Rencana pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam Rancangan Undang-Undang Ketahanan dan Keamanan Siber (RUU KKS) menuai sorotan dari banyak pihak. Mengapa demikian?
Langkah ini dinilai berpotensi mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil, serta mengancam prinsip demokrasi dan supremasi sipil yang telah dijaga sejak reformasi.
Sebagaimana dijelaskan oleh Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Achmad Munjid, keterlibatan TNI dalam RUU KKS ini dapat membuka kesempatan menguatnya kembali dwi fungsi TNI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam RUU KKS, jika peran militer meluber hingga pada urusan hukum yang di mana itu adalah urusan sipil, jika dibiarkan, akan tidak sehat bagi jalannya sistem demokrasi," kata Achmad, dikutip dari laman UGM, Selasa (21/10/2025).
Peran Militer dalam RUU KKS Berisiko Ganggu Demokrasi
Selama dua dekade pascareformasi, Indonesia telah berkomitmen memisahkan peran militer dari urusan sipil. Rencana pelibatan TNI dalam RUU KKS menurut Achmad bisa memicu goyahnya demokrasi.
Achmad mengatakan, potensi abuse of power juga bisa terjadi. Nantinya, tidak ada kejelasan akuntabilitas wewenang antara sipil dan militer.
"Tumpang tindih wewenang antara sipil dan militer dalam RUU KKS perlu diurai. Dalam hal ini, akuntabilitas menjadi isu fundamental yang perlu diperhatikan kembali," jelasnya.
Pendekatan Keamanan di Ruang Sipil Harus Diwaspadai
Walaupun disebutkan bahwa TNI memiliki kapasitas penting dalam menangani ancaman eksternal seperti perang siber, Achmad menilai keterlibatan militer di ruang sipil sangat berisiko. Menurutnya, TNI tidak perlu sampai menjadi penyidik atau aparat hukum, apalagi memata-matai warga sipil.
"Jika TNI terlibat, kebebasan sipil dikontrol dengan 'pendekatan keamanan', setiap perbedaan pendapat dianggap sebagai ancaman, dicurigai, apalagi dikriminalisasi. Hal tersebut sangat tidak dibenarkan," ucapnya.
Achmad melihat langkah ini bisa menimbulkan efek domino. Misalnya pembatasan kritik terhadap pemerintah dan pengawasan berlebihan terhadap masyarakat.
Praktik Masa Orde Baru Bisa Terulang Lagi
Achmad juga mengingatkan bahwa pelibatan TNI dalam urusan politik dan sipil dapat mengulang praktik masa Orde Baru. Pada masa itu, kebebasan masyarakat sering dicurigai dan dibungkam.
"Hal tersebut membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan, seperti yang pernah terjadi pada masa Orde Baru. Militerisasi ruang publik hingga ruang siber semestinya tidak terjadi jika ingin menjaga demokrasi tetap sehat," katanya.
Ia juga menyoroti maraknya kebocoran data nasional dan penyalahgunaan data pribadi. Peran aparat keamanan, termasuk militer, menurut Achmad, seharusnya difokuskan untuk melindungi data dan warga negara, bukan untuk mengawasi masyarakat.
"Peran aparat keamanan harusnya ada di situ, mencegah supaya penyalahgunaan data tidak terulang dan melindungi warga negara dari intervensi asing. Mestinya hal tersebut menjadi prioritas," pungkasnya.
(cyu/twu)