Demi mencapai keinginan atau cita-cita, pengorbanan pasti dibutuhkan. Tak jarang, pengorbanan turut menyita materi, tenaga, waktu, dan mental di saat bersamaan.
"Mimpi itu tidak gratis, karena mimpi itu bayar. Memimpikannya gratis, tapi mewujudkannya butuh pengorbanan. Baik pengorbanan waktu, tenaga, maupun materi," ujar Nisa Sri Wahyuni, mantan mahasiswa S2 Epidemiologi Imperial College London (ICL) yang belakangan viral.
Nama sosok tersebut santer terdengar setelah dia mengunggah kisah hidupnya bersama sang ayah yang merupakan seorang sopir ojol (ojok online), melalui jejaring profesional LinkedIn.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi Nisa, ayah merupakan sosok yang memberi teladan dalam perjalanan hidupnya. Kedua orang tuanya memberi contoh sikap disiplin untuk dapat mencapai sesuatu. Bahkan dalam keterbatasan ekonomi sekalipun.
Saat dihubungi oleh detikedu, Kamis (24/02/2022), Nisa bercerita kedua orang tuanya dahulu merantau ke Jakarta ketika masih belia dengan hanya berbekal ijazah sekolah dasar (SD).
Mulanya, ayah Nisa bekerja sebagai petugas kebersihan sebuah sekolah. Sementara, ibunya adalah asisten rumah tangga. Dalam segala keterbatasan, mereka berdoa dan berusaha agar anak-anaknya memiliki pendidikan yang lebih baik.
Dengan keuletan, keduanya pun akhirnya mampu memiliki rumah pribadi setelah sebelumnya menumpang di rumah atasan ibu Nisa. Rumah yang mereka pilih pun memiliki filosofi sendiri. Lokasinya harus dekat dari sekolah untuk memudahkan anak-anaknya menuntut ilmu.
"Memang mama maunya kalau ada tempat tinggal tidak jauh dari sekolahan, biar anak-anaknya kalau ke sekolah gampang, tinggal naik angkutan saja," ucapnya.
Nisa mengisahkan, sebetulnya orang tuanya tidak berharap terlalu tinggi atas pendidikan anak-anaknya. Keduanya hanya berharap anak-anaknya punya pendidikan lebih baik. Namun, apa yang dicapainya ternyata jauh melampaui ekspektasi.
Prestasi akademik Nisa konstan baik sehingga ketika mendekati penerimaan mahasiswa baru, gurunya menyarankan untuk mengikuti jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang kala itu disebut sebagai jalur undangan.
Mulanya, dia ingin memasuki jurusan kedokteran. Tetapi dengan latar belakang yang ada, Nisa merelakannya dan mengambil S1 Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) sebagai ganti. Beruntung, Nisa juga memperoleh beasiswa dari pemerintah.
Titik ketika Nisa menjadi mahasiswa sarjana, di waktu itulah dia mulai merintis kepakaran di bidang epidemiologi mulai semester lima. Kehidupan Nisa sangat padat mulai dari belajar sampai menambah uang jajan dengan bekerja part time di salah satu jurnal kesehatan masyarakat, juga mengajar selepas kuliah.
Di sela-sela kepadatan itu, dia masih terus menambah pengalaman lainnya, seperti melakukan kegiatan sosial membangun perpustakaan di Nusa Tenggara Timur, mengikuti program musim panas di Korea Selatan, seminar di Singapura, magang di Kementerian Kesehatan dan lain sebagainya.
"Aku ikut organisasi juga, ikut social activity juga karena basic-nya aku suka dengan kegiatan berbau sosial," kata Nisa.
Meski sudah menabung berbagai pencapaian, Nisa tak serta merta langsung mendaftar kuliah S2. Dia sempat bekerja di dua lembaga yang berbeda di mana pengalaman ini juga akhirnya menjadi suntikan untuk bisa berangkat ke Inggris via beasiswa LPDP (Lembaga Pengelola Dana Keuangan) Kementerian Keuangan.
Ketika bekerja di tahun kedua, perempuan tersebut menginisiasi program layanan kanker dari nol. Gagasannya ini membuahkan sukses sampai akhirnya menyelamatkan sebelas orang pasien. Program tersebut pun diperluas sampai di luar Pulau Jawa.
Prestasi ini meluluhkan Imperial College London (ICL) yang awalnya belum sepenuhnya menerima Nisa sebagai mahasiswa. Sebab, Nisa waktu itu tidak dapat memenuhi syarat nilai IELTS (International English Language Testing System) secara sempurna.
Padahal, Nisa mengaku sudah habis-habisan mengikis seluruh tabungan untuk belajar bahasa Inggris dan mengambil tes IELTS sampai lima kali.
Dalam perjalanan panjangnya ini, Nisa menyebutkan bahwa usahanya dua kali lipat. Sebagai anak muda, banyak waktu bersenang-senang yang dia korbankan.
"Jadi aku mengorbankan waktu-waktu yang sifatnya sosial, tapi sebenarnya aku dapat di organisasi. Sifatnya yang entertaining-lah (yang tidak didapatkan). Aku kehilangan itu karena aku misalnya habis kuliah, aku biasanya pergi ke tempat part-time. Jadi effort-nya dua kali lipat karena aku melakukan aktivitas-aktivitas tambahan," tuturnya.
"Akhirnya aku kehilangan momen-momen bareng teman atau momen-momen me time-ku untuk having fun, tapi bukan berarti aku tidak having fun juga," imbuh Nisa.
Satu hal yang berulang kali ditegaskan olehnya, selama menempuh pendidikannya sampai sejauh ini, ketangguhan adalah kunci.
"Kalo sudah memutuskan sesuatu, aku akan berusaha semaksimal mungkin. Dan kalau ada hambatan, aku bukannya berhenti, tetapi malah tertantang," pungkas alumnus magister Epidemiologi ICL tersebut.
(nah/pal)