Soedjatmoko dikenal sebagai filsuf dan juga cendekiawan terkemuka yang dimiliki oleh Indonesia. Soedjatmoko lahir di Sawahlunto pada 10 Januari 1922. Ia adalah anak kedua dari empat bersaudara.
Ayahnya merupakan seorang dokter bernama Moh. Saleh Mangoendiningrat. Profesi yang ditekuni sang ayah, mengilhami pria yang akrab disapa Bung Koko itu untuk masuk ke Geeneskundige Hogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran). Zaman pendudukan Jepang sekolah ini diganti namanya menjadi Ika Daigaku.
Namun, Bung Koko, akhirnya tidak menamatkan sekolah kedokterannya. Pasalnya Bung Koko enggan melakukan seikerei (membungkuk hormat) pada kaisar Jepang.
"Soedjatmoko pernah tinggal di luar negeri dan kembali ke Indonesia pada usia 7 tahun. Ia tidak menyelesaikan sekolah kedokteran karena protes pada kependudukan Jepang di Jawa," ujar Wakil Direktur Penerbitan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Widjanarko, dalam acara "Mengenang Peninggalan Karya Intelektual Soedjatmoko" secara daring, Senin (10/1/2022).
Adapun cendekiawan, Ignas Kleden, menambahkan alasan mengapa Soedjatmoko berhenti sekolah kedokteran. "Bapaknya pernah bertanya kamu ingin menjadi apa? Bung Koko menjawab saya tidak ingin menjadi dokter untuk seseorang melainkan untuk masyarakat," ujar Ignas.
Ignas juga menambahkan walaupun merupakan bagian dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), Bung Koko tetaplah seorang individualis dalam pemikirannya. Bung Koko seorang individualis dalam pemikiran, paham filsafat manapun, ia tetap jalan ke dalam pikirannya sendiri walaupun dia orang PSI," ujar Ignas.
"Selain itu, Bung Koko juga senang membaca buku-buku para pemikir. Menurut Bung Koko, mereka (para penulis hebat) dan dirinya adalah seseorang yang sama-sama mencari kebenaran," tambah Ignas.
Selain itu, Ignas menceritakan sosok Bung Koko yang ramah dan tidak pandang bulu terhadap siapapun. Menurut Ignas Bung Koko adalah seorang yang sangat menghargai orang lain.
"Waktu saya masih bertugas di Obor Indonesia, tidak semua mereka memiliki penghargaan kepada seseorang yang masih junior. Pak Soedjatmoko sangat menghargai orang-orang yang masih merangkak dari bawah. Ia bisa berbicara dengan serius," cerita Ignas.
Semasa hidupnya, Bung Koko pernah menjadi wartawan hingga ditunjuk jadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Pada 1980, Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa memberinya kepercayaan menjadi Rektor Universitas PBB di Tokyo, Jepang.
Senada dengan Ignas, Ketua Dewan Pengurus LP3ES dan Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, juga mengatakan Bung Koko adalah seorang yang humanis. Hal itu terlihat dari gagasannya yang luas namun dapat merumuskan masalah secara ringkas. "Pemikiran Soedjatmoko sangat relevan dengan ekonom seperti saya walaupun agak jauh bidangnya," ujar Didik.
"Soedjatmoko tidak hanya melihat masalah pembangunan dari segi ekonomi, melainkan juga realisasi nilai historis, kelembagaan, local wisdom, dan seterusnya. Ini sangat relevan dan masih menjadi PR kita," kata Didik.
(atj/kri)