Fenomena banjir ekstrem ketika tanaman terendam banjir selama satu minggu menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan global. Penelitian terbaru dari Stanford University mengungkap banjir berdampak pada penurunan hasil panen padi dunia sejak 1980, yang mana telah mencapai kerugian sebesar 4,3% atau setara dengan 18 juta ton beras per tahun.
Menurut Zhi Li, seorang asisten profesor teknik sipil, lingkungan, dan arsitektur di University of Colorado Boulder, tanaman padi pada masa awal pertumbuhan memang membutuhkan air yang menggenang. Namun, seiring pertumbuhannya jumlah air berlebih dapat menyebabkan kematian tanaman.
"Ketika tanaman terendam sepenuhnya setidaknya selama tujuh hari, sebagian besar tanaman padi akan mati," ujarnya, dikutip dari situs resmi Stanford Doerr School of Sustainability.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena sejak Awal 2000-an
Para peneliti memperkirakan penurunan hasil panen karena rusaknya tanaman padi, mulai meningkat sejak awal 2000-an karena banjir ekstrem yang semakin sering terjadi di daerah aktif penghasil padi. Ilmuwan menyadari kelebihan air pada padi tidak kalah mematikan dari akibat kekeringan yang berdampak pada hasil panen yang menurun sekitar 8,1% per tahun pada masa studi selama 35 tahun.
Profesor ilmu sistem bumi di Stanford Doerr School of Sustainability, Steven Gorelick, menyatakan penelitian sebelumnya cenderung berfokus pada penurunan hasil panen akibat kekeringan dan belum memperhatikan dampak buruk dari banjir bagi tanaman padi.
"Penelitian kami tidak hanya mendokumentasikan area-area dimana hasil panen padi telah menurun akibat banjir sebelumnya, tetapi juga di mana kita dapat mengantisipasi dan mempersiapkan diri menghadapi ancaman ini di masa mendatang," ujar Gorelick.
Para ilmuwan memperkirakan kerusakan padi akibat kekeringan dan banjir pada masa lalu dengan menggabungkan bukti temuan berupa:
1. Informasi tahap pertumbuhan padi
2. Data hasil panen global tahunan
3. Data kekeringan dan banjir global sejak tahun 1950
4. Model perilaku banjir di berbagai daerah
5. Melakukan simulasi tingkat kelembapan tanah di daerah penghasil padi utama di dunia dari waktu ke waktu.
Indonesia Tak Lepas dari Sorotan
Hasil analisis para peneliti menunjukkan dalam beberapa puluh tahun ke depan curah hujan di wilayah penghasil padi utama di dunia akan mengalami peningkatan sebesar 13% lebih banyak dari rata-rata daerah tersebut selama 1980-2015. Peningkatan curah hujan tersebut menunjukkan banjir ekstrem akan sering terjadi seiring dengan iklim yang kian menghangat.
Studi sudah menyampaikan solusi bagi permasalahan tersebut. Pemanfaatan varietas padi tahan banjir dinilai dapat mengurangi kerugian besar di masa depan, terutama pada wilayah yang berisiko tinggi terkena banjir ekstrem.
Penelitian ini menyoroti beberapa wilayah utama penghasil padi dunia seperti Cekungan Sabarmati di India, yang mengalami banjir terpanjang sampai mematikan padi, bersama dengan Korea Utara, Indonesia, Tiongkok, Filipina, dan Nepal, di mana dampak buruk dari banjir ekstrem sudah terjadi dalam beberapa dekade terakhir.
Namun, demikian ditemukan juga daerah yang tahan akan banjir ekstrem karena kondisi panas wilayah tersebut tak kalah ekstrem yaitu Cekungan Pennar di India.
Penelitian dari Stanford University ini bertajuk "Severe floods significantly reduce global rice yields" dan terbit pada 14 November 2025 di jurnal Science Advances Volume 11 Nomor 46.
Penulis adalah peserta program MagangHub Kemnaker di detikcom.
(nah/nah)











































