otak dan organ, yang disebut birth asphyxia.

Najla menambahkan, berdasarkan Data Dinas Kesehatan Jatim mendapati bahwa 25% angka kematian bayi per tahun di Jawa Timur, provinsi tempatnya berkuliah, disebabkan oleh birth asphyxia.

ADVERTISEMENT

Sementara itu, data Badan Pusat Statistik Jatim 2016 menunjukkan bahwa angka kematian bayi di Jember merupakan salah satu yang tertinggi di Jatim, yaitu 5.019 bayi pada tahun 2016.

Merespons masalah kematian bayi di tengah masyarakat, Najla pun menggagas solusi yang ia harap bisa digunakan para ibu hamil di rumah agar dapat menjaga buah hati dalam kandungan.

Dari bangku kuliah, gagasan tersebut turut dibawa peraih Djarum Beasiswa Plus angkatan ke-37 ini ke Writing Competition Beswan Djarum 2021/2022, kompetisi karya tulis bagi Beswan Djarum, penerima beasiswa Djarum Beasiswa Plus angkatan 2021/2022.

Dari 200 lebih karya tulis para Beswan Djarum yang masuk, gagasan Najla menjadi Pemenang I Kategori Eksakta.

Program Manager Bakti Pendidikan Djarum Foundation Abraham Delta Oktaviari menuturkan, lewat tema Masa Depan ke-Indonesia-an, kompetisi tahun ini menantang para Beswan Djarum untuk menggagas solusi terhadap berbagai isu di Indonesia berdasarkan keilmuan yang sedang ditekuni.

Harapannya, para mahasiswa bisa berkontribusi pada masyarakat dan bangsa dengan menuangkan gagasan dalam bentuk karya tulis, merepresentasikan kualitas berpikir kreatif dan inovatif, yang kemudian diuji melalui ajang kompetisi.

Seperti apa proses Najla merancang gagasannya untuk jadi solusi bagi ibu di Indonesia?

Alat Invasif ke Non-invasif

Berdasarkan penelusurannya, Najla mendapati bahwa metode pemeriksaan kondisi janin yang umum digunakan saat ini menggunakan teknologi cardiotocography (CTG).

CTG bekerja dengan memonitor hubungan temporal antara kontraksi rahim dengan detak jantung janin (fetal heart rate atau FHR). Dari hubungan kontraksi rahim dan detak jantung janin, dokter akan menginterpretasikan kondisi SpO2 pada janin.

Metode CTG memperkirakan bahwa detak jantung janin yang menurun perlahan setelah kontraksi uterus merupakan tanda hipoksia janin.

Alat ini bersifat invasif karena memasukkan elektroda ke rahim ibu dan menempelkannya ke kulit kepala bayi. Di sejumlah kasus, kepala bayi yang lahir mengalami luka karena penggunaan CTG.

Metode CTG juga hanya bisa dilakukan sesaat sebelum persalinan dan setelah ketuban pecah. Karena itu, komplikasi yang terjadi sebelum waktu persalinan sulit dideteksi.

Mengurangi efek samping CTG, mahasiswa dari Rice University, AS mengembangkan metode minimal invasive bernama WombOx untuk mengukur saturasi oksigen pada janin.

WombOx menggunakan metode endoskopi untuk memasukkan emitter LED dan detektor yang dikemas berbentuk tabung oksimeter ke dalam rahim. Kekurangannya, prosedur WombOx masih bersifat invasif kendati dalam skala minimal.

Berangkat dari tinjauan atas metode-metode di atas, Najla pun menggagas Fetal Oximeter atau Fetox, sistem terintegrasi non-invasif untuk mendeteksi hipoksia kandungan di rumah. Bentuknya seperti belt atau ikat pinggang yang dipasang ke perut ibu, terhubung dengan control board dan software di komputer.

Selanjutnya cara kerja Fetox>>>

Fetox untuk Janin Ibu Hamil dan Cara Kerjanya

Najla menuturkan, Fetox adalah gagasan berupa alat oksimeter janin yang bersifat non-invasif agar dapat digunakan secara aman dan portable di mana saja.

Ia menjelaskan, alat ini menggunakan metode Optode Control and Fetal Signal Extraction Algorithm. Metode ini menangkap sinyal gabungan dari ibu dan janin. Lalu, algoritma ekstraksi akan memisahkan sinyal janin dan menghasilkan informasi terkait tingkat dan status SpO2 janin.

Ilustrasi pemasangan Fetox pada ibu hamil.Ilustrasi pemasangan Fetox pada ibu hamil. Foto: Fetox

"Fetox ini terdiri dari dua sistem, hardware dan software. Di hardware ada detector band untuk mendeteksi hipoksia, lalu ada control board untuk mengatur besar foton (cahaya) dan memproses sinyal, lalu software fetal extraction program untuk mengecek apakah kondisi saturasi oksigen janin baik," jelas Najla dalam wawancara bersama pemenang Writing Competition Beswan Djarum 2021/2022.

