Orang tua sering kali mengabulkan permintaan anak atas dasar frustrasi atau kasih sayang. Namun, pola asuh dengan memanjakan anak bisa jadi kurang memberi ketegasan pada anak. Bagaimana menurut pakar?
Pola asuh yang sering mengandalkan alasan kasih sayang kepada anak, seperti memanjakan, disebut juga dengan pola asuh permisif. Pola asuh ini digambarkan sebagai gaya pengasuhan yang menekankan kehangatan tetapi kurang terstruktur, demikian melansir Psychology Today.
Biasanya, orang tua yang memakai pola asuh permisif cenderung ingin menjaga ketenangan di rumah. Namun, mereka sering kali kesulitan menegakkan aturan atau batasan yang tegas.
Contohnya dalam hal bermain gadget tanpa batasan waktu. Alih-alih membuat anak tenang dan diam, justru bisa membuat anak tidak terlibat dalam koneksi dengan orang tuanya. Contoh lain, membiarkan anak tidak terlibat dalam pekerjaan rumah sehingga kurang tercipta kedisiplinan.
Kondisi tersebut membuat anak bingung dan bisa berkembang tanpa nilai-nilai dan kebiasaan dengan batasan jelas.
"Seiring waktu, pendekatan yang tidak melibatkan anak ini dapat membuat anak-anak tidak yakin akan harapan dan tidak jelas di mana batasan dimulai dan berakhir," kata psikolog asal Amerika Serikat, Lisa Liggins-Chambers, PhD, dikutip dari Psychology Today.
Faktor Media Sosial dan Influencer
Lisa menerangkan, pola asuh permisif atau terkesan memanjakan ini diperparah dengan konten-konten media sosial. Terlebih dengan banyaknya pemengaruh atau influencer yang kerap memamerkan hubungan anak dan orang tua yang tenang dan damai, tanpa diperlihatkan konflik-konfliknya.
Akibat dari maraknya konten tersebut, orang tua modern menjadi takut untuk memberi ketegasan kepada anak. Mereka, secara pribadi, takut dihakimi dengan pola asuh yang tidak terkesan modern.
"Orang tua mungkin meniru perilaku-perilaku ini, menganggapnya modern dan progresif, dan mungkin takut dihakimi jika mereka memaksakan batasan atau berkata "tidak" kepada anak-anak mereka secara daring," ungkapnya.
Menurut Lisa, selain media sosial faktor yang berkontribusi terhadap tren pola asuh memanjakan ini, termasuk perbedaan generasi. Beberapa dari orang tua tidak sadar menerapkan pola asuh permisif karena mereka dulunya dididik dengan pola asuh yang tidak konsisten dan tidak memperhatikan sisi emosional.
Selain itu, orang tua yang mengalami depresi, kecemasan atau stres kronis juga sulit untuk menerapkan pola asuh yang mengharuskan mereka hadir secara emosional, konsisten, dan terlibat.
Dengan berbagai faktor tersebut, banyak orang tua kemudian salah mengartikan antara lemah lembut dan kelonggaran, sehingga menganggap batasan dan larangan bukanlah bentuk kasih sayang.
Dampak dari Pola Asuh Permisif
Lisa mengatakan bahwa pada dasarnya anak-anak memerlukan batasan konsisten supaya mereka merasa aman dan mampu mengembangkan keterampilan hidup. Adanya pola asuh permisif justru bisa berdampak jangka panjang, yang dirasakan anak sampai dewasa.
Tanpa batasan yang jelas anak akan mengalami:
- Kesulitan mengendalikan pikiran, emosi dan tindakan.
- Kesulitan untuk mengambil keputusan dan mengelola rasa frustrasi.
- Mengalami kecemasan berlebih dan terlalu bergantung pada orang lain.
- Mengalami permasalahan dalam hubungan karena merasa tidak aman dan suka menghindar.
Anak-anak akan menumbuhkan apa yang ditanamkan orang tua mereka sejak kecil. Mereka yang ditanamkan sikap konsisten cenderung lebih percaya diri, sedangkan mereka yang tidak mendapatkannya akan tumbuh dalam kebingungan.
"Kebanyakan orang tua yang permisif tidak bermaksud untuk lepas tangan; mereka seringkali berusaha sebaik mungkin di bawah tekanan. Kasih sayang mereka tulus, tetapi yang mereka butuhkan adalah alat untuk menyeimbangkan empati dengan tanggung jawab," kata Lisa.
Untuk menghindari pola asuh permisif para orang tua harus mengenali beberapa bentuk pola asuh yang dapat diterapkan bagi anak-anak mereka, seperti:
1. Otoritatif: Tuntutan tinggi, respons tinggi.
Pendekatan ini menetapkan ekspektasi yang jelas dan sesuai usia. Orang tua akan meluangkan waktu untuk menjelaskan aturan dan mendengarkan anak-anak mereka.
2. Otoriter: Tuntutan tinggi, respons rendah.
Pendekatan ini menekankan kepatuhan, kontrol, dan aturan ketat dengan sedikit dialog emosional.
3. Permisif: Tuntutan rendah, respons tinggi.
Pendekatan ini bersikap hangat dan suportif secara emosional, tetapi mereka hanya menetapkan sedikit batasan atau aturan.
4. Lalai/Tidak Terlibat: Tuntutan rendah, respons rendah.
Orang tua tidak terikat secara emosional, kurang mengawasi, dan minim bimbingan atau interaksi.
Dengan mengetahui jenis pola asuh utama, orang tua diharapkan bisa menentukan pola asuh yang tepat bagi anak mereka. Lisa menyarankan, orang tua bisa memadukan kehangatan dengan struktur membesarkan anak-anak yang memiliki landasan emosional, percaya diri, dan siap menghadapi dunia.
"Cintailah mereka sepenuh hati. Pimpin mereka dengan lembut. Anak-anak membutuhkan keduanya," tuturnya.
Penulis adalah peserta program MagangHub Kemnaker di detikcom.
Simak Video "Video: Gentle, Mindful atau VOC Parenting, Mana Pola Asuh yang Paling Tepat?"
(faz/faz)