Sejumlah pakar telah menyinggung kerusakan lingkungan sebagai bagian dari penyebab banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar).
Kerusakan lingkungan di Sumatera, berkaitan erat dengan laju deforestasi yang tinggi serta konversi lahan di daerah tangkapan air, khususnya di wilayah Bukit Barisan. Hal ini disampaikan oleh Kepala Program Studi Magister dan Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) dan Transportasi ITB, Saut Aritua Hasiholan Sagala, ST, MSc, PhD.
Ia menerangkan, pembukaan lahan dan alih fungsi hutan di wilayah hulu mengakibatkan bentang alam di daerah aliran sungai (DAS) kehilangan kemampuan menyerap air. Sehingga saat terjadi hujan ekstrem dan ditambah siklon tropis seperti beberapa waktu lalu, lahan terbuka mendorong limpasan air (run off) meningkat drastis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kecepatan aliran air ditambah kemiringan lereng, tak cuma membawa volume air yang besar, tetapi juga material berat seperti kayu gelondongan dan sedimen ke pemukiman di wilayah hilir.
Perlu Moratorium dan Reboisasi di Wilayah-wilayah Gundul
Saut mengatakan penguatan tata ruang merupakan salah satu kunci pencegahan bencana hidrometeorologi ke depannya. Ia menggarisbawahi pentingnya penerapan analisis risiko dalam mengambil keputusan, terutama untuk wilayah hulu dan hilir yang saling terkait secara ekologis.
Dalam ilmu PWK, setiap alih fungsi lahan dihitung eksternalitasnya, yakni dampak yang diciptakan di luar lokasi izin, khususnya ke wilayah hilir. Integrasi pendekatan tersebut, ia menilai, dapat membantu memastikan pembangunan berjalan selaras dengan aspek keselamatan publik serta sustainabilitas lingkungan.
Saut menyorot beberapa langkah rehabilitasi dan penguatan kebijakan yang perlu segera dilakukan pemerintah. Prioritas utamanya adalah peninjauan ulang tata ruang untuk mengubah zonasi di daerah berisiko tinggi, seperti sempadan sungai yang harus dibebaskan dari pemukiman.
Ia juga menyebut pemerintah perlu memberikan moratorium dan melaksanakan reboisasi di wilayah-wilayah yang gundul.
Saut menyerukan supaya pembangunan mengadopsi kerangka ekologi politik, yakni setiap pemberian izin dan pembangunan harus dengan perhitungan cost-benefit yang jujur, memperhatikan risiko ekologi jangka panjang tak terkecuali dampaknya terhadap perubahan iklim, serta memastikan manfaat ekonomi tidak cuma sesaat.
Saatnya Beralih dari Ketergantungan terhadap APBN
Saut menilai pemerintah harus meninggalkan ketergantungan tunggal pada APBN dan beralih ke strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana (PARB), sebagai solusi risiko kerugian finansial tahunan yang capai puluhan triliun.
"APBN saja tidak akan pernah cukup untuk menutupi potensi kerugian tahunan yang bisa mencapai Rp50 triliun, belum lagi ada ancaman seperti climate change. Kita perlu masukkan itu dalam skenario model kita sehingga kita bisa mengatakan kalau terjadi seperti ini kita sudah punya pembiayaan," jelasnya, dikutip dari ITB pada Minggu (7/12/2025).
Penerapan transfer risiko telah dimulai dengan program asuransi Barang Milik Negara (BMN), yakni aset-aset pemerintah seperti bangunan dan jembatan diasuransikan.
Kebijakan semacam ini memastikan aset negara terlindungi secara ekonomi. Sehingga, fokus dana pemerintah dapat dialihkan ke sektor-sektor yang belum tercakup, terutama masyarakat.
Mengenai mekanisme pooling fund bencana (PFB), Saut menilai dana bersama ini tidak akan langsung mengurangi ketergantungan pada APBN dalam waktu dekat lantaran porsi terbesar tetap ada di APBN.
Kendati begitu, PFB berfungsi sebagai penguat pendanaan yang ada, mengisi kekosongan fiskal, dan mengatasi kelambatan administrasi yang kerap terjadi dalam penyaluran dana APBN.
Ia menegaskan PFB harus secara integral dikaitkan dengan pemodelan risiko yang komprehensif untuk memastikan efektivitasnya menutup celah pendanaan. PFB harus mempunyai fleksibilitas untuk mendukung keragaman tingkat ekonomi masyarakat.
"Bagi kelompok yang mampu, mekanisme ini dapat mendorong mereka membeli asuransi untuk perlindungan diri, sementara bagi masyarakat miskin atau ekstrem, PFB dapat membantu melalui skema subsidi atau bantuan langsung," ungkapnya.
Kemudian, perlu diterapkan unsur edukasi dalam PFB untuk meningkatkan kemampuan mitigasi di tingkat komunitas dan mendorong masyarakat memilih lokasi tinggal yang aman, Ia menekankan PFB berfungsi sebagai mekanisme yang memperkuat pendanaan yang sudah ada demi meningkatkan ketahanan bangsa menghadapi bencana.
(nah/nwk)











































