Dewan Profesor Universitas Syiah Kuala (USK) mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menetapkan status darurat bencana nasional untuk bencana Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Permintaan ini disampaikan melalui surat terbuka.
"Surat terbuka terkait percepatan akses dan koordinasi logistik bantuan kemanusiaan internasional ini merupakan bagian dari kontribusi moral dan kemanusiaan," kata Ketua Dewan Profesor USK Prof Izarul Machdar di Banda Aceh, Senin (15/12/2025), dilansir dari Antara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menjelaskan, permintaan ini didasarkan pada jumlah korban jiwa yang telah mencapai sekitar 1.006 orang, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan lembaga media nasional di Aceh Sumut dan Sumbar. Adapun ratusan korban lainnya masih hilang atau menjadi korban luka.
Per Selasa (16/12/2025), angka korban jiwa bencana Sumatera tersebut naik menjadi 1.053 jiwa.
"Data per 16 Desember 2025, total korban meninggal dunia akibat bencana banjir dan longsor di 3 provinsi sebanyak 1.053 jiwa," ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, dalam jumpa pers, Selasa (16/12/2025), dikutip dari detikNews.
Izarul menambahkan, jumlah pengungsi dan warga terdampak mencapai ratusan ribu jiwa. Bencana juga merusak atau menghancurkan puluhan ribu rumah penduduk, fasilitas umum, dan infrastruktur dasar lain.
Sementara itu, koordinasi penyelamatan dan komunikasi darurat dilaporkan terhambat gangguan pascabencana. Layanan telepon seluler dan akses internet juga masih belum optimal dan terbatas. Kondisi ini diperburuk dengan perluasan pemadaman listrik yang masih berlangsung.
Usul Rekomendasi Strategis
Buka Akses Masuknya Bantuan Kemanusiaan Internasional
Pihak Dewan Profesor USK juga mengusulkan 11 poin rekomendasi strategis pada Pemerintah untuk menanggulangi kondisi pascabencana. Selain menetapkan status darurat bencana nasional yang komprehensif, mereka merekomendasikan pembukaan jalur akses transportasi utama, baik bandara, pelabuhan, maupun jalan raya, agar mendukung masuknya bantuan kemanusiaan internasional.
Mereka juga merekomendasikan pendirian Humanitarian Logistics Coordination Center di Aceh. Pusat koordinasi ini disarankan melibatkan BNPB, kementerian terkait, pemerintah daerah, TNI/Polri, dan perwakilan lembaga internasional.
Pusat koordinasi ini dinilai penting untuk sinkronisasi data kebutuhan dan distribusi bantuan.
Permudah Izin Organisasi Kemanusiaan Internasional
Para guru besar juga merekomendasikan penyederhanaan prosedur izin dan clearance bagi organisasi kemanusiaan internasional. Contohnya seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Dana Anak PBB (Unicef), Program Pembangunan PBB (UNDP), Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC), dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).
Penyederhanaan prosedur ini juga direkomendasikan dalam hal efisiensi bea cukai dan karantina barang bantuan.
"Perlu juga mengaktifkan sistem common logistics tracking yang terintegrasi antara pemerintah dan organisasi kemanusiaan, agar aliran bantuan dapat dipantau, direspons, dan dialokasikan secara real-time sesuai kebutuhan di berbagai titik terdampak," ucap Izarul.
Titik Konsolidasi Bantuan
Pihaknya juga meminta optimalisasi pembentukan Aid Staging Areas atau titik konsolidasi logistik di lokasi strategis. Contohnya seperti di Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Bener Meriah.
Titik konsolidasi bantuan digunakan untuk menyimpan, memverifikasi, dan mendistribusikan bantuan baik yang masuk dari dalam maupun luar negeri. Titik ini juga perlu digunakan untuk memprioritaskan pemulihan jaringan komunikasi dan internet, sehingga koordinasi tanggap darurat lebih lancar.
Segerakan Pemulihan Infrastruktur Listrik dan Telekomunikasi
Dewan Profesor USK juga meminta percepatan pemulihan infrastruktur listrik dan telekomunikasi diprioritaskan. Sebab, operasional tanggap darurat, komunikasi koordinasi, serta keberlanjutan ekonomi lokal sangat bergantung pada ketersediaan energi dan konektivitas.
Pemulihan Rute Darat Penghubung ke Daerah Terpencil
Ia juga mengingatkan perlunya percepatan pemulihan akses rute darat yang terputus. Khususnya yakni pada rute yang menghubungkan posko utama dengan wilayah terpencil.
Merespons wilayah yang terisolasi akibat infrastruktur rusak, ia menyerukan pemenuhan ketersediaan transportasi darat, laut, dan udara yang memadai. Termasuk di antaranya yang perlu digunakan yaitu helikopter dan kendaraan berat.
(twu/nwk)











