Ia menerangkan, detector band terdiri dari komponen utama berupa emitter dan detektor. Emitter merupakan komponen LED yang memancarkan cahaya infrared untuk mengemisikan foton (cahaya) ke dalam jaringan tubuh.

Cara kerja Fetox untuk janin.Cara kerja Fetox untuk janin. Foto: Fetox

Emitter yang digunakan yaitu LED 560 mW untuk panjang gelombang dekat (near infrared/NIR) dan LED 1400 mW untuk panjang gelombang jauh (far infrared/FIR).

Hasil pantulan foton terhadap jaringan akan ditangkap oleh detektor dalam bentuk sinyal photocurrent atau sinyal listrik cahaya. Digunakan tiga buah detector yang optimal digunakan pada setiap ketebalan jaringan, yaitu varian source-to-distance (SD) 0,5; 1,5; 7,5 dengan kemampuan investigasi kedalaman jaringan hingga 5 cm.

Najla menggarisbawahi, pemilihan panjang gelombang foton sendiri sangat krusial untuk diperhatikan karena akan mempengaruhi kinerja Fetox dalam mendeteksi SpO2. Berdasarkan penelitian Mannheimer dkk., panjang gelombang foton 735 nm (jauh) dan 900 nm (dekat) efektif untuk pengukuran pada kondisi SpO2 rendah. Sementara itu, panjang gelombang 660 nm (jauh) dan 900 nm (dekat) bisa digunakan untuk kondisi SpO2 tinggi.

Lalu, control board berfungsi untuk mengontrol kerja detector band dan melakukan ekstraksi sinyal janin. Control board terdiri dari integrated circuit (IC), analog-to-digital converter (ADC), dan mikrokontroler.

Ia menerangkan, control board mengontrol besar dosis foton yang dipancarkan oleh emitter serta durasi pancaran ke bagian perut Ibu. Sinyal photocurrent atau aliran listrik cahaya dari pantulan foton punya voltase sinyal yang kecil sehingga harus diamplifikasi pada IC.

Sinyal photocurrent akan diteruskan ke ADC untuk dikonversikan menjadi sinyal digital yang siap diproses pada mikrokontroler. Mikrokontroler diprogram untuk melakukan proses filtrasi sinyal dari noise dan ekstraksi sinyal janin dari sinyal campuran Ibu dan janin.

Data akhir SpO2 berupa grafik sinyal akan divisualisasikan dalam bentuk grafik kondisi SpO2, tingkat SpO2, dan status kondisinya. Kondisi SpO2 normal pada janin bernilai 40-70%, sementara level kritis dari hipoksia di bawah 30%.

Jika Fetox mendeteksi tingkat SpO2 janin di bawah 30%, maka di layar akan muncul peringatan kondisi janin sedang kritis.

"Jadi kalau buat tepat waktu, saran waktu (Fetox) digunakan di trimester akhir, karena ini masa rentan hipoksia bayi lahir mati," tutur Najla.

Menerapkan Rancangan Fetox

Najla menuturkan, gagasan Fetox kini memasuki tahap prototipe. Rencananya, pilot program Fetox di Jember bisa mendistribusikan 50 alat Fetox ke faskes. Berdasarkan rekomendasi tenaga kesehatan, alat dapat dipinjamkan pada ibu hamil yang berisiko hingga melahirkan.

Dengan demikian, Fetox diproyeksikan dapat mengurangi 38,27% angka kematian bayi karena asfiksia per tahun dan 9,56% angka kematian bayi secara umum di Jember.

Sementara itu, untuk menurunkan risiko efek fisiologis bagi bayi yang lahir hidup, peran pengawasan dokter tetap penting dalam penggunaan Fetox di rumah.

"(Risiko efek fisiologis) Ini juga dipengaruhi oleh next step (yang diambil ibu dan tenaga medis), apa tindakan medis jika terdeteksi (hipoksia). Karena (Fetox) ini (berfungsi) deteksi, selanjutnya perlu ditindaklanjuti apakah perlu obat atau terapi di dokter, apa tindakan medis selanjutnya," terang Najla.

Najla menuturkan, ibu pun diharapkan bisa mendapat pinjaman alat Fetox dengan regulasi dan penjadwalan oleh instansi terkait.

Ia memperkirakan, harga satu unit Fetox berkisar Rp 2 juta. Mengingat adanya potensi kurang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, ia memproposisikan adanya kerja sama dengan Kementerian Kesehatan, dinas kesehatan daerah, maupun rumah sakit untuk mendukung ketersediaan alat bagi ibu yang terkendala biaya.

Fetox direncanakan beredar pada 2024, setelah melalui rangkaian pengujian pada 2023.

"Harapannya, disebarkan ke lebih banyak faskes, agar lebih efektif tekan kematian bayi," pungkasnya.


Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads