- Ciri-ciri Bullying Tindakan Agresif Kekuatan yang Tidak Seimbang Ada Tujuan Pelaku buat Mendapat Kepuasan Pengulangan
- Eskalasi Perundungan
- Bullying, Tapi Katanya Bercanda
- Batasan antara Bercanda dan Bullying Green Zone Yellow Zone Red Zone of Jokes
- Kenapa Korban Bullying Tak Bilang? Malu Takut Respons Guru-Orang Tua Tidak Tepat
- Tanda-tanda Anak Korban Bullying
- Cara Merespons Aduan Bullying Anak
- Perlu Sistem yang Bikin Korban dan Bystander Aman
- Perhatikan Juga Bystander
Laporan Data Kasus Kekerasan di Lembaga Pendidikan 2024 oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan 573 kasus kekerasan terjadi di lingkungan sekolah, madrasah, pesantren, asrama sekolah, dan luar sekolah. Bullying menduduki posisi kedua sebagai kasus terbanyak (31 persen) setelah kekerasan seksual (42 persen), disusul kekerasan psikis (11 persen), kekerasan fisik (10 persen), dan kebijakan diskriminatif (6 persen).
Angka tersebut dihimpun JPPI dari berita di media massa, pengaduan di kanal Instagram @sahabatjppi, dan kanal www.new-indonesia.org sepanjang 2024. Laporannya dirilis pada 27 Desember lalu.
JPPI menggarisbawahi, angka yang diperoleh belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan atau tidak mencuat di media. Sejumlah kasus diketahui publik saat korban sudah mengalami dampak yang dinilai parah, atau seseorang sudah merasa terdesak untuk melaporkannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ciri-ciri Bullying
Pendiri Psychological & Educational Support Center SOA (Sahabat Orangtua & Anak), psikolog klinis Hanlie Muliani, MPsi, Psikolog mengatakan, kendati tak sampai viral di media, ada sejumlah ciri-ciri tindakan bullying yang dapat dikenali. Apa saja?
Tindakan Agresif
Pahami apa bedanya tindakan agresif atau konflik yang termasuk bullying dan yang tidak. Karakteristik bullying antara lain adanya tindakan agresif, baik secara verbal, sosial, fisik, mapun siber.
Tindakan agresif verbal dalam hal ini seperti namecalling goblok, bego, cupu, homo, dan banci yang dikatakan anak laki-laki pada temannya. Sementara itu, ungkapan agresif verbal pada anak perempuan antara lain seperti slut, bitchy, dan pick me.
Tindakan agresif secara fisik lebih banyak terjadi pada laki-laki. Untuk itu, kasus kekerasan fisik viral di media lazimnya menimpa korban laki-laki. Hanlie menggarisbawahi, hal tersebut tidak menutup risiko keterjadiannya pada korban perempuan. Contohnya seperti menjambak, menampar, maupun menyenggol saat sedang lewat.
Sementara itu, tindakan agresif sosial banyak dijumpai pada perempuan. Bentuknya antara lain dikucilkan (excluded) alias nggak diajak, drama, merasa berhak mengatur seseorang tidak boleh berteman dengan orang tertentu, tatapan sinis, dan lain-lain.
Kekuatan yang Tidak Seimbang
Hanlie mengatakan, tidak semua tindakan agresif dapat dikatakan bullying. Ada karakteristik lain yang perlu dipahami, yakni kekuatan yang tidak seimbang.
Contoh ketimpangan kekuatan ini antara lain jumlah perundung lebih banyak dari korban. Ketimpangan juga terjadi ketika tindakan agresif dilakukan senior ke junior.
Ada Tujuan Pelaku buat Mendapat Kepuasan
Hanlie mencontohkan, tindakan agresif tidak masuk kategori bullying ketika seorang anak kesal dengan temannya. Perilaku agresif tersebut tidak dijumpai sebelumnya dan tidak dilakukan lagi setelahnya.
"Ini tidak memenuhi karakteristik ketiga, dalam artian dia tidak menonjok untuk mendapat kepuasan, tetapi karena ada trigger (pemicu) yang menyebabkan dia menonjok temannya, karena marah" jelasnya pada detikEdu, ditulis Jumat (21/11/2025).
Pengulangan
Tindakan agresif yang berulang termasuk kategori perundungan. Dampaknya berbeda dengan sebuah tindakan agresif pada konflik pertemanan biasa.
"Jadi, adanya kepuasan bagi pelaku, pengulangan, pelakunya dia-dia aja terhadap target korban yang sama, ini semakin mencirikan bahwa itu adalah tindakan agresif yang termasuk bullying," jelasnya.
Eskalasi Perundungan
Hanlie mengatakan, sebenarnya tidak ada istilah mild bullying (bullying ringan) dan severe bullying (bullying berat/parah). Kendati demikian, istilah bullying ringan terkadang dipakai merujuk pada tindakan perundungan yang tidak disadari dan tidak diketahui guru atau orang tua.
Tindakan tersebut sayangnya tidak viral sampai bentuk atau dampaknya dinilai parah.
Sementara itu, ia menjelaskan, ada eskalasi pada tindakan agresif pelaku perundungan. Eskalasi ini berkaitan dengan kepuasan pelaku.
Ia mencontohkan, perundung yang tidak lagi puas dengan ledekan kemudian coba meledek dan memalak korban. Tak lagi puas dengan pemalakan, perundung lalu melakukan tindakan yang makin buruk, seperti memukul atau melorotkan celana korban.
"Tindakan bullying di awal mungkin tidak mudah untuk disadari, diketahui. Karena itu, makanya, yang sudah parah, yang viral, bahkan pihak sekolah terkaget ada kejadian yang seperti ini, nah itu yang biasanya sudah parah," ucapnya.
Bullying, Tapi Katanya Bercanda
Sejumlah perundung menyatakan dirinya hanya bercanda saat melakukan bullying. Namun, korban terluka secara psikologis.
Diketahui, sejumlah kasus korban bullying atas nama 'bercanda' juga berisiko juga menyakiti atau melukai diri atas dampak psikis tersebut. Contohnya, korban bullying atas fisiknya yang besar membuat dirinya berusaha menurunkan berat badan dengan cara yang berbahaya. Ada pula korban bullying yang mengakhiri hidup atas perkataan 'candaan' yang ia terima.
Merespons dalih candaan pada bullying, Hanlie menjelaskan, perlu diketahui bahwa ada ciri khas kompleksitas pertemanan anak laki-laki dan anak perempuan. Ada pula penyebab khas tiap gender melakukan bullying, di samping penyebab khas semua gender.
Salah satu penyebab anak laki-laki melakukan perundungan adalah untuk kesenangan dan bercanda. Namun, sambungnya, eskalasi candaan menunjukkan apakah tindakan tersebut termasuk bullying atau tidak.
Batasan antara Bercanda dan Bullying
Ketika memberikan edukasi pada anak-anak dan remaja di sekolah, Hanlie dan tim menggunakan istilah Zone of Jokes. Tiga zonanya yaitu:
Green Zone
- Candaan yang membuat pelontar maupun subjek yang dicandai sama-sama senang.
- Candaan yang masih menghormati (respect) orang lain.
- Target candaan bergantian, tidak hanya satu subjek saja.
Yellow Zone
- Candaan masih respek, tidak merusak harga diri orang yang dicandai, tapi subjek tersebut sudah tidak nyaman karena melewati batasnya.
Hanlie menggarisbawahi, boundaries atau batasan canda orang beda-beda. Pelontar candaan harus menghargai batasan orang yang dicandai.
"Teman kita udah nggak nyaman karena itu udah masuk area boundaries-nya dia, ya kita harus respek orang lain, dan kita harus hentikan jokes kita. Karena kalau kita teruskan, jokes itu bisa bereskalasi. Dari green zone of jokes, yellow, dan akhirnya red zone of jokes," ucapnya.
Red Zone of Jokes
- Candaan membuat pelontar candaan senang, tapi teman yang dicandai tidak senang, malu, atau menderita.
- Konten candaan seringkali sudah melukai harga diri orang lain.
- Candaan menarget orang yang sama terus menerus.
"Red zone inilah yang akhirnya masuk dalam kategori bullying," kata Hanlie.
Ia menegaskan, anak-anak perlu diingatkan batasan dalam bercanda agar tidak menjadi pelaku bullying.
"Seringkali anak-anak kalau tidak diingatkan, bisa cross the boundaries, dari green zone of jokes, yellow zone, dan akhirnya red zone of jokes," ujarnya.
Kenapa Korban Bullying Tak Bilang?
Malu
Ada beberapa alasan korban bullying tidak mengungkapkan kejadian dirundung. Hanlie mengatakan, salah satunya karena malu menjadi korban, merasa lemah, atau tidak keren.
Ia menegaskan, korban tidak lemah karena pelaku bullying kerap merundung bersama-sama terhadap satu orang.
"Sebenarnya, ketika kita melihat kasus bullying, pelaku beramai-ramai mengintimidasi satu orang. Jadi sebenarnya, banyak lawan satu. Kita juga tidak bisa katakan bahwa korban lemah, karena dia diintimidasi sendiri oleh banyak orang," ucapnya.
Takut
Rasa takut juga membuat korban perundungan tidak melaporkan kejadian bullying. Salah satunya yakni ketakutan bahwa laporannya tidak ditangani dengan tepat sehingga justru memperburuk keadaan.
Ia mencontohkan, korban dan pelaku bullying bermaafan di depan konselor atau guru. Namun, setelah tidak lagi di depan guru, pelaku bisa kembali menekan dan lebih merundung korban karena dilaporkan.
