Agus Sutikno, merupakan lelaki berumur 43 tahun yang memiliki penampilan badan penuh tato. Pria yang berprofesi sebagai pendeta di Gereja Pantekosta di Indonesia (GpdI) ini bukan pendeta biasa. Ia kerap disebut sebagai pendeta jalanan karena aksinya mengabdi untuk nasib anak jalanan, PSK, transgender, pecandu narkoba bahkan orang-orang pengidap HIV/AIDS yang ada di Kota Semarang.
Penampilan Agus berbanding terbalik dengan pendeta pada umumnya. Ia berambut panjang, berdandan layaknya preman jalanan dengan seluruh tato di sekujur tubuhnya sampai berpakaian rocker yang berbalut jaket kulit indian, rantai pinggang, dan memakai sepatu boots.
Awalnya Agus memang bukan orang yang terpandang di wilayahnya, ia berasal dari Probolinggo Jawa Timur. Namun takdir mempertemukan Agus di tahun 2005, awal perjuangannya mengabdi untuk orang-orang kaum marginal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selanjutnya, entah sudah berapa banyak orang yang ia bantu mulai dari anak-anak di wilayah itu yang merasakan genggaman 'tangan tuhan' Agus. Pendidikan merupakan fokus utamanya. Menurutnya pendidikan adalah hak semua anak di Indonesia, termasuk anak-anak kolong jembatan. Selain itu, ia juga menjadi orang tua asuh yang mengajarkan etika dan attitude bagi anak-anak jalanan.
Dengan sebuah bangunan kecil yang berukuran 3x4 meter yang berhimpitan dengan kios-kios penyedia jasa pijat, Agus mendirikan Yayasan Hati Bangsa yang merupakan tempat berkumpulnya para anak-anak terlantar, pekerja seks, dan semacamnya yang bertujuan untuk mendapat bimbingan belajar dan merubah sikap.
Agus paham bahwa kerasnya hidup anak-anak di lingkungan sekitarnya itu seperti kerasnya pengalaman dia ketika hidup di jalanan. Setidaknya tato-tato yang ada di tubuhnya juga menceritakan alur kisahnya.
Agus juga menceritakan awal mula dirinya pindah ke Semarang. Ia melihat banyak anak-anak yang butuh figur yang mau merangkul mereka, mengentaskan mereka, dan mengusap air mata mereka.
Agus setiap harinya berkeliling memberikan pelayanan pada anak-anak yang termarjinalkan di lingkungan kawasan kotor Tanggung Indah, Banjir Kanal Timur (BKT) Kota Semarang. Selain itu, Agus juga memprioritaskan para gelandangan, PSK, pecandu narkoba, dan korban ODHA untuk diperjuangkan kehidupannya.
Perjuangan Agus juga kerap menyentuh para pemuka agama, tidak terkecuali jabatannya sebagai seorang Pendeta Kristen yang memiliki banyak kegiatannya. Menjadi pemuka agama baginya tidak harus tentang memberikan kajian di dalam gereja. Melainkan layak bersosialisasi langsung dengan masyarakat luas.
(fhs/ega)