Terungkap! Lautan Bumi Ternyata Semula Berwarna Hijau, Bukan Biru

ADVERTISEMENT

Terungkap! Lautan Bumi Ternyata Semula Berwarna Hijau, Bukan Biru

Callan Rahmadyvi Triyunanto - detikEdu
Rabu, 10 Des 2025 07:00 WIB
Terungkap! Lautan Bumi Ternyata Semula Berwarna Hijau, Bukan Biru
Samudra Hindia. Foto: REUTERS/Feisal Omar
Jakarta -

Detikers, Bumi kita mungkin tidak selalu memiliki lautan biru seperti yang kita kenal sekarang. Beberapa miliar tahun lalu, lautan purba justru berwarna hijau. Seperti apa itu? Simak penjelasannya!

Penelitian terbaru menunjukkan pada masa lampau, lautan bahkan mungkin tampak berwarna hijau. Para peneliti dari Nagoya University, Jepang, menemukan bahwa lautan purba bumi bisa memancarkan rona hijau selama lebih dari 2 miliar tahun.

Meskipun Bumi terbentuk sekitar 4,5 miliar tahun lalu, sebagian besar perkiraan menunjukkan kehidupan pertama baru muncul sekitar 800 juta tahun kemudian. Namun, sebelum ada kehidupan, planet ini sudah ditutupi lautan luas dengan sistem ventilasi hidrotermal yang melepaskan besi ferrous dalam jumlah besar ke perairan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Makhluk hidup pertama yang dikenal, cyanobacteria, muncul sekitar 4 miliar tahun lalu. Cyanobacteria yang kita kenal sebagai ganggang adalah salah satu organisme pertama yang melakukan fotosintesis oksigenik. Sementara tanaman modern menggunakan klorofil, cyanobacteria purba juga memanfaatkan pigmen tambahan bernama phycobilin pada antenanya untuk menangkap energi matahari.

ADVERTISEMENT

Bagaimana Lautan Berwarna Hijau?

Kemunculan cyanobacteria ini memicu peristiwa penting sekitar 2,4 miliar tahun lalu yang dikenal sebagai Great Oxidation Event, ketika oksigen mulai menumpuk di atmosfer bumi, membawa perubahan besar bagi evolusi kehidupan.

Dilansir dari laman American Society for Microbiology, peristiwa ini merupakan momen bersejarah dalam garis waktu evolusi dan memiliki konsekuensi serius, tidak hanya terhadap iklim bumi secara tidak langsung, tetapi juga terhadap adaptasi dan evolusi organisme hidup.

Sebuah penelitian yang dipimpin oleh Taro Matsuo dari Universitas Nagoya mengungkap kemungkinan alasan mengapa cyanobacteria menggunakan pigmen tambahan bernama phycobilin. Studi ini juga mengaitkan fungsi phycobilin dengan kondisi spektrum cahaya yang menembus laut pada era Arkean.

Dalam studinya, tim peneliti menggunakan simulasi kimia berbasis komputer yang canggih untuk menelusuri bagaimana spektrum cahaya menembus perairan laut pada era Arkean, sekitar 4 hingga 2,5 miliar tahun yang lalu.

Studi tersebut bertajuk "Archaean green-light environments drove the evolution of cyanobacteria's light-harvesting system" dalam jurnal Nature Ecology & Evolution volume 9, pages 599-612 (2025).

Hasilnya menunjukkan bahwa oksigen yang dihasilkan cyanobacteria berinteraksi dengan kandungan besi di lautan, mengubah besi ferrous menjadi besi ferric yang tidak larut, sehingga membentuk partikel menyerupai karat.

Berbeda dengan besi ferrous, besi ferric menyerap cahaya biru dan merah, sementara cahaya hijau dipantulkan ke air. Akibatnya, lautan purba kemungkinan terlihat hijau bagi mata manusia (jika manusia sudah ada saat itu). Cyanobacteria kemudian terus berevolusi phycobilin untuk menangkap cahaya di tengah lautan hijau ini.

"Analisis genetik menunjukkan cyanobacteria memiliki protein phycobilin khusus bernama phycoerythrin yang efisien menyerap cahaya hijau," ujar Matsuo.

"Kami percaya adaptasi ini memungkinkan mereka bertahan di lautan kaya besi yang berwarna hijau," tambahnya.

Matsuo mengaku awalnya skeptis dengan hipotesis lautan hijau ini. Namun, penelitian lapangan di Iwo Island, Kepulauan Satsunan, pada 2023 menguatkan keyakinannya.

"Dari perahu, kami melihat air di sekitar pulau memantulkan warna hijau khas akibat hidroksida besi, persis seperti yang saya bayangkan tentang Bumi purba," kata Matsuo.

Fenomena serupa juga terlihat pada cyanobacteria modern di Iwo Jima, Jepang, di mana air kaya besi oksidasi berwarna hijau. Cyanobacteria di perairan ini memiliki tingkat pigmen hijau lebih tinggi, memungkinkan mereka menangkap cahaya hijau secara efektif.

Dalam kondisi laboratorium, cyanobacteria rekayasa genetika yang memanfaatkan cahaya hijau (phycoerythrobilin) juga tumbuh subur di tangki air hijau, menegaskan adaptasi ini.

"Data penginderaan jauh menunjukkan bahwa perairan yang kaya akan hidroksida besi, seperti yang terdapat di sekitar Pulau Iwo di Kepulauan Satsunan, tampak jauh lebih terang dibandingkan dengan lautan biru biasa," jelasnya.

"Hal ini membuat kami berpendapat bahwa lautan hijau mungkin dapat diamati dari jarak yang lebih jauh, sehingga lebih mudah dideteksi," kata Matsuo.

Penulis adalah peserta program MagangHub Kemnaker di detikcom.




(nah/nah)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ranking PTN

Berikut daftar 5 Perguruan Tinggi terbaik Indonesia
Hide Ads