Respons Guru-Orang Tua Tidak Tepat
Respons guru dan orang tua juga dapat menimbulkan keengganan anak korban bullying untuk bercerita atau melapor. Beberapa bentuknya yakni respons mengecilkan, mengesampingkan, atau berfokus hanya agar masalah cepat ditutup. Contohnya seperti:
- Mengecilkan masalah: "Ya udah lah jangan terlalu sensitif. Namanya juga berteman."
- Mengesampingkan masalah: "Ya udah, kamu kan ada teman-teman yang lain. Main aja sama teman-teman yang lain. Kamu harus bisa bergaul, dong."
- Balik menyalahkan korban: "Jangan-jangan kamu juga kali yang gimana sama temenmu, sampai temenmu responsnya begitu sama kamu."
Tanda-tanda Anak Korban Bullying
Tidak mudah untuk mengidentifikasi anak korban bullying. Menurut Hanlie, ada sejumlah tanda yang bisa jadi perhatian:
- Menghindari atau tidak termotivasi sekolah
- Ingin pindah sekolah
- Capaian akademik terpengaruh
- Tampak tidak senang atau tertekan saat pergi ke sekolah
- Emosional di rumah
- Tampak sedih
- Tanda-tanda bullying fisik, yang ditutupi dengan jaket, baju lengan panjang; atau beralasan lecet/lebam karena jatuh
- Menghindari pertemuan dengan teman-teman di sekolah karena tidak ingin bertemu pelaku bullying di acara di luar jam sekolah.
Hanlie menjelaskan, banyaknya perundungan di sekolah salah satunya lantaran banyaknya pertemanan di sekolah. Di samping itu, durasi sekolah juga mengambil porsi yang besar pada keseharian anak. Kondisi tersebut diperburuk adanya media siber yang memungkinkan anak dirundung di mana saja dan kapan saja.
Cara Merespons Aduan Bullying Anak
Untuk memutus perundungan, sosok orang tua dan pihak sekolah harus tahu cara merespon laporan bullying dengan tepat, yakni:
- Mendengarkan dengan tenang dan secara objektif
- Memahami laporan
- Mencari tahu lebih lanjut atau melengkapi kepingan kasus, misalnya:
- Mewawancarai sejumlah anak yang dapat dipercaya, bisa berempati, dan jujur
- Mengumpulkan bukti rekaman CCTV
- Bekerja sama (antara pihak sekolah dan guru)
- Mengambil tindakan.
Hanlie menggarisbawahi, saksi yang melapor merupakan hal baik yang perlu direspons dengan tepat.
"Mereka melakukan itu sudah dengan keberanian kalau sampai melapor. Jangan sampai kita membuat anak menjadi blocking karena respons kita," ucapnya.
Ia menyarankan agar pihak sekolah dan keluarga tidak saling menyalahkan lantaran tindakan bullying kerap kali dilakukan sembunyi-sembunyi. Kerja sama juga perlu merespons pelaku, tidak hanya korban.
"Karena sesungguhnya, dalam konteks bullying, siapa yang punya masalah sebenarnya? Pelaku bully yang punya problem; yang akhirnya membuat masalah pada korban dan juga pada teman-teman yang lain," jelasnya.
Hanlie mencontohkan, ia dan rekan-rekan SOA menerapkan modal sederhana dari cognitive behaviour therapy (CBT) untuk melakukan konseling pada korban dan pelaku, serta workshop pencegahan bullying di kelas.
Sementara itu, panduan pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan tertuang dalam Permendikbudristek No 46 Tahun 2023.
Perlu Sistem yang Bikin Korban dan Bystander Aman
Hanlie mengatakan, perlu pembentukan sistem di sekolah yang membuat anak korban bullying maupun saksi (bystander) merasa aman dan berani untuk melapor adanya perundungan di dalam pertemanan mereka.
"Yang paling tahu ada bullying di sekolah adalah anak-anak itu sendiri. Sayangnya, dalam kasus bullying, orang tua bukan yang paling tahu adanya kasus bullying, dan juga guru, kepala sekolah, dan konselor," ucapnya.
Ia menjelaskan, lantaran bullying dilakukan untuk kepuasan dan tanpa trigger, pelaku akan mencari titik-titik lokasi yang tidak akan diketahui guru. Hal ini mempersulit sekolah dan orang tua tahu adanya perundungan.
"Bahkan anak SD sangat cerdik mencari spot-spot yang blankspot CCTV," ucapnya.
Perhatikan Juga Bystander
Teman yang mengetahui perundungan pada anak korban sering kali juga takut melapor. Salah satunya lantaran takut dijadikan target perundungan selanjutnya.
Untuk membuat anak bystander aman, Hanlie mencontohkan, sejumlah sekolah membuka kontak aduan yang menjamin kerahasiaan dan kebebasan anak dalam melaporkan perundungan.
Opsi lainnya, duta antiperundungan bisa diangkat dari siswa yang memiliki empati, kepedulian, dan percaya diri untuk stand up pada kasus yang terjadi.
(twu/nah)











